Menuju konten utama
Panitia Seleksi Pimpinan KPK

Menilik Kembali Lemahnya Kinerja KPK & Perlunya Pimpinan Baru

Upaya pemberantasan korupsi saat ini dinilai akan sangat tergantung terhadap komitmen pimpinan tertinggi negara.

Menilik Kembali Lemahnya Kinerja KPK & Perlunya Pimpinan Baru
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini dinilai banyak mengalami kemerosotan. Hal tersebut ditinjau dari banyak aspek, seperti merosotnya indeks persepsi korupsi, pelanggaran etik hingga efektivitas penanganan perkara oleh komisi antirasuah.

Merujuk laporan Transparency International, rata-rata Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) global pada 2022 sebesar 43. Merujuk data tersebut, IPK Indonesia lebih buruk dari rata-rata dunia. Adapun negara terkorup nomor satu di Asia Tenggara adalah Myanmar, diikuti Kamboja, Laos, dan Filipina.

Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak 2 poin dari skor 32, selama satu dekade terakhir sejak 2012. Situasi ini memperlihatkan respons terhadap praktik korupsi masih cenderung berjalan lambat, bahkan memburuk akibat minim dukungan dari para pemangku kepentingan.

Terkait pelanggaran etik, nama Ketua KPK Firli Bahuri baru-baru ini menjadi sorotan karena adanya laporan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan olehnya. Setidaknya sudah ada 3 laporan yang mengarah kepada dugaan pembocoran dokumen penyelidikan kasus korupsi tukin di Kementerian ESDM. Kebocoran dokumen tersebut diduga menyeret orang nomor satu di KPK.

Pertama, laporan dari koalisi masyarakat sipil yang pada 10 April 2023 telah diserahkan oleh Abraham Samad dkk kepada Dewas KPK. Mereka melaporkan dugaan pelanggaran etik hingga pidana yang dilakukan pimpinan komisi antirasuah.

Dalam pelaporan tersebut turut hadir mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan; Wakil Ketua KPK 2015-2019, Saut Situmorang; eks penasihat KPK, Abdullah Hehamahua serta Budi Santoso; Denny Indrayana, ICW, Public Virtue Research Institute, IM57, YLBHI, dan organisasi masyarakat lainnya.

SIDANG ETIK WAKIL KETUA KPK LILI PINTAUL SIREGAR

Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Hatorangan Panggabean (tengah) didampingi dua orang Anggota Dewas KPK Harjono (kanan) dan Albertina Ho (kiri) memberikan keterangan pers usai persidangan dugaan pelanggaran etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Senin (11/7/2022). ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj.

Sebelum kasus Firli, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli resmi mengundurkan diri di tengah penyidikan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku.

Lili diduga menerima fasilitas akomodasi hotel hingga tiket menonton ajang balap MotoGP Mandalika pada 18-20 Maret 2022 dari Pertamina. Perkara tersebut bukan kali pertama Lili dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku.

Pada 30 Agustus 2021, Lili juga dikenakan sanksi berupa pemotongan gaji 40 persen selama 12 bulan karena melakukan pelanggaran berat, yaitu berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial yang sedang menjadi tersangka KPK. Lili juga dianggap menyalahgunakan wewenang pada perkara tersebut.

Hal lain yang turut menuai kritik adalah penangangan perkara di KPK yang dinilai hanya menjangkau perkara kecil.

“Kelasnya KPK ya memang kelas bulu. Masih mending kelas ringan, ini kelas bulu. Nah, kalau Kejaksaan Agung dan polisi itu cara kerjanya kelas berat. Jadi kita rugi mendirikan KPK karena cara kerjanya kelas bulu, cari gampangnya saja," kata Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman dalam keterangannya, dikutip Kamis, 25 Mei 2023.

Kritik senada juga dilontarkan peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Yogyakarta, Zaenur Rohman. Ia mengatakan KPK saat ini tidak lagi mampu menangani perkara strategis.

“Saya selalu bilang bahwa KPK itu harusnya memang berfokus kepada big fish yang strategis," kata Zaenur.

Kategori perkara strategis tersebut, kata Zaenur, adalah merugikan keuangan negara dengan jumlah besar, dilakukan oleh pejabat dengan kewenangan sangat besar, dan merugikan rakyat banyak.

Ketika KPK tidak lagi dapat diandalkan untuk menangani jenis perkara tersebut, Zaenur meyakini, hal itu juga yang menyumbang faktor merosotnya indeks persepsi korupsi di Indonesia.

“Itu mengakibatkan pemberantasan korupsi menjadi tidak optimal dan akibatnya juga terlihat satu implikasi buruknya adalah rontoknya indeks persepsi korupsi Indonesia," kata Zaenur.

Apakah KPK Layak Dibubarkan?

Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko mengatakan, KPK saat ini belum sampai pada perdebatan perlu dibubarkan atau tidak, tetapi perlu evaluasi mendalam.

“Kalau lihat performanya malah banyak kasus besar ditangani oleh kejaksaan dibanding KPK, tetapi saya kira memang belum sampai pada kesimpulan apakah perlu dibubarkan atau tidak, tetapi satu hal bahwa evaluasi yang mendalam itu menjadi penting," kata Wawan saat dihubungi Tirto.

Wawan menyebut, sejak lahirnya UU Nomor 19 Tahun 2019 yang menjadikan KPK sebagai lembaga eksekutif, KPK tidak lagi menjadi lembaga yang mampu menjalankan upaya pemberantasan korupsi secara independen.

"Faktanya dengan perubahan UU KPK yang baru, UU No 19 tahun 2019 itu justru jauh dari semangat KPK sebagai trigger mechanism, sebagai lembaga pemberantas korupsi yang harusnya bebas dari cabang kekuasaan manapun. Karena di UU [Nomor] 19, KPK masuk rumpun eksekutif, jadi nggak ada bedanya KPK dengan kepolisian dan Kejaksaaan," kata Wawan.

Hal ini juga turut dikritik Zaenur Rohman. Ia menyebut UU Nomor 19 Tahun 2019 tersebut menghambat kinerja KPK khususnya dalam hal penindakan.

“Upaya penindakan itu juga banyak hambatan, banyak perlawanan, yang paling besar ketika dasar hukum berdirinya KPK itu divisi melalui UU 19/2019. Sekarang kondisi dalam kondisi yang memprihatinkan situasinya," kata Zaenur.

Zaenur menyebut salah satu indikasi yang menunjukkan bahwa KPK tidak dalam kondisi prima adalah banyaknya masalah internal yang terjadi.

“Mereka sibuk tidak mampu untuk mengatasi masalah internal. Yang paling serius berbagai bentuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para pimpinan KPK. Artinya ada pengeroposan integritas di institusi pemberantasan korupsi kita," kata Zaneur.

PELUNCURAN ROADSHOW BUS KPK

Ketua KPK Firli Bahuri memberikan sambutan saat peluncuran Roadshow Bus KPK 'Jelajah Negeri Bangun Antikorupsi' di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/9/2022). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.

Butuh Komitmen Pemimpin Negara

Wawan mengatakan, saat ini perbaikan KPK tergantung kepada komitmen presiden terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pasalnya, KPK saat ini bukan lagi lembaga independen, melainkan lembaga eksekutif.

“Komitmen itu nanti diturunkan pada profil para pansel. Nah, nanti pansel yang menyeleksi, lalu hasil seleksinya di fit and proper test di DPR, presiden yang memilih. Kan begitu," kata Wawan.

“Artinya bahwa sekarang pimpinan KPK seperti apa, ya kita tanyakan kepada komitmen presiden pada pemberantasan korupsi," imbuh Wawan.

Zaenur juga mengatakan, upaya pemberantasan korupsi akan sangat tergantung terhadap komitmen pimpinan tertinggi negara. Sayangnya, Zaenur menilai, Presiden Jokowi saat ini abai melakukan reformasi hukum termasuk di antaranya dalam hal penanganan perkara korupsi.

“Indonesia saya kalau dilihat dari sisi ekonomi dan infrastruktur okelah. Tapi selama aspek penegakan hukum yang buruk, maka Indonesia tidak mungkin menjadi negara yang maju. Itu yang selama ini tidak dilakukan oleh Presiden Jokowi. Presiden Jokowi punya banyak program di bidang ekonomi, di bidang infrastruktur, khususnya budaya tetapi mengabaikan aspek reformasi penegakan hukum, khususnya adalah masalah korupsi," kata Zaenur.

Komitmen tersebut, kata Zaenur, dapat diturunkan melalui wajah panitia seleksi yang akan melakukan serangkaian proses seleksi terhadap calon ketua KPK.

“Wajah (pansel) itu nanti akan menentukan wajah pimpinan KPK terpilih. Kalau panselnya bermasalah sejak awal, menangkap yang terpilih juga kemungkinan akan bermasalah," kata Zaenur.

PENGESAHAN PIMPINAN KPK TERPILIH

Pimpinan KPK terpilih periode 2019-2023 (dari kiri) Firli Bahuri, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata dan Lili Pintauli Siregar, menyapa anggota DPR saat menghadiri Rapat Paripurna Pengesahan Pimpinan KPK terpilih di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/ama.

Sosok Moralis Dibutuhkan di KPK

Sementara itu, Wawan Heru tak memungkiri bahwa sosok moralis masih amat diperlukan untuk menjadi pemimpin KPK saat ini. Hal ini dibutuhkan, kata dia, mengingat maraknya kasus pelanggaran etik pimpinan KPK belakangan ini.

“Kita butuh sosok figur yang mempunyai integritas yang tinggi, sepertinya terlalu retorik, tapi ternyata hal itu yang dipentingkan sekarang. Misalnya kasusnya Lili yang sampai mengundurkan diri, Firli Bahuri pun juga sudah berkali-kali dilaporkan etik. Nah, artinya itu, kan, menjadi standar moral, standar integritas pemimpin di lembaga antirasuah," kata Wawan.

Ia mengatakan, tak mungkin mengandalkan pimpinan KPK yang dipilih hanya sebagai konsepsi politik semata.

“Nah hal etika, moralis itu masih diperlukan di lembaga KPK ini. Nggak bisa juga mengandalkan pimpinan KPK yang hanya sekedar konsesi politik," katanya.

Baca juga artikel terkait PE atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz