Menuju konten utama

Menimbang Dampak Wacana Kenaikan Harga Pertalite dan LPG 3 Kg

Pernyataan Luhut soal sinyal kenaikan harga BBM jenis pertalite dan LPG 3 kg justru membuat publik gaduh.

Menimbang Dampak Wacana Kenaikan Harga Pertalite dan LPG 3 Kg
Petugas menata tabung gas LPG 3 kg sebelum pengisian ulang di agen LPG, Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/6/2018). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Usai menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax, pemerintah kembali memberi sinyal menaikan harga BBM jenis pertalite dan gas LPG 3 kilogram (kg) atau gas melon. Kenaikan ini rencananya dilakukan secara bertahap mulai Juli sampai September 2022.

Overall akan terjadi (kenaikan) nanti pertamax, pertalite, kalau premium belum. Juga gas yang 3 kg. Jadi bertahap, 1 April, nanti Juli, September, itu nanti bertahap akan dilakukan oleh pemerintah," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, usai meninjau Depo LRT Jabodebek, Jumat (1/4/2022).

Saat ini, harga BBM jenis pertalite belum mengalami perubahan harga atau ditetapkan stabil di harga Rp7.650 per liter. Sedangkan, harga LPG 3 kg saat ini masih mengacu kepada Keputusan Menteri ESDM Nomor 253.K/12/MEM/2020 mengenai Harga Patokan LPG Tabung 3 Kg.

Harga patokan LPG 3 kg ditetapkan berdasarkan harga indeks pasar LPG 3 kg (HIP LPG tabung 3 kg) yang berlaku pada bulan yang bersangkutan ditambah dengan biaya distribusi (termasuk penanganan) dan margin. Berdasarkan info pangan Jakarta, harga rata-rata gas LPG 3 kg masih dipatok di Rp21.000.

Mantan Menko Polhukam itu mengatakan, pemerintah sudah melakukan perhitungan secara cermat dan akan melakukan sosialisasi terkait rencana kenaikan tersebut. Meski demikian, ia tak menjelaskan lebih lanjut soal rencana itu.

"Semua akan naik, nggak ada yang nggak akan naik itu. Jadi hanya bertahap kita lakukan. Ada yang disubsidi, masih tetap yang untuk rakyat kecil, seperti misalnya LPG 3 kg dari 2007 tidak naik harganya kan tidak fair," kata Luhut.

Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah mengatakan, kenaikan keduanya akan menyebabkan terjadinya inflasi lebih besar. Sebab, mayoritas kedua kelompok pengguna barang tersebut adalah kalangan masyarakat menengah ke bawah.

"Dampaknya ke inflasi tentu akan lebih besar," kata Piter saat dihubungi reporter Tirto, Senin (4/4/2022).

Piter mengatakan, saat ini inflasi sudah dipastikan membengkak karena kenaikan beberapa harga komoditas di dunia. Termasuk kenaikan harga minyak goreng yang belakangan ini terjadi di dalam negeri.

Dengan adanya kenaikan harga pertalite dan LPG kg, maka kemungkinan besar laju inflasi tidak terbendung oleh pemerintah. Sampai akhir 2022, pemerintah sendiri telah mematok inflasi sebesar 3 persen ± 1 persen (yoy).

"Ditambah kenaikan harga pertalite apalagi plus LPG 3 kg, inflasi akan melonjak. Daya beli masyarakat bisa terpangkas dan pertumbuhan konsumsi akan tertahan," katanya.

Dia menyebut, pertumbuhan dan daya beli yang lemah, pada akhirnya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi tidak maksimal. Sehingga dampaknya meluas, mulai dari penyerapan tenaga kerja rendah dan upaya pengentasan kemiskinan menjadi terganggu.

“Pemerintah sudah menyatakan kalau pertalite akan disubsidi. Seharusnya pertalite tidak naik. Demikian juga dengan LPG 3 kg. Timing-nya tidak tepat untuk naik," jelas Piter.

Di sisi lain, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi menilai, pernyataan pemerintah soal sinyal kenaikan harga pertalite dan LPG 3 kg, justru membuat publik gaduh. Sebab, rencana kenaikan itu, diumumkan ketika seluruh harga-harga komoditas tengah bergerak naik.

"Pernyataan Luhut kemarin saya kira itu sangat tidak tepat. Karena itu pertama sempat punic buying terhadap pertalite, sehingga di beberapa SPBU daerah langka. Seolah-olah dengan langka tadi kemudian dipaksa pindah pertamax, kan, ini tidak benar," ujar Fahmi dihubungi terpisah.

Fahmi mengatakan, harga BBM pertalite memang seharusnya tidak dinaikkan karena memiliki pangsa pasar cukup besar di Tanah Air. Di samping itu, BBM RON 90 itu juga sudah resmi ditetapkan sebagai Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) menggantikan posisi premium atau RON 88.

Aturan yang ditetapkan pemerintah itu tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tentang Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan yang ditandatangani tanggal 10 Maret 2022.

“Penempatan sebagai BBM penugasan itu melegalisasikan bahwa pemerintah akan memberikan subsidi dan tidak menaikkan harga pertalite," ujarnya.

Terkait LPG gas melon, menurut Fahmi, persoalan yang perlu dibenahi oleh pemerintah adalah mengatur distribusinya. Bukan justru menaikan harga LPG 3 kg. Sebab sudah jelas, peruntukan daripada barang itu ditunjukan untuk masyarakat miskin.

"Saya kira juga tidak tepat juga dinaikan dalam waktu dekat ini. Karena ini diperuntukan bagi orang miskin," kata Fahmi.

Fahmi menyebut, selama ini sistem distribusi dilakukan oleh pemerintah tidak tepat. Karena subsidi LPG 3 kg dilakukan secara terbuka, sehingga siapapun boleh membeli. Di samping itu, ia juga melihat masih ada ruang migrasi dari pengguna gas non subsidi ke gas melon cukup besar.

"Padahal ini khusus untuk orang miskin. Kalau harganya beda jauh apalagi 12 kg harganya naik, ada konsumen akan beralih. Saya kira sekarang mulai dipikirkan," jelas Fahmi.

Atas dasar itu, Fahmi menyarankan agar pemerintah melakukan distribusi semi tertutup. Semi tertutup ini bisa dilakukan misalnya, kelompok miskin yang memiliki kartu prasejahtera tetap akan mendapatkan hak/subsidinya. Sementara, orang tidak memiliki kartu tersebut harus membeli dengan harga di pasar atau tidak disubsidi.

"Dengan kartu itu dia bisa beli dengan harga subsidi, tapi orang luar tidak memiliki kartu tadi membeli dengan harga pasar," katanya.

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menekankan, bahwa stabilitas harga saat ini menjadi kunci untuk memperkuat pemulihan ekonomi. Seharusnya, kata dia, pemerintah bisa all out mencegah terjadinya kenaikan, khususnya harga-harga yang diatur oleh pemerintah seperti BBM, LPG, kemudian tarif listrik.

Bhima mengatakan, yang perlu dilakukan pemerintah sekarang adalah menunda proyek strategis nasional (PSN) jika ingin melakukan efisiensi. Pemerintah juga harus kurangi belanja untuk birokrasi, dan lakukan penghematan ekstrem dalam belanja negara. Dengan begitu, dana tersebut bisa direalokasikan untuk subsidi pangan maupun energi.

"Kenapa? karena sebenernya pemerintah tengah menikmati kenaikan harga komoditas yaitu dari batu bara dan sawit misalnya, itu sangat menyumbang penerimaan dan PNBP harusnya ada subsidi silang dari hasil APBN gemuk," jelas Bhima

Bhima menilai, kontribusi sumbangan dari dua komoditas ekspor tersebut cukup besar terhadap penerimaan negara. Sehingga ini bisa menjadi alternatif pemerintah untuk mendorong subsidi energi dan pangan, sehingga stabilitas harga bisa terwujud.

"Jadi tidak bisa terjadi kenaikan pertalite dan LPG 3 kg ini, padahal daya beli masyarakat belum siap menerima kenaikan," jelasnya.

"Anggaran difokuskan dulu stabilitaskan harga kebutuhan pokok, energi di dalam negeri itu yang harusnya bisa dilakukan pemerintah," sambung Bhima.

Baca juga artikel terkait HARGA PERTALITE atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz