Menuju konten utama

Menilik Tuduhan Makar Direktur LBH Bali & Aliansi Mahasiswa Papua

Direktur LBH Bali dan 4 mahasiswa Papua dilaporkan ke Polda Bali oleh kuasa hukum PGN atas dugaan makar. Bagaimana duduk perkaranya?

Menilik Tuduhan Makar Direktur LBH Bali & Aliansi Mahasiswa Papua
ILUSTRASI. Sejumlah mahasiswa Papua melakukan aksi penolakan perpanjangan otonomi khusus (Otsus) Papua Jilid II di depan gedung Kementerian Dalam Negeri, Rabu (24/2/2021). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sekitar 40 orang yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali hendak berdemonstrasi di depan Markas Kepolisian Daerah Bali, pada 31 Mei 2021. Mereka bergerak dari asrama di Denpasar menuju ke lokasi aksi untuk menyuarakan penolakan Otonomi Khusus Papua Jilid II dan pembebasan tahanan politik.

Tak lupa perwakilan massa menyerahkan surat izin aksi ke pihak Polda Bali dan Polresta Denpasar, bahkan surat pendampingan hukum juga diberikan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali. Prosedur mereka ikuti, termasuk protokol kesehatan di masa pandemi COVID-19.

Yesaya Gobai dan rekan-rekannya memarkir motor mereka di sekitar gedung LBH Bali. Mereka hendak melanjutkan perjalanan dengan berjalan ke titik demonstrasi, kurang lebih satu kilometer. Dalam perjalanan, Patriot Garuda Nusantara Provinsi Bali mengadang massa, lantas ormas itu mulai berulah.

“Beberapa kawan [mahasiswa] yang ditampar, dipukul, kami disuruh balik. [Ormas] mau merusak kawan-kawan punya megafon. Poster-poster disobek,” ucap Yesaya saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (4/8/2021).

Meski massa menjelaskan bahwa mereka ingin menuju lokasi aksi, tapi ormas tak mau tahu. Akhirnya massa memutuskan untuk berorasi di sekitar gedung lembaga bantuan hukum itu.

Satu orang perwakilan dari LBH Bali, kata Yesaya, menemani mereka mengutarakan buah pikir di muka umum kala itu. Padahal demonstrasi adalah hak kebebasan berpendapat warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Namun, pada 2 Agustus, Panglima Komando PGN Bali Gus Yadi mengadukan AMP Bali ke polisi.

“Saya melaporkan AMP karena mereka setiap aksi turun ke jalan, meneriakkan ‘Papua bukan bagian NKRI, Papua bukan Merah-Putih, Papua Bintang Kejora, Papua menolak UUD 1945’,” ujar Yadi kepada reporter Tirto, Rabu (4/8/2021).

Ia bahkan mengklaim Bintang Kejora dikibarkan di asrama mahasiswa Papua di sana, serta ia menganggap bendera tersebut, bagi mahasiswa, adalah bendera kenegaraan dan bukan bendera kebudayaan semata.

“Tidak dianggapnya Pancasila sebagai ideologi negara. Masih banyak (bukti) yang saya ambil dari mereka, sebagai dasar pelaporan kepada Polda Bali, untuk menangkap tokoh-tokoh AMP,” sambung Yadi.

Pelaporan itu terdaftar atas nama Pariyadi, dengan tanda bukti laporan pengaduan masyarakat Nomor Registrasi: Dumas/538/VII/2021 SPKT/POLDA BALI. Dengan dugaan makar sebagai alasan pelaporan.

Yefri Kossai, Yoberthinus Gobay, Jeeno Sadrack Dogomo, dan Natalis Bukega, adalah para terlapor. Mereka adalah anggota AMP Bali.

LBH Bali & AMP Dilaporkan ke Polisi

27 Juli, AMP Bali memperingati hari jadinya yang ke-5 cum hari jadi AMP Umum ke-23. Para mahasiswa Papua di Pulau Dewata menyambangi asrama di Denpasar, mereka berkumpul untuk beribadah dan pemotongan kue. Sore hari, acara itu kelar. Namun kegiatan ini malah menjadi salah satu bahan bakar pengaduan oleh PGN Bali.

Kuasa Hukum PGN Bali Rico Ardika Panjaitan mengaku kepada reporter Tirto bahwa alasan pelaporan lainnya lantaran LBH Bali yang mendampingi AMP Bali pada aksi 31 Mei. Dia mengklaim bahwa LBH Bali memfasilitasi massa yang menyuarakan pembebasan Tanah Papua.

“Dalam orasi 31 Mei 2021 di LBH Bali, jelas bahwa orasi dan nyanyian AMP Bali sangat memenuhi unsur Pasal 106 KUHP,” ucap Rico, Rabu (4/8). Bahkan dia mengkritik LBH Bali, selaku pendamping hukum massa, yang tidak mengetahui apa yang akan diorasikan oleh mahasiswa.

Dalam pelaporan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Bali pada 2 Agustus, Rico turut melampirkan unggahan di akun Instagram LBH Bali yang menayangkan gambar TNI menginjak kepala pemuda Papua, gambar itu berlatar belakang Pulau Papua yang disertakan garis-garis horizontal biru.

“Foto tersebut dengan jelas mempertontonkan bendera Bintang Kejora dengan gambar karikatur. Artinya dapat diduga LBH Bali turut serta, memfasilitasi, memperlancar atau mempersiapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 110 KUHP,” imbuh Rico.

“Artinya beliau (LBH Bali) tidak sebagai kuasa hukum, melainkan sebagai personal yang mendukung Papua dan Papua Barat memisahkan diri dari Indonesia," kata dia.

Rico melaporkan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bali Ni Kadek Vany Primaliraning dengan dugaan makar dan dugaan pemufakatan jahat. Pengaduan terdaftar dengan Nomor Registrasi: Dumas/539/VII/2021 SPKT/POLDA BALI bertanggal 2 Agustus 2021. Ia mengajukan Pasal 106 KUHP dan Pasal 110 KUHP sebagai dasar persangkaan.

Konter Tuduhan

LBH Bali mendampingi aksi damai AMP Bali pada 31 Mei 2021 berdasarkan surat permohonan pendampingan hukum Nomor 09/AMP-KK-BALI/III/2021 bertanggal 27 Mei 2021. Artinya LBH Bali tengah menjalankan mandat konstitusi yakni Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Vany menyatakan bahwa pihaknya melindungi serta menjamin hak warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan dan kesamaan di hadapan hukum serta agar setiap warga negara terhindar dari perlakuan dan tindakan tidak terpuji atau tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.

“Setiap warga negara punya hak atas bantuan hukum atas tindak pidana apa pun,” kata dia kepada reporter Tirto.

LBH Bali sebagai pemberi bantuan hukum, menjalankan mandat konstitusi melalui profesi advokat yakni Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan memiliki hak imunitas berdasarkan Pasal 16 regulasi tersebut, serta Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

“Maka tidak bisa dikaitkan antara tindak pidana yang didakwakan kepada klien kepada advokat pendampingnya,” tutur Vany.

Demonstrasi damai yang dilakukan AMP Bali merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, serta dalam pelaksanaanya telah memenuhi prosedur Pasal 10 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Pelaporan advokat sekaligus aktivis HAM merupakan upaya kriminalisasi sekaligus pelemahan kerja-kerja bantuan hukum dan rasisme terhadap kawan-kawan Papua, mencederai konstitusi dengan pembatasan hak atas bantuan hukum. Dia pun mempertanyakan pelaporan terhadap dirinya.

“Bagaimana advokat yang sedang menjalankan tugasnya, dikatakan sedang memfasilitasi makar dan menjadikan konstitusional Republik Indonesia sebagai korbannya? Bahkan, logikanya, LBH Bali sedang melaksanakan mandat konstitusi (yaitu) memberikan bantuan hukum, implementasi asas praduga tidak bersalah, asas persamaan di depan hukum, asas legalitas dan ini justru dapat menjadi pelaporan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 220 KUHP,” ujar Vany.

Ia Menyayangkan kepolisian yang tidak mengedukasi sebagai tegaknya asas legalitas dan pendalaman pengetahuan konstitusi.

Pelapor Buta Hukum?

Direktur LBH Papua Emanuel Gobay menyatakan, dalil pengaduan Rico jelas menunjukkan bahwa ia sepertinya lupa atau tidak pernah membaca ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“Rico Ardika Panjaitan telah melanggar hak konstitusional terkait ‘setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu’ sebagaimana diatur pada pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” ucap Emanuel, Selasa (3/8/2021).

Sementara, SPKT Polda Bali yang menerima pengaduan Rico menunjukkan bahwa kepolisian terang-terangan melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Rico dan SPKT Polda Bali mengabaikan perintah pemberi bantuan hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya,” sambung dia.

Karena itu, Emanuel meminta agar Kapolri memerintahkan Kapolda Bali untuk mencabut pengaduan tersebut dan menangkap pelapor, serta menindak PGN yang menghalangi kebebasan berpendapat AMP Bali.

Sementara itu, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena berkata pelaporan terhadap Vany dan empat mahasiswa Papua tidak berdasar. “Ini juga dapat berdampak buruk bagi perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat secara damai,” ujar dia, Rabu, 4 Agustus 2021.

Vany hanya menjalankan tugasnya untuk mendampingi dan memberi ruang kepada mahasiswa yang menyampaikan aspirasi politik mereka, kata dia. Sementara empat anggota AMP Bali hanya menyampaikan aspirasi politik mereka dengan damai.

Tindakan mereka sama sekali tidak dapat disebut sebagai makar atau pemufakatan makar, kata dia. Amnesty International Indonesia mendesak Polda Bali untuk melindungi kebebasan berekspresi dengan tidak memproses laporan yang tidak berdasar ini.

Baca juga artikel terkait KASUS DUGAAN MAKAR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz