Menuju konten utama

Mengutuk Terorisme, Mengingat Teror Bom Gereja Surabaya

Serangan bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya adalah teror bom paling parah di Kota Pahlawan.

Mengutuk Terorisme, Mengingat Teror Bom Gereja Surabaya
Ilustrasi Mozaik Bom Gereja Surabaya 13 Mei 2018. tirto.id/Nauval

tirto.id - Pada 9 September 2001, Presiden Amerika Serikat, George W Bush, berkunjung ke sebuah sekolah di Florida untuk membacakan cerita kepada murid-murid di sana. Itu merupakan bagian dari pendekatannya kepada masyarakat.

Ketika Bush dan rombongan hendak masuk ke dalam kelas, ia diberitahu oleh Penasihat Senior dan Wakil Kepala Staf di era pemerintahannya, Karl Rove, ada pesawat yang menabrak menara kembar World Trade Center di kawasan Manhattan.

Bush jelas terkejut, tapi masih belum mengira jika yang dimaksud Rove adalah pesawat penumpang komersial jenis Boeing 737 milik maskapai penerbangan American Airlines. Menurutnya, paling-paling hanya pesawat kecil belaka.

Sampai kemudian Condoleezza Rice, Penasehat Keamanan Nasional, menelponnya.

“Aku kaget. Pesawat itu mungkin dikendalikan pilot paling payah di dunia. Bagaimana bisa di siang hari cerah dia menabrak gedung pencakar langit? Mungkin juga dia mendapat serangan jantung,” tulis Bush seperti dilansir Guardian.

Bush kian terkejut, tapi masih bisa menjaga dirinya tenang. Lalu muncul kabar mencekam lainnya. Kali ini datang dari salah seorang ajudannya, Andrew Card. "Ada pesawat kedua yang menghantam WTC," kurang lebih demikian yang dikatakan Card.

Bush tambah gugup. Tapi kabar-kabar buruk masih terus berdatangan: pesawat ketiga menyerang Pentagon, Washington D.C, dan pesawat keempat jatuh di Shanksville, Pennsylvania. Bush terhenyak. Selama sekitar tujuh menit ia hanya bisa membisu di hadapan para bocah di kelas itu.

Kelak diketahui: jumlah korban dalam serangan 11 September 2001 itu mencapai 2.977 orang.

Jaringan Al Qaeda di Indonesia

Serangan sporadis yang terjadi di AS tersebut merupakan awal mula pembiakan kejahatan teror skala global pada abad ke-21.

AS tak butuh waktu lama untuk melacak pelakunya. Satu hari usai serangan, Direktur Central Intelligence Agency (CIA) kala itu, George Tenet, memberitahu Bush bahwa dalang penyerangan adalah organisasi teroris Al Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden.

Bertahun-tahun kemudian, tak sedikit orang yang meragukan kredbilitas AS terkait temuan mereka tersebut. Sebagian besar dari mereka percaya bahwa serangan Al Qaeda hanyalah akal-akalan Bush untuk mencanangkan program "Perang Melawan Teror". Bin Laden pun juga menyangkalnya.

Namun, terlepas dari berbagai teori konspirasi di balik tragedi 9/11, kejahatan teror yang dilakukan Al Qaeda telah menyebar nyaris ke seluruh dunia.

Di Indonesia, jaringan Al Qaeda menunjukkan eksistensinya melalui tokoh-tokoh seperti Imam Samudra, Amrozi, Mukhlas alias Ali Gufron, hingga Ali Imron. Mereka semua dipertemukan di satu tempat yang sama, pesantren Lukmanul Hakim di Ulu Tiram, Johor, Malaysia, yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir.

Dan hanya berselang satu tahun setelah tragedi WTC, serangkaian bom turut hadir di Tanah Air.

Bermula pada 12 Oktober 2002, ledakan terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali. Peristiwa itu kelak dikenang sebagai Bom Bali I. Menyusul kemudian bom di hotel JW Marriot pada Agustus 2003, bom di Kedutaan Australia September 2004, bom Bali II Oktober 2005, dan bom di Ritz-Carlton bersama JW Marriot pada 17 Juli 2009.

Generasi teroris di Indonesia selanjutnya dipimpin oleh Noordin M. Top. Sama seperti Imam Samudra dkk., Noordin juga merupakan murid di pesantren Lukmanul Hakim, bagian dari Jamaah Islamiyah (JI), dan punya hubungan dengan Al Qaeda pimpinan Bin Laden.

Secara rutin sejak tahun 1980, JI mengirim orang-orangnya ke Afghanistan untuk belajar. Kedok mereka terbongkar saat ledakan besar di Bali tahun 2002. Namun, terbongkarnya jaringan terorisme tersebut justru memunculkan bibit-bibit berbahaya yang baru. 25 tahun sejak Amrozi dihukum mati, Baasyir berhasil memunculkan tokoh baru, Aman Abdurrahman.

Sejak 2010, sosok ini sudah dilatih secara militer di Aceh dengan dukungan dan biaya penuh dari Baasyir. Meski kemudian polisi berhasil meringkus dan menjebloskannya ke Nusakambangan, Aman justru berhasil membaiat narapidana lain dan mendirikan organisasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) pada 2015.

Hingga kini, JAD adalah jaringan teroris terbesar di Indonesia. Salah satu kekejian yang muskil dilupakan orang-orang baru terjadi dua tahun lalu, 13 Mei 2018: peledakan tiga gereja di Surabaya.

Satu Keluarga Kaya Menebar Teror

Setelah peristiwa 9/11, pencegahan aksi terorisme kerap disorot dari kacamata kemiskinan. Mengincar orang miskin, sebagaimana dijelaskan penasihat senior di United States Institut of Peace (USIP), Corinne Graff, memang menjadi cara yang digunakan Al Qaeda dalam merekrut calon teroris untuk spektrum wilayah Asia Tenggara.

JAD punya pendekatan berbeda. Doktrin dari kelompok tersebut berhasil menyihir orang-orang dengan kondisi ekonomi baik-baik saja untuk melakukan bom bunuh diri.

Pengeboman tiga gereja yang terjadi pada hari Minggu (13/5/2018), melibatkan satu keluarga yang terdiri dari Dita Oepriarto (ayah), Puji Kuswati (ibu), kedua putra mereka, YF dan FH, serta dua putri FS dan FR, adalah contoh konkretnya.

Perjalanan Dita menjadi teroris dipupuk sejak awal tahun 1990an, ketika ia baru berkenalan dengan guru spiritualnya, Khalid Abu Bakar, asal Malaysia. Sejak saat itu, Dita sering menggelar pengajian bersama gurunya di rumah.

Kondisi ekonomi keluarga Dita sama sekali tidak berada di ambang atau bawah garis kemiskinan. Kedua pasangan itu punya usaha obat herbal tradisional. Dari usaha tersebut, mereka mampu memiliki tiga sepeda motor, satu mobil, satu komputer, dan berlangganan internet setiap bulan. Ketika musim liburan tiba, Dita juga terbiasa mengajak keluarganya vakansi ke tempat wisata.

Ketika pindah tahun 2012, rumah yang ditempati keluarga itu bernilai sekitar Rp 600 juta. Kini kisarannya mencapai kurang lebih Rp1,2 miliar. Di bagian belakang rumah itu juga terdapat sebuah halaman cukup luas. Ada sebuah papan yang digunakan sebagai sasaran tembak panah di sana. Menurut polisi, keluarga tersebut sering berolahraga di halaman itu.

Makmurnya kondisi ekonomi keluarga tersebut ditopang oleh ayah Puji yang bernama Haji Kusni, salah seorang pengusaha jamu yang cukup sukses di Banyuwangi. Rumah dan empat mobil pun sempat dibelikan oleh Haji Kusni. Tiga mobil lainnya konon telah dijual oleh Dita.

Sementara melalui penelusuran akun Facebook Dita, kedua putranya, YF dan FH, bersekolah di SMP Muhammadiyah 18 Surabaya. YF, berdasar unggahan tahun 2015, merupakan siswa yang rajin belajar agama dan menjadi Ketua OSIS di sekolahnya. Ketika momen pengemboman terjadi, YF tengah berusaha menghafal 30 Juz Alquran.

Di media sosial sang istri juga terdapat unggahan tertanggal 3 Maret 2013 yang bertuliskan: “Kesulitan di dunia tidak ada apa-apanya dibandingkan kesulitan di negeri akherat. Yang memudahkan kita adalah kedekatan kita dengan ALLAH.”

Infografik Mozaik Bom Gereja Surabaya

Infografik Mozaik Bom Gereja Surabaya 13 Mei 2018. tirto.id/Nauval

Awal Serangan Beruntun

Satu hari sebelum aksi pengeboman dilakukan, Khorihan, Ketua RT di perumahan daerah Rungkut tempat keluarga Dita tinggal, menyaksikan sesuatu yang ganjil. Usai salat maghrib berjamaah, kata Khorihan, keluarga tersebut saling berpelukan erat seperti hendak berpisah.

"Sabtu usai salat subuh, anak kedua habis salat sempat nangis-nangis. Terus dirangkul, dicium dan dipuk-puk oleh Dita," ujar Khorihan seperti dilansir Merdeka.com. Selain Khorihan, seorang satpam di sana juga menyaksikan peristiwa itu. Ia pun menyebarkan kesaksiannya melalui pesan berantai dan media sosial.

Pukul enam pagi keesokan harinya, keluarga tersebut memulai aksi teror. Dita mengendarai mobil bersama Puji dan kedua putrinya. Sementara kedua anak laki-laki mereka berangkat menaiki motor. Usai keluar dari perumahan, mereka segera berpencar.

Kedua anak laki-laki menuju Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di kawasan Ngagel. Puji dan kedua putri diturunkan di Gereja Kristen Indonesia di sekitar Diponegoro. Dita kemudian bergegas ke arah Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan.

Ledakan pertama dilakukan oleh kedua putra mereka sekitar pukul 06:30 WIB. Dalam rekaman CCTV tampak jamaat sedang berkerumun masuk di pintu gerbang Gereja Santa Maria Tak Bercela. Ada satu mobil yang berhenti dan menutup akses masuk.

Tak lama berselang, sebuah sepeda motor menyalip kendaraan tersebut sembari membunyikan klakson terus menerus. Satpam gereja bernama Aloysius Bayu Rendra Wardhana berusaha mengadang motor itu, tapi dia tidak cukup cepat. Begitu sampai tepat di pintu gerbang, bom yang dibawa kedua bocah laki-laki itu meledak.

Delapan orang tewas seketika.

Bom kedua meledak pada pukul 07.15. Dengan mengenakan burka berwarna hitam, Puji dan kedua anaknya menuju parkiran motor Gereja Kristen Indonesia Diponegoro. Melihat penampilan rombongan yang mencolok seperti itu dan di tempat yang juga tidak sewajarnya, Yesaya Bayang selaku satpam GKI segera menghalangi mereka masuk ke dalam gedung.

Tepat pada saat itulah bom meledak. Tiga orang tewas, sementara Yesaya termasuk ke dalam daftar mereka yang luka parah. Pendeta yang membawakan khotbah hari itu, Fendi Susanto, terperangah tak percaya usai mengetahui ada orang tua yang mengajak anak-anaknya menjadi pelaku bom bunuh diri.

Ledakan bom ketiga yang dibawa Dita terjadi di GPPS pada pukul 07.53. Hanya dalam hitungan detik usai menabrak sepeda motor yang berada dekat pintu masuk gereja, bom tersebut meledak. Ledakannya paling besar di antara kedua bom sebelumnya dan menewaskan empat orang. Satu bom lagi di dalam mobil tidak jadi meledak dan berhasil diamankan oleh tim gegana.

Total korban meninggal dunia dalam rangkaian bom tiga gereja ini adalah 18 orang.

Rangkaian bom gereja Surabaya tersebut menjadi awal serangan teror lain di bulan Mei. Di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, 13 Mei 2018, sebuah bom rakitan milik pelaku bernama Anton Ferdiyantono meledak sendiri di rumahnya hingga menewaskan istri dan seorang anak mereka. Anton lantas ditembak mati oleh polisi karena masih memegang detonator. Tiga anaknya yang lain masih bisa diselamatkan.

Keesokan harinya, Minggu (14/5/2018), dua sepeda motor sempat mencoba Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolrestabes) Surabaya pada pukul 08.50 WIB. Dua sepeda motor yang ditumpangi oleh keluarga beranggotakan suami-istri dan tiga orang anak, nyaris menerobos pintu masuk. Bom pun meledak tak lama setelahnya.

Satu anak pelaku berinisial AIS (8) selamat, sedang tiga yang lain tewas seketika. Tri Murtiono sebagai kepala keluarga tersebut diduga polisi merupakan satu jaringan dengan Dita dan Anton.

Baca juga artikel terkait TERORIS atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Eddward S Kennedy