Menuju konten utama

Menjadi Relawan Emak-Emak Garis Depan Jokowi

Ibu Layla adalah bagian kecil dari rantai garis depan gerakan emak-emak memenangkan kembali Jokowi.

Ilustrasi Emak-Emak Pilpres 2019. tirto.id/Lugas

tirto.id - Pagi hari, Ibu layla harus bekerja; sore hingga petang harus keliling kampung; sampai di rumah harus menyiapkan keperluan besok. Barulah pada pukul setengah sebelas malam ia bisa tenang. Ia bisa mengecek ponsel dan membalas pesan-pesan.

Tugasnya memang super sibuk sejak lebih dari sebulan: membawa pesan dari Jokowi untuk warga.

Setiap jam 3 sore, ia dan lima temannya berbagi tugas berkeliling kampung di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Berbekal kotak kardus berisi tabloid Pembawa Pesan, kalender dan stiker calon legislatif, stiker Jokowi dan Ma'ruf Amin dan bolpoin, mereka menyambangi rumah-rumah.

"Assalamualaikum. Permisi, Pak, saya dari relawan Jokowi, boleh berkunjung?"

Kalimat itu selalu diucapkan Layla dengan ramah. Bila boleh, ia mengenalkan calon legislator dan menjelaskan kinerja Presiden Jokowi selama hampir lima tahun. Bila tidak, ia pamitan.

Tapi, tentu, tidak semudah itu.

Ia menemui banyak orang berbagai perangai. Ia harus berhadapan dengan bermacam pertanyaan yang sesungguhnya dianggap konyol. Seperti, baru-baru ini, ia ditanya apakah benar kalau Jokowi terpilih, azan akan dilarang dan pernikahan sejenis akan dilegalkan?

Bagi Layla, pertanyaan itu mudah dijawab. Tapi bukan itu yang jadi masalahnya. Ia bermasalah dengan orang-orang yang termakan hoaks macam itu, lalu membenci Jokowi segenap hati. Syukurnya, ujar dia, tak banyak orang termakan hoaks itu.

"Sebagian orang sudah pintarlah, masyarakat perkotaan itu sebenarnya enggak gampang termakan hoaks yang enggak masuk akal begitu," ujar Layla.

Apes-apes, Layla bakal diusir. "Penolakan itu wajar, sih. Paling dari 40 rumah, yang menolak cuma tiga orang."

Suatu ketika ia pernah berhadapan dengan seorang lelaki pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kardus yang diberikan Layla dilempar .

"Apa ini? Sampah aja isinya!"

"Kalau Bapak enggak mau, kenapa tadi diterima?"

Perdebatan terjadi. Layla didorong keluar dari pekarangan rumah.

Peristiwa itu melekat pada ingatan Layla. Namun, pada saat bersamaan, ia merasa bersyukur karena beberapa temannya ada yang menerima perlakukan lebih kasar.

"Teman saya ada yang dikerubungi banyak orang begitu, saya masih mendingan," ujarnya.

Mewaspadai Media Partisan

Pukul setengah sebelas malam, Layla baru sempat membalas pesan saya yang ingin mewawancarainya.

"Oh maaf.. saya baru sempat buka HP. Baru selesai dtd (door to door) dan nyiapin materi. Besok datang lagi."

Balasan itu tak serta-merta dituruti Layla. Ia berhitung. Ia khawatir.

Bila ada wartawan yang meliput kegiatannya sebagai relawan door to door agar warga memilih Jokowi-Ma'ruf, ia menilai, isu yang berkembang justru akan merugikannya. Ia tahu benar posisinya. Sebelumnya, aksi door to door sembari membagikan tabloid Pembawa Pesan sempat ramai jadi perbincangan bahkan hingga dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu.

"Soalnya banyak fitnah tentang paket Pembawa Pesan," katanya.

Banyaknya fitnah terhadap Jokowi dan timnya membuat Layla enggan berurusan dengan media. Tanpa segan, Layla memastikan apakah media tempat saya bekerja pro paslon 01?

Karena jawabannya adalah tidak berpihak pada Jokowi maupun Prabowo, Layla tidak berani menyanggupi permintaan wawancara dari saya. Ia harus berdiskusi dengan timnya lebih dulu. Ia mengirim satu alamat di Jl. Purwaraya, Cipedak, kepada saya. Bila hendak meliput, saya harus meminta izin kepada koordinatornya di alamat tersebut.

Alamat itu merujuk pada rumah Findri Puspitasari, seorang calon legislatif dari PDI Perjuangan. Rumah itu sekaligus markas relawan Pembawa Pesan. Dalam satu ruangan di depan rumah, ada tumpukan paket tabloid tersebut.

Kekhawatiran atas pemberitaan mengenai relawan, ujar Layla, tidak berlebihan mengingat banyak portal berita yang menyebarkan hoaks. Layla enggan berakhir sebagai korban dari UU ITE. Setelah mendapatkan izin dari koordinatornya, barulah Layla menerima saya.

Infografik HL Indepth Emak Emak Pilpres 2019

Infografik Emak-Emak Pilpres 2019. tirto.id/Lugas

Imbas Polarisasi Pilkada DKI 2017

Di Jagakarsa, tempat Layla tinggal, pendukung Jokowi dan Prabowo hidup bertetangga. Pada Pilpres 2014, sentimen antar-pendukung tidak seperti sekarang. Sentimen itu memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan terus berlanjut pada Pilpres 2019.

Layla emoh ambil pusing. Bila ada pendukung Prabowo yang mendatanginya, ia memilih menerimanya dan membiarkan mereka menempel stiker. Namun, begitu rombongan pendukung Prabowo pergi, ia tinggal mencopot stiker itu. Baginya, stiker tidak akan mengubah pandangan politik.

"Kalau cuma stiker, ya sudah, biarin saja, itu enggak akan bikin kita beralih mendukung selain Pak Jokowi," ujar Layla.

Ia tidak perlu menolak seperti penolakan yang beberapa kali dialaminya. Menurutnya, penolakan itu justru membuat relasi dengan tetangga menjadi buruk hanya karena pilihan politik. Sayangnya, tak semua orang bisa seperti Layla. Sebagian memilih mengedepankan pilihan politik ketimbang hidup bertetangga.

Orangtuanya adalah korban dari polarisasi itu, ujar Layla. Hanya karena mendukung Jokowi, orangtuanya dilarang mengikuti pengajian di lingkungannya.

"Ini tuh dampak dari Pilkada kemarin. Sampai sekarang masing kebawa-bawa," katanya.

Polarisasi itu terjadi salah satunya karena hoaks dan sentimen yang sudah terlanjur menyebar, menurut Layla. Misalnya soal tuduhan Jokowi sebagai "keturunan PKI", sampai saat ini masih menyebar.

Tugas Layla melawannya. Itu dilakukan bukan semata untuk Jokowi, katanya, tapi mendidik masyarakat agar tak gampang termakan hoaks dan kebencian. Dan tugas Layla melawannya. Di garis depan. Demi Jokowi lima tahun lagi.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam