Menuju konten utama

Mengurut Pengepungan Mes Mahasiswa Papua di Ambon Jelang 1 Desember

Asrama mahasiswa Papua di Ambon dikepung aparat dan warga jelang peringatan 1 Desember. Tapi aparat bilang itu bukan pengepungan.

Mengurut Pengepungan Mes Mahasiswa Papua di Ambon Jelang 1 Desember
Seorang demonstran menuntut pengusutan terhadap pelaku pelanggaran ham di Papua menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Monas, Jakarta, Selasa (1/12/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Semestinya Natan Weya, mahasiswa Universitas Pattimura (Unpatti) dan 20 kawan, menggelar demonstrasi peringatan tahunan 1 Desember Papua beberapa hari lalu. Tapi semua batal karena tempat tinggal mereka dikepung sejak malam sebelumnya. Reaksi ini dianggap tak patut.

TNI-Polri menyambangi asrama yang terletak di Jalan Ir. M. Putuhena, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon, ketika para penghuni sedang mempersiapkan demonstrasi pada Senin 30 November 2020 sekitar pukul 22.30 WIT. Datang pula seorang dosen Unpatti--yang dikenal Natan mengajar di Fakultas Ekonomi tapi tak tahu siapa namanya, Ketua RT, dan sekretaris desa.

Ketua RT mengatakan ia hendak mengecek apa betul ada penghuni baru di asrama itu. Tentu alasan ini tak masuk akal karena aparat turut serta. Para penghuni pun meminta 'tamu' angkat kaki, apalagi mereka datang hampir tengah malam.

Para tamu memang pergi, tapi itu hanya awal dari intimidasi.

"Setelah itu TNI, Polri, dan intelijen memblokade dua jalan tempat tinggal kami. Dibantu warga setempat," jelas Natan kepada reporter Tirto, Selasa (1/12/2020). Selain blokade, sekira pukul 03.30, teriakan makian terdengar empat kali. "Mereka melontarkan kata-kata makian [seperti] anjing, babi, binatang, goblok, dan segala macam. Tapi kami mahasiswa Papua tidak membalas." Terjadi pula pelemparan batu.

Para penghuni tentu saja ketakutan. Perut mereka kosong tapi tak bisa keluar.

Seorang penghuni asrama, Abner Holago, lewat Facebook mengatakan rombongan berdiri di depan pintu menanyakan jumlah penghuni asrama dan apakah ada selain orang Papua dan yang bukan penghuni. Perdebatan mulai terjadi ketika rombongan memaksa masuk ke ruang tamu. Dia juga menayangkan beberapa video lain.

Para penghuni dituding “tidak memperingati 17 Agustus, tidak tahu terima kasih.” Juga menerima kalimat makian seperti 'semerlap' yang artinya 'biadab'.

Pemantauan oleh “[aparat] berpakaian preman” terus berlangsung meski intensitasnya berkurang. Para penghuni pun gagal menggelar demonstrasi. “Tapi kami bisa keluar beli makan dan minum. Mereka hanya pantau-pantau dengan motor, lewat-lewat saja,” katanya.

Kasubag Humas Polresta Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease Ipda Izak Leatemia membantah apa yang mereka lakukan disebut pengepungan. Ia bahkan bilang video yang beredar bohong belaka. “Video hoaks yang disebarkan melalui akun FB bernama Abner Holago memang membuat marah warga setempat, namun tidak ada pengepungan jalan masuk maupun mes mahasiswa ini,” ujar dia, Selasa, dikutip dari Antara.

Dolvis juga membantah ada pengepungan. “Saya bersama perangkat RT dan masyarakat masuk mes itu hanya untuk menanyakan ada orang yang dicurigai. Karena ketika kami masuk, ada yang lari ke belakang,” katanya.

Izak bilang awalnya asrama itu didatangi oleh warga dari salah satu desa di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Lantas Ketua RT 011/06 Dolvis da Costa beserta pejabat Desa Wayame Nur Alan La Saleman, anggota Bhabinkamtibmas dan personel Babinsa turut serta. Tujuannya untuk menanyakan identitas tamu.

Ketika para penghuni menolak, ada yang merekam kejadian itu dan membuat narasi seolah-olah mereka dikepung aparat. Kemudian rombongan balik badan. Meski demikian, guna menjaga situasi kondusif, personel polsek berjaga-jaga--yang bagi mahasiswa dianggap pengepungan dan membuat mereka takut.

Diskriminasi

Bagi Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay, apa yang terjadi di Ambon ini memperkuat fakta diskriminasi dan stigma kerap kali menimpa orang-orang Papua. Orang-orang Papua sering dicurigai berlebihan karena etnis mereka. Sulit membayangkan kejadian serupa menimpa orang-orang non-Papua.

Stigma dan diskriminasi ini juga dipraktikkan oleh aparat. “Aparat keamanan itu bagian dari pemerintah, bertanggung jawab untuk melindungi,” kaya Gobay kepada reporter Tirto, Rabu (2/12/2020). Ia lantas mengutip Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945, yang menyebut “perlindungan, pemajuan penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Selain itu, ia juga menegaskan masuknya aparat tanpa izin ke rumah merupakan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 167 KUHP. Gobay berharap tak ada lagi kejadian pelanggaran hak konstitusi warga negara seperti ini.

Musni Umar, sosiolog dan Rektor Universitas Ibnu Chaldun, mengatakan dampak dari peristiwa ini tak lain adalah para mahasiswa “merasa dibenci” oleh lingkungan yang berbeda dari mereka. Itu semua hanya akan “mempertajam polarisasi” dan jelas-jelas “tidak ada yang diuntungkan.”

Kepada reporter Tirto, Rabu, dia bilang bila kebencian menguat, maka bisa saja orang-orang Papua semakin teguh pendiriannya untuk memisahkan diri dari Indonesia. Oleh karena itulah dia bilang aparat semestinya bisa mengambil hati mereka secara bijak dan tanpa pendekatan kekuasaan. “Kalau rakyat, jangan diperlakukan seperti itu. Harus dilindungi,” katanya.

Sementara menurut Koordinator Badan Pekerja Kontras Fatia Maulidiyanti, sulit melepaskan peristiwa ini dengan fakta bahwa itu terjadi satu hari sebelum peringatan 1 Desember. “Pengepungan juga bukan pertama kali terjadi. Ini bentuk ketidakadilan [yang] terus melembaga dan tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu.

Pengepungan serupa terjadi pada 16 Agustus tahun lalu. Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor 10, Surabaya, Jawa Timur, dikepung aparat dan ormas karena para penghuninya dituduh merusak bendera merah putih--yang kemudian tak terbukti. Mereka juga diteriaki makian binatang. Asrama yang sama pada awal September dilempari karung berisi ular.

Pengepungan ini lantas memicu aksi protes besar-besaran di Papua dan di tempat lain selama berbulan-bulan.

Baca juga artikel terkait PERINGATAN 1 DESEMBER PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino