Menuju konten utama

Menjaga Gang Hijau Kebayoran Lama Tanpa Banyak Mengeluh

Cerita warga yang bahu-membahu menjadikan lahan mungil kampung mereka sebagai kebun bersama.

Menjaga Gang Hijau Kebayoran Lama Tanpa Banyak Mengeluh
Dikenal 'gang hijau', sebuah kampung lingkup rukun warga di Kebayor Lama, Jaksel, mengubah lingkungan mereka yang padat jadi tempat tinggal yang ramah dihuni. tirto/Lugas

tirto.id - Sepanjang gang Kampung Dukuh terlihat berbeda dari gambaran mayoritas kampung lain di Jakarta. Jalan sempit, yang hanya cukup dilintasi dua sepeda motor, dipadati semarak tanaman di sisi kiri-kanan. Ada sayuran kangkung, tomat, ginseng, dan labu. Ada pula bunga-bunga dan buah-buahan di dalam pot.

Sepanjang jalan kampung juga bersih. Tidak ada sampah yang berserakan. Pot-pot dari botol minuman kemasan digantung rapi.

Reni tengah merawat tanaman ketika saya datang. Warga gang hijau ini, demikian sebutan untuk kampung tersebut, adalah salah seorang pelopor yang mendorong lingkungan mereka menjadi asri.

“Dulu kiri dan kanan ini sawah, belum ada rumah-rumah dan apartemen di depan sana,” kata Reni merujuk 1Park Avenue, apartemen empat menara milik pengembang PT Intiland, terletak kurang dari 1 kilometer dari kampungnya.

Gagasan membuat kampung hijau ini sejak awal 2010, tetapi baru terwujud pada 2016. Semula sekadar menularkan hobi berkebun, Reni menanam jahe, ginseng, dan tanaman obat lain. Ia memproduksinya menjadi minuman jahe kemasan siap seduh dan bir pletok, minuman khas Betawi. Jumlahnya seadanya mengingat lahan untuk berkebun sempit dan hanya mengandalkan media pot.

Reni mengajak saya berkeliling kampung. Ia menunjukkan dua petak kebun di tengah kampung yang dikelola warga bersama. Satu petak kebun di sebelah rumah Reni, luasnya sekitar 200 meter persegi, satu kebun lagi di dekat jalan gang hijau, luasnya sekitar 100 meter persegi.

Pengelolaan kebun dilakukan secara mandiri oleh warga, khususnya kaum ibu. Setiap Rabu mereka memiliki kegiatan yang disebut “Rabu Berkebun”. Saban jam sembilan pagi, para ibu berkebun bersama, membersihkan kebun, menyiangi tanaman, dan memanen jika ada yang sudah berbuah.

Tanaman tumbuh subur dengan pupuk kompos yang diproduksi sendiri oleh warga. Mereka mengumpulkan sampah organik rumah tangga dan mengolahnya di mesin komposer bersama. Bulan ini, tomat dan cabai mulai berbuah. Lantaran hujan terus-menerus mengguyur Jakarta, cabai itu terlihat keriting. Selain itu ada jambu biji dan jeruk Bali yang siap petik.

“Kangkung dan selada yang agak kurang, karena hujan terus," kata Reni. "Ini beda. Kalau yang dijual di pasar itu hijau banget, agak pahit. Kalau ini manis.” Ia menunjukkan kangkung di dalam pot yang sudah tumbuh sekitar 15 cm.

Cara Menggerakkan Warga

Tak dimungkuri kegiatan berkebun dan menghijaukan kampung ini ada peran pemerintah Kota Jakarta Selatan. Namun, keterlibatan pemerintah adalah satu hal. Perkara lebih penting lagi ada kesadaran warga yang memang berkeinginan membangun lingkungan mereka.

Proses menyadarkan warga tidaklah mudah, menurut Reni. Terlebih kegiatan menanam ini bukan untuk tujuan muluk seperti bisa memberikan penghasilan. Kebanyakan kebun-kebun mungil ini hanya cukup untuk konsumsi pribadi.

“Kalau ada yang beli pun paling tetangga,” kata Reni.

Satu hal yang digembar-gemborkan Reni adalah hidup yang sehat dengan berkebun. “Seperti pengganti olahraga, bedanya ini berkebun. Ada juga sih hasilnya. Ada sayuran, tapi ya enggak seberapa, kan."

Pelan-pelan kesadaran bersama ini mengubah cara hidup warga. Misalnya soal sampah. Mereka tidak lagi rewel harus melapor ke pemerintah jika ada sampah menumpuk. Karena sebagian sampah sudah mereka jadikan kompos, sementara sampah botol plastik disulap mereka menjadi pot-pot tanaman. Sisanya yang tidak terpakai itu diserahkan ke petugas prasarana dan sarana umum pemerintah kota untuk mengambil secara rutin.

“Dulu waktu masih pakai Qlue, ada kewajiban dari RW untuk melapor, tapi sekarang enggak," kata Reni.

"Kami enggak pernah lapor-lapor. Sampah, meski belum ada bank sampah, sudah bersihlah,” tambah dia.

Syafi'i, ketua RW 03, mengatakan untuk urusan menjaga gang hijau tetap asri, pengurus RW tak segan mengeluarkan uang. Terakhir pengurus RW sepakat menggelontorkan dana Rp1 juta untuk kebutuhan warga berkebun.

“Ngapain minta-minta? Apalagi sama CSR. Kesannya enggak baik," ujar dia. "Kalau kami bisa sendiri, ya kita kerjakan. Pemerintah enggak bantu, ya sudah. Tapi kalau ada bantuan, kami juga senang menerimanya."

Infografik HL Gang Hijau Tanpa Qlue

Kritik dari Gang Hijau

Syafi'i tak memungkiri bahwa program "gang hijau" ini ada karena bagian dari program pemerintah Jakarta Selatan. Sudah dua tahun ini pemerintah menggalakkan gerakan gang hijau lebih dari 30 kampung. Meski demikian, ia menyimpan kritik terhadap program ini.

“Ini kayak kita jadi korban target pemerintah. Pemerintah punya target, kami yang harus melaksanakan. Padahal kami, kan, bukan pekerja pemerintah, bukan PNS,” celetuk Syafii.

Ia menyayangkan kebijakan pemerintah yang cuma berhenti sekadar memberikan bantuan tanpa program berkelanjutan.

“Kalau sudah berkebun, kenapa? Dalam pikiran saya, kalau warga di sini punya lahan yang luas, ini bisa jadi mata pencaharian juga," dia bilang.

Ia melanjutkan: "Ada lho tukang pecel lele ke sini pas lagi panen selada. Mereka mau beli. Misalnya kami bisa pinjam lahan kecil-kecil di kompleks, warga dengan senang hati menanam, hasilnya bisa dijual."

Ia tidak bisa menjamin warga akan tetap konsisten berkebun jika yang dikerjakannya tidak ada perkembangan. Karena itu, menurutnya, pemerintah harus berpikir untuk mendukung warga yang sudah punya keinginan untuk berkembang seperti di kampungnya. Jika tidak, potensi kampung dan warga akan hilang begitu saja.

“Apalagi itu program OK OCE ... Aduh, yang benerlah. Jangan sia-sia buang duit rakyat. Bikin konsep yang bener, biar masyarakat merasakan dampaknya dan bisa mandiri."

"Biar kami juga enggak rewel: Apa-apa pemerintah, sedikit-sedikit lapor. Kami bisa mandiri, tentu pemerintah juga harus mendukung,” tegas Syafi'i.

Baca juga artikel terkait QLUE atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam