Menuju konten utama

Meninjau Biaya Peralihan Menuju EBT di Indonesia

Untuk meminimalisir resiko ketergantungan cuaca, penting untuk memiliki formula bauran energi yang tepat.

Meninjau Biaya Peralihan Menuju EBT di Indonesia
Foto udara instalasi Pembangkit Lisrtik Tenaga Surya, yang dipasang sebagai sumber energi baru terbarukan (EBT), di Rumah Sakit Pertamina Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (26/10/2018). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/foc.

tirto.id - Dalam menyokong aktivitas perekonomian nasional, Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar berbasis fosil, seperti batu bara, minyak mentah, dan gas alam. Konsumsi bahan bakar fosil itu digunakan untuk mendukung sektor-sektor primer seperti transportasi, tenaga listrik, proses produksi di pabrik, bahkan untuk kebutuhan harian rumah tangga.

Dalam Pedoman Statistik Energi dan Ekonomi Indonesia, disebutkan bahwa sekitar 85 persen pasokan energi nasional di tahun 2021 berasal dari bahan bakar fosil. Batu bara menyumbang porsi terbesar yakni 36,2 persen, diikuti oleh minyak mentah (32,1 persen) dan gas alam (16,2 persen).

EBT
EBT. foto/istimewa

Dalam satu dekade terakhir, pasokan energi dari bahan bakar fosil memang masih dominan dengan kisaran 80-90 persen. Ini jadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah untuk dapat memenuhi target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) di tahun 2060.

Terlebih lagi, pada 23 September 2022, Indonesia kembali memperbarui komitment Nationally Determined Contribution (NDC) dengan membidik proporsi pemangkasan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri, dan 43,2 persen dengan dukungan internasional.

Perlu diketahui, NDC adalah dokumen yang berisi komitmen dan aksi pencegahan perubahan iklim di tingkat negara yang dikomunikasikan lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Konvensi Dana Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change Fund/UNFCCC).

Dalam upaya memenuhi komitmen tersebut, pemerintah menyusun rincian target per 5 tahun atas penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan industri penyokongnya. Dalam waktu dekat, yakni tahun 2025, target yang harus dipenuhi, antara lain: pembangkit listrik dari EBT memiliki proporsi 23 persen, dan distribusi kompor listrik kepada 2 juta rumah tangga

EBT

EBT. foto/istimewa

Seiring berjalannya waktu, pemerintah Indonesia akan mengurangi penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara, pembangkit listrik tenaga uap bahan bakar gas alam, dan pembangkit listrik tenaga uap bahan bakar minyak. Kemudian pada 2060, diharapkan sumber tenaga listrik Indonesia sudah 100 persen menggunakan EBT yang berasal dari tenaga surya, hidro, dan nuklir.

Mahalnya Biaya Listrik Bebas Karbon

Salah satu alasan pemerintah berani turut berkomitmen untuk target emisi nol bersih adalah karena Indonesia memiliki potensi EBT yang cukup besar. Menjadi negara kepulauan yang berada di jalur khatulistiwa membuat Indonesia secara otomatis memiliki potensi energi tenaga surya, hidro, dan angin yang signifikan.

Berdasarkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook yang dirilis International Renewable Agency (IRENA) pada Oktober 2022 silam, total potensi energi terbarukan Tanah Air mencapai 3.682 gigawatt (GW). Akan tetapi jumlah kapasitas terpasang dari EBT di tahun 2021 baru 10,5 GW atau hanya 0,3 persen dari total potensi yang dimiliki.

Dalam sebuah studi, IRENA menyebut bahwa untuk mengejar target emisi nol bersih, setidaknya pada 2030 Indonesia perlu tambahan pasokan 66 GW dari tenaga surya, diikuti dengan penambahan kapasitas hidro 11 GW dan panas bumi 4 GW. Untuk menyokong pasokan listrik tersebut, diperlukan infrastruktur terkait seperti transmisi, distribusi dan penyimpanan.

IRENA menganalisa jumlah dana investasi yang dibutuhkan mencapai USD185,5 miliar atau setara Rp2.819,6 triliun (asumsi kurs Rp15.200/USD). Sementara itu, pemerintah memperkirakan biaya untuk mitigasi gas rumah kaca dan bauran energi terbarukan ada di kisaran Rp3.779 triliun.

Angka itu baru dana untuk memenuhi taget di tahun 2030. Selain dana itu, masih terdapat kebutuhan investasi tambahan hingga tahun 2060 saat komitmen emisi nol bersih harus dipenuhi.

Dengan investasi yang begitu besar, muncul pertanyaan bagaimana pemerintah mendanai transmisi energi tersebut. Apakah rakyat juga akan dibebankan dengan kenaikan tarif listrik?

Sebuah studi kasus di Amerika Serikat dan China menunjukkan bahwa rencana pemerintah untuk beralih ke tenaga listrik sumber EBT berdampak pada kenaikan tarif listrik hingga puluhan juta per tahunnya.

Salah satu negara bagian di Amerika Serikat, Minnesota, mengajukan Proposal Walz yang berisi rancangan transmisi energi dengan dominasi tenaga surya (65 persen), nuklir (16 persen) dan angin (11 persen) untuk mencapai target emisi nol bersih di tahun 2040. Sekolompok analis dari American Experiment kemudian membuat perhitungan dampak implementasi Proposal Walz tersebut.

Hasil studi menunjukkan bahwa dengan bauran EBT yang diajukan, rumah tangga dan industri akan menambah total biaya hingga USD313,2 miliar sampai tahun 2050. Pelanggan listrik di Minnesota akan melihat kenaikan tarif listrik rata-rata per tahun di level USD3.888 atau setara Rp59 juta hingga tahun 2050.

Tidak hanya itu, stabilitas pasokan energi dari gardu yang terpasang juga akan terganggu karena lebih rentan terhadap fluktuasi karena sangat bergantung pada faktor cuaca.

Dengan asumsi produksi energi angin dan surya seperti tahun 2020 dan kebutuhan permintaan listrik tahun 2021, maka pada akhir Januari, Minnesota akan merasakan pemadaman listrik masal selama 55 jam. Pemadaman listrik ini akan mengakibatkan kerugian ekonomi mencapai USD1,77 miliar. Belum lagi korban penduduk yang terkena dampak kedinginan.

Lebih lanjut, studi yang dilakukan di China juga menemukan hasil yang senada. Sekelompok peneliti dari China menemukan bahwa untuk mencapai komitmen NZE di tahun 2060, China membutuhkan tambahan kapasitas 5,8 tera watt (TW) dari angin dan matahari. Penambahan kapasitas tersebut akan mengakibatkan biaya pasokan listrik meningkat sebesar ¥9,6/kWH atau setara Rp22.080/kWH.

Bauran Energi yang Tepat Untuk Efisiensi Biaya

Mempertimbangkan kondisi di Minnesota dan China, Indonesia tampaknya akan mengalami situasi serupa untuk memenuhi target NDC dan komitmen NZE. Terlebih lagi mengingat bahwa rencana sumber EBT untuk pasokan listrik di tahun 2060 akan berasal dari tenaga hidro, dan tenaga surya yang menjadi sumber energi utama. Alhasil, pasokan listrik Indonesia juga akan sangat rentan terhadap faktor cuaca.

Untuk meminimalisir resiko ketergantungan cuaca, para peneliti dari Negeri Paman Sam dan Negeri Tiongkok menggarisbawahi pentingnya punya formula bauran energi yang tepat, infrastruktur transmisi, dan penyimpanan untuk memastikan ketersediaan pasokan.

Sebagai contohnya tim peneliti dari American Experiment merekomendasikan pemerintah Minnesota untuk mengoptimalkan pembangkit listrik tenaga nuklir dengan proporsi 76 persen pada 2040, yang kemudian secara perlahan mulai mengurangi ketergantungan pada batu bara.

Tenaga nuklir dipilih karena infrastruktur sudah tersedia dan hanya membutuhkan tambahan investasi untuk peningkatan kapasitas dan transmisi. Sementara itu jika menggunakan tenaga surya, tidak hanya butuh investasi awal yang besar untuk peningkatan kapasitas hingga sepuluh kali lipat, tetapi juga butuh dana untuk baterai penyimpanan yang harus didistribusikan massal ke pelanggan dan lokasi gardu listrik.

Di lain pihak, China mengambil bauran energi yang mirip dengan Indonesia, yakni dominasi tenaga surya. Namun, peneliti menekankan ketersediaan sumber daya pembangkit listrik tambahan untuk mengantisipasi gangguan pasokan karena cuaca ekstrem.

Lalu, peningkatan kapasitas infrastruktur pembangkit tenaga surya dan angina harus ditopang dengan kebijakan subsidi dari pemerintah hingga terbentuknya fondasi pasokan yang kokoh.

Kemudian transmisi jaringan induk yang sederhana harus dirubah dengan platform yang mendukung pembagian listrik dua arah antar provinsi dengan berbagai sumber energi, tidak hanya dari sumber tenaga surya dan air.

Baca juga artikel terkait EBT atau tulisan lainnya dari Dwi Ayuningtyas

tirto.id - Mild report
Penulis: Dwi Ayuningtyas
Editor: Nuran Wibisono