Menuju konten utama
Round Up

Menilik Peran Purnawirawan dalam Bursa Panglima TNI di Era Jokowi

Pemerhati militer Aris Santoso menilai keberadaan purnawirawan tidak lagi berpengaruh dalam konstelasi pemilihan Panglima TNI.

Menilik Peran Purnawirawan dalam Bursa Panglima TNI di Era Jokowi
Presiden Jokowi Kunjungan Kerja ke Sulawesi Selatan Resmikan Sejumlah Infrastruktur dan tinjau vaksinasi, Sulawesi Selatan (18/3/2021). foto/Biro Setpres/Layli Rachev

tirto.id - Bursa pergantian Panglima TNI terus bergulir seiring masa pensiun Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dalam hitungan bulan, yaitu November 2021. Ada tiga kandidat dari tiga matra yang diproyeksikan menjadi pengganti Hadi, antara lain: KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa, KASAL Laksamana TNI Yudo Margono, dan KASAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo.

Namun, dalam perkembangannya bursa calon mengerucut kedua nama, yaitu: Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana Yudo Margono. KASAU Marsekal Fadjar tidak dimasukkan dalam daftar terkuat karena Hadi juga berasal dari matra AU.

Meski keputusan pemilihan Panglima TNI berada di tangan Presiden Joko Widodo, tapi para kandidat melalui pendukungnya tetap melakukan lobi-lobi dan komunikasi. Sejumlah sumber misal menulis soal peran AM Hendropriyono dalam suksesi Andika.

Laporan Majalah Tempo bahkan menyebut Hendropriyono berperan mendorong Andika dengan sejumlah cara, mulai dari bertemu dengan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan hingga terkini silaturahmi dengan Presiden Jokowi pada 7 Mei 2021.

Mantan Kepala BIN itu tidak memungkiri soal bertemu Jokowi, tapi ia membantah ada upaya lobi agar Andika menjadi Panglima TNI. “Saya tidak bicara dan tidak pernah bicara tentang hal yang demikian itu, saya tidak pernah begitu hina mau nyosor meminta-minta jabatan. Tidak untuk menantu, anak, apalagi untuk saya sendiri. Tidak pernah,” kata dia dalam keterangan tertulis.

Di sisi lain, Yudo Margono, dalam laporan Tempo, juga melakukan pertemuan dengan para purnawirawan Angkatan Laut. Yudo disebut mendekati Laksamana (purn) Bernard Kent Sondakh. Ia pun mengundang sejumlah purnawirawan ketika menghadapi musibah Nanggala-402. Kala itu, selain Kent, mantan KSAL Laksamana Marsetio ikut hadir dalam pertemuan.

Juru Bicara Presiden Jokowi Fadjroel Rahman enggan menjawab apakah pertemuan Jokowi dengan Hendropriyono akan mempengaruhi konstelasi pemilihan Panglima TNI. Ia tidak merinci kapan mantan Wali Kota Solo itu akan memilih pengganti Hadi.

“Tentu Presiden Jokowi yang memiliki hak prerogatif untuk menentukan siapa panglima TNI. Kita tunggu saja, pasti dipilih yang terbaik," kata Fadjroel saat dikonfirmasi reporter Tirto, Kamis (17/6/2021).

Seberapa Besar Pengaruh Purnawirawan?

Peran purnawirawan memang tidak bisa dilepaskan dalam kontestasi bursa Panglima TNI. Sebagai contoh, mantan Menteri Pertahanan yang waktu itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal (purn) Ryamizard Ryacudu. Ia pernah hampir menjadi Panglima TNI.

Kala itu, Presiden Megawati mengirimkan surat pengunduran diri Jenderal (purn) Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI dan menunjuk Ryamizard sebagai penggantinya. Namun pelantikan Ryamizard tersebut batal karena dihentikan SBY yang kala itu tidak lama menjadi Presiden RI menggantikan Megawati.

Di era Jokowi pun pernah terjadi soal peran purnawirawan dalam bursa Panglima TNI. Mantan KSAU Marsekal (purn) Chappy Hakim pernah marah-marah kepada pemerintah karena Jokowi menunjuk KSAD Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo sebagai pengganti Jenderal (purn) Moeldoko pada 2015.

Meski Menkopolhukam kala itu, Laksamana Tedjo Edhy bilang pemilihan Gatot karena melihat faktor kapasitas dan senioritas, tapi Chappy tetap kecewa karena semestinya Panglima TNI setelah Moeldoko dipegang matra AU.

Pada akhirnya, Marsekal Hadi Tjahjanto yang dari matra Angkata Udara terpilih sebagai Panglima TNI pada 8 Desember 2017, menggantikan Gatot Nurmantyo.

Lantas, seberapa besar pengaruh purnawirawan dalam konstelasi kali ini?

Pemerhati militer Aris Santoso berpendapat, keberadaan purnawirawan tidak lagi berpengaruh dalam konstelasi pemilhan Panglima TNI kali ini. Dalam sejarah, kata Aris, hanya satu purnawirawan yang paling berpengaruh dalam pemilihan Panglima ABRI maupun TNI, yakni Presiden Soeharto.

“Dulu ya cuma 1 orang, enggak ada lagi, Pak Harto. Pak Harto karena pensiun tahun 76. Dulu usia 55, tapi kan dia tetap mengendalikan TNI yang waktu itu ABRI. Jadi gak ada sejarahnya purnawirawan punya kuasa mengatur-atur,” kata Aris kepada reporter Tirto, Kamis (17/6/2021).

Aris mengakui memang ada faktor kedekatan purnawirawan yang bisa mempengaruhi presiden dalam menentukan panglima TNI, yakni insiden penunjukan Ryamizard. Akan tetapi, Ryamizard bisa menjadi besar bukan faktor keluarga intinya, yakni Mayjen Purn Mussanif Ryacudu, tetapi faktor Jenderal (purn) Try Sutrisno yang notabene mertua Ryamizard.

“Saya nggak yakin bahwa waktu itu Pak Try semacam KSAD sekarang nyodor-nyodorin mantu atau anaknya, saya nggak yakin," kata Aris.

Sebagai catatan, saat ini banyak jenderal purnawirawan yang berada di keliling Jokowi dan menjadi pejabat pemerintahan. Antara lain: mantan Panglima ABRI Jenderal (purn) Wiranto (Ketua Wantimpres), mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan), Menko Marves Jenderal (purn) Luhut B. Pandjaitan, Menteri Pertahanan Letjen (purn) Prabowo Subianto dan beberapa jenderal purnawirawan lain. Selain di dalam pemerintahan, adapula jenderal purnawirawan, salah satunya Jenderal (purn) Hendropriyono.

Aris pun mengatakan, jenderal purnawirawan lain seperti Wiranto maupun Moeldoko tidak akan berpengaruh banyak. Ia beralasan, para purnawirawan yang berada di lingkaran Jokowi belum tentu didengar oleh mantan Wali Kota Solo itu ketika memberikan pandangan soal kandidat Panglima TNI.

Sebagai contoh, Jokowi mungkin tidak mendengar Moeldoko karena wibawanya sebagai purnawirawan hancur akibat insiden kudeta Partai Demokrat. Chemistry sebagai purnawirawan, yakni rekam jejak kesuksesan operasi maupun upaya membangun figur, yang menjadi kunci purnawirawan seperti Luhut dan Hendro bisa tetap dikenal dan dihargai presiden.

Di saat yang sama, Aris justru melihat faktornya bukan karena purnawirawan, tetapi king maker. Ia mengingatkan Jokowi menjadi presiden karena dukungan sejumlah pihak.

Hal ini berbeda dengan SBY yang merupakan mantan tentara dan bisa menentukan secara langsung panglima yang dibutuhkan selama pemerintahannya. Apalagi SBY merupakan prajurit yang sudah gemilang dengan status Adi Makayasa dan sudah diplot untuk menjadi pejabat besar. SBY pun selalu mengangkat pejabat jenderal bintang 4 dengan status Adi Makayasa demi menjaga keeksklusifan sebagai presiden yang memilih kepala staf maupun panglima.

“Pak Jokowi terbatas paling tahunya Solo Connection, pernah jadi Paspampres, yang pernah bertugas di Istana atau panglima di Jawa. Ya sebatas itu saja. Artinya lebih terbatas dong. Ini yang ngasih ruang king maker untuk masuk. Kalau SBY firm dia pilih sendiri kayak Pak Harto," kata Aris.

Beberapa king maker tersebut memang berstatus purnawirawan, yakni Luhut dan Hendropriyono. Di luar nama tersebut, ada Megawati yang notabene Ketua Umum PDIP, partai Jokowi bernaung. Aris menilai posisi Megawati akan menjadi krusial karena Presiden ke-5 RI itu berhasil membawa Letjen Dudung Abdurrahman dari Gubernur Akmil hingga menjadi Pangkostrad.

“Sekarang ini Pak Jokowi enggak bisa seindependen Pak Harto. Dia dikelilingi king maker. Nah king maker punya endorsement masing-masing, calonnya masing-masing," kata Aris.

Sementara itu, peneliti militer dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LSPSSI) Beni Sukadis justru melihat peran purnawirawan tidak signifikan dalam bursa Panglima TNI. Ia mengingatkan, penentuan Panglima TNI berada di tangan Jokowi sebagai presiden.

Beni justru melihat Jokowi akan memilih Panglima TNI berdasarkan kemampuan untuk bisa bekerja sama dan berhubungan baik dengan menteri pertahanan saat ini agar tidak ada kegaduhan seperti masa lalu.

“Kalau anak buah berantem, kan, repot kayak Pak Ryamizard sama Pak Gatot sempat berantem. Ya saya sih tidak berharap ini terjadi, tapi kalau dari sisi relevansi purnawirawan tidak terlalu relevan," kata Beni kepada reporter Tirto, Kamis (17/6/2021).

Beni tidak memungkiri Jokowi punya banyak purnawirawan di lingkaran pemerintahan. Akan tetapi, ia pesimistis Jokowi akan meminta masukan kepada para purnawirawan tersebut dalam menentukan Panglima TNI pengganti Hadi.

Beni mengatakan, upaya komunikasi yang dibangun oleh para kandidat Panglima TNI sebagai upaya mencari dukungan psikologis. Ia beralasan, para purnawirawan tidak membawa dampak kepada konstelasi nasional. Namun, ia tidak memungkiri ada makna positif lain di luar dukungan psikologis.

“Di satu sisi jejaring ini gak mungkin putus karena, kan, gimana pun TNI ini punya peran politik dulunya sehingga dianggap memiliki pengaruh politik. Itu saja sih jadi ada residu-residu orde barunya," kata Beni.

Beni mengakui beberapa purnawirawan yang berada di lingkaran Jokowi ada yang dianggap sebagai penasihat informal. Akan tetapi, Beni melihat nasihat itu didengar jika memang punya pengaruh politik seperti Luhut yang masih punya hubungan dengan Partai Golkar.

Beni juga melihat tidak ada konsekuensi besar jika Jokowi memilih panglima di masa depan tanpa mendengarkan purnawirawan. Ia beralasan, kedua kandidat, yakni Andika maupun Yudo memang mumpuni dari segi operasi dan sepak terjang militer, meski Andika punya nilai plus lewat kehadiran Hendropriyono.

“Saya pikir tetap di tangan Pak Jokowi sendiri. Terlepas dengan kedekatan Pak Hendro, menantunya pasti ada pengaruhnya, tapi seberapa besar, saya nggak tahu," kata Beni.

Baca juga artikel terkait BURSA CALON PANGLIMA TNI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz