Menuju konten utama

Menhan dan Panglima TNI Tolak Perwira Aktif Jadi Pejabat Gubernur

Penunjukan perwira aktif sebagai pejabat gubernur berpotensi mengganggu netralitas aparat negara.

Menhan dan Panglima TNI Tolak Perwira Aktif  Jadi Pejabat Gubernur
Mendagri Tjahjo Kumolo, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Menteri PUPR Basuki Hadi Muljono, dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno berfoto bersama usai Apel Gelar Pasukan Operasi Lilin 2017 yang diadakan di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, Kamis (21/12/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu tidak setuju dengan rencana Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menunjuk perwira polisi aktif sebagai pejabat gubernur di Pilkada 2018. Ia juga memastikan tidak akan mengizinkan apabila ada perwira TNI aktif yang ditunjuk menjadi pejabat gubernur.

“Kalau bisa enggak usahlah (anggota TNI jadi Pj gubernur),” kata Ryamizard di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (28/1).

Ryamizard merupakan jendral purnawirawan dengan jabatan terakhir Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD). Ia mengatakan penunjukan perwira TNI maupun Polri sebagai pejabat gubernur selama pilkada berpotensi mengganggu netralitas aparat negara.

“[Netralitas] harus dijunjung tinggi, dikawal saja, jangan macam-macam. Saya juga enggak suka gitu-gitu. Saya dari dulu adil," kata Ryamizard.

Pendapat Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto juga senada dengan Ryamizard. Ia menyatakan, sesuai UU TNI No.34/2004 Pasal 47, setiap anggota TNI dilarang berpolitik praktis. "Jadi, [prinsip] netral yang saya pegang," kata Hadi.

Hadi mengaku sudah berkomunikasi dengan Tjahjo tentang sikapnya. Komunikasi itu menurutnya direspons Tjahjo

dengan tidak menunjuk perwira TNI aktif sebagai pejabat gubernur. “[Saat] rapim TNI/Polri pun saya dengan Pak Kapolri Pak Tito sama pendiriannya kami sampaikan netralitas itu adalah harga mati,” kata Hadi.

Dosen tata negara Universitas Indonesia Irmanputra Sidin menilai rencana penunjukan perwira Polri aktif sebagai pejabat gubernur berpotensi melanggar konstitusi dan perundang-undangan. Irman menjelaskan, menurut pasal 201 ayat (10) Undang-Undang No.10/2016 tentang Pilkada, untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat pejabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Namun, menurut Irman, Tjahjo menambahkan norma di pasal itu melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 11 tahun 2018. Di dalam Pasal 4 ayat (2) permendagri tersebut, dinyatakan bahwa pejabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat atau pemerintah daerah provinsi.

Padahal, kata Irman, penambahan norma setingkat dalam permendagri bertentangan dengan ketentuan Pasal 201 ayat (1) UU Pilkada, yang menyatakan penjabat gubernur hanya boleh dipegang jabatan pimpinan tinggi madya. Bukan orang yang menduduki jabatan setingkat. Permendagri itu juga bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 30 ayat (2).

“Konstitusi sudah memberikan batasan tegas peran dan otoritas institusi Polri dan TNI, yaitu menjaga kedaulatan negara, keamanan, ketertiban serta penegakan hukum,” kata Irman seperti dilansir Antara.

Mengacu Pasal 1 angka 7 dan angka 8 Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) Irman mengatakan hanya ASN saja yang tergolong pimpinan tinggi madya. “Pertanyaannya, dapatkah anggota Polri dan TNI menduduki jabatan dalam jabatan ASN,” ujar Irman.

Irman mengatakan Pasal 20 UU ASN memang menyatakan jabatan ASN bisa diisi oleh TNI dan anggota Polri sepanjang dilaksanakan di instansi pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 Pasal 147 dan Pasal 148 ayat (2) yang membolehkan prajurit TNI dan Polri menjadi pejabat ASN sepanjang dalam lingkup instansi pusat.

“Artinya, jabatan ASN tertentu yang dapat diisi oleh anggota Polri adalah hanya berada di instansi pusat,” ujar Irman.

Kalaupun perwira TNI dan Polri aktif ingin ditunjuk menjadi pejabat gubernur maka mereka harus lebih dahulu menduduki jabatan pimpinan tinggi madya di instansi pusat.

“Bukan jabatan setingkat yang bisa dicaplok secara langsung dari Polri, karena jabatan setingkat tidak dibolehkan oleh UU cq konstitusi," lanjutnya. "Oleh karenanya bahwa rencana penunjukan pati Polri yang sedang menduduki jabatan di Kepolisian Negara RI yang tidak tergolong jabatan pimpinan tinggi madya seperti dimaksud UU Pilkada cq UU ASN adalah inkonstitusional."

Wacana penunjukan perwira polisi aktif sebagai pejabat gubernur muncul dari Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul setelah rapat pimpinan Polri di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (25/1).

Martinus mengatakan ada dua perwira polisi aktif yang disiapkan menjadi pejabat gubernur. Mereka ialah Asisten Operasi Kapolri Irjen M. Iriawan, untuk mengganti Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang habis masa tugasnya pada 13 Juni 2018. Kemudian, Kepala Divisi Prompam Irjen Martuani Sormin untuk menggantikan Tengku Erry yang akan bebas tugas per 17 Juni nanti.

Tjahjo telah mengonfirmasi bahwa rencana itu datang darinya. Ia beralasan perwira polisi aktif dipilih karena keterbatasan sumber daya. Meski rencana itu banyak dikritik, Tjahjo menjamin perwira Polri akan netral di ajang pilkada selama menjadi pejabat gubernur.

"Saya pertaruhkan pertanggungjawaban saya kepada Presiden. Tahun kemarin juga aman, Sulawesi Barat, Aceh, aman, Ini perlu figur yang gampang berkoordinasi," kata Tjahjo.

Tjahjo meyakini pejabat gubernur yang berasal dari perwira tinggi Polri akan netral karena penunjukan di beberapa daerah baru dilakukan pada pertengahan Juni, menjelang berakhirnya proses Pilkada 2018.

"Jabar mau main apa? Wong selesainya Gubernur Jabar itu Juni 2018, Sumut juga Juni 2018, Pilkada [pencoblosan] Juni. Kecuali sekarang diganti, orang boleh curiga," katanya.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar & Maulida Sri Handayani