Menuju konten utama

Mengurai Benang Kusut Tata Ruang Jabodetabek-Punjur

Pemanfaatan ruang permukiman urban di Jabodetabek-Punjur perlu dilakukan secara efisien dan optimal.

Mengurai Benang Kusut Tata Ruang Jabodetabek-Punjur
Ilustrasi tata ruang kota Jakarta. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Permukiman kawasan perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur—disingkat Jabodetabek-Punjur—relatif padat penduduk. Karenanya, pemanfaatan ruang di permukiman urban ini perlu dilakukan secara efisien dan optimal.

Pekerjaan rumah untuk mengoptimalkan penataan ruang begitu menantang. Ada banyak permasalahan kompleks di Jabodetabek-Punjur yang mesti dicari solusinya. Sebut saja kemacetan, “langganan” banjir dan longsor, kawasan kumuh dan bangunan ilegal yang belum terjamah, pengelolaan sampah, drainase, dan air bersih yang belum ideal, hingga terbatasnya lahan parkir.

Dalam rangka mengurai benang kusut sekaligus menyediakan ruang bagi pengembangan ekonomi dan pusat aktivitas perkotaan serta mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan, Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur pada 13 April 2020 silam.

Melihat Masalah, Mencari Solusi

Sebagai gambaran, wilayah penataan ruang kawasan perkotaan Jabodetabek-Punjur mencakup wilayah daratan dan perairan. Pada wilayah daratan, kawasan perkotaan Jabodetabek-Punjur mencakup 189 kecamatan di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Cianjur. Sementara wilayah perairan meliputi sebagian perairan Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat (sejauh 12 mil dari garis pantai Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur).

Perpres Nomor 60 Tahun 2020 itu segera disusul oleh Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 22 Tahun 2020 tentang Tim Koordinasi Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur untuk melancarkan koordinasi pengembangan dan pengelolaan kawasan.

“Tim Koordinasi terdiri dari Ketua yang dikepalai oleh Menteri ATR/Kepala BPN, lalu Wakil Ketua yang terdiri dari Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri, serta Anggota Tim terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri PUPR, Menteri Perhubungan, Panglima TNI, dan Kapolri. Untuk penanggung jawab pada masing-masing wilayah diserahkan pada Gubernur sebagai Ketua, dan Bupati/Walikota sebagai Wakil Ketua,” ujar Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A. Djalil, dikutip dari laman atrbpn.go.id.

Permen Nomor 22 Tahun 2020 juga mengatur kewajiban Tim Pelaksana dan Project Management Office (PMO) yang bakal membantu Tim Koordinasi dalam melaksanakan tugas yang diemban.

Ada enam poin temuan terkait kawasan permukiman urban yang menjadi perhatian khusus PMO, yaitu keterjangkauan perumahan, minimnya ruang terbuka hijau publik, walkability dan keterjangkauan pejalan kaki, infrastruktur air bersih dan drainase, ruang parkir pada permukiman di pusat kota, dan pemanfaatan ruang yang belum efisien atau optimal.

Sofyan kemudian memperkenalkan konsep HITS—Holistik, Integratif, Tematik, dan Spasial—yang menyentuh seluruh aspek permasalahan ini dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait.

“Permasalahan di kawasan Jabodetabek-Punjur membutuhkan kerja sama yang bersifat inter-regional dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pendekatan HITS akan diterapkan dalam melihat akar permasalahan dan menciptakan solusi,” terang Sofyan lagi.

Ruang Bermukim yang Humanum

Salah satu bentuk kerja sama yang baik dibuktikan lewat penyediaan Rumah Susun (Rusun) Pasar Rumput dengan konsep mixed-use development (pengembangan terintegrasi) di Jakarta Selatan yang dibangun oleh pemerintah pusat dan kini dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta. Menurut PMO, upaya optimalisasi ruang-ruang kota yang dilakukan bersama semacam ini efektif untuk menciptakan ruang bermukim yang humanum. Masyarakat bisa mendapatkan tempat tinggal layak di lokasi yang strategis, salah satunya.

Demi mengoptimalkan pemanfaatan ruang di Jakarta, rusun terbagi atas beberapa fungsi. Lantai 1 dan 2 Rusun Pasar Rumput dimanfaatkan untuk pasar (kegiatan komersial) dengan total ribuan kios dan los, sedangkan fasilitas umum-sosial berada di lantai 3 dan hunian berada di lantai 4 sampai 25.

PMO kemudian memberi gambaran dampak positif dari peremajaan permukiman (urban redevelopment) yang dilakukan pada warga RW 09 dan RW 11 Kelurahan Karet Tengsin. Dari 300 kepala keluarga (total 1450 jiwa) dan 514 persil rumah tapak yang direlokasi untuk pengembangan kawasan, bisa tersedia 2.399 tempat tinggal (untuk 9.596 jiwa). Artinya, bukannya berkurang, relokasi dengan konsep urban redevelopment justru menyediakan hunian baru bagi 8146 jiwa.

Dalam perencanaan, disediakan pula ruang usaha seluas 9.000 m2 bagi 150 pedagang kaki lima (PKL) liar di sekitar tapak sebagai ruang ekonomi bagi masyarakat dan perkantoran sekitar. Dari yang semula berupa permukiman padat tanpa ruang terbuka hijau, area Karet Tengsin memungkinkan untuk “disulap” menjadi ruang terbuka hijau seluas 8.732 m2. Area resapannya pun diperluas untuk mengurangi potensi banjir tahunan.

Keterpaduan Ruang Darat dan Laut

Sementara itu, pesisir Jabodetabek-Punjur yang terdiri dari 16 kecamatan punya bermacam permasalahan, salah satunya, wilayah pesisir Kelurahan Kamal Muara. Pembangunan tanggul di Kali Kamal membantu mengurangi rob di pesisir Kamal Muara, tetapi permasalahan pesisir juga membutuhkan komitmen dan peran serta para pemangku kepentingan melalui kolaborasi pentahelix.

Pemeliharaan prasarana drainase dan pengembangan kawasan hunian Kamal Muara ini lantas menjadi prioritas penanganan dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Penjaringan karena sistem drainase belum optimal, malahan terdapat genangan air hitam pekat berbau tak sedap di samping proyek tanggul National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

Sejumlah strategi dibuat untuk mencegah genangan air, seperti peninggian tanggul di sepanjang garis pantai, tanggul laut di batas terluar area, pemeliharaan saluran makro, penerapan sistem polder, peningkatan pompa air, serta pelebaran dan pendalaman Muara Teluk Jakarta.

Pencemaran dari tumpahan minyak di sekitar kapal nelayan serta timbulan sampah rumah tangga dan limbah cangkang kerang juga berpotensi sebabkan degradasi ekosistem pesisir Kamal Muara. Audiensi dengan pihak terkait perlu terus dilakukan, termasuk mengupayakan diselenggarakannya pemberdayaan dan penyuluhan pengolahan limbah ke masyarakat pesisir.

Belum lagi soal akses air bersih. Intrusi air laut menyebabkan kualitas air tanah dangkal kawasan pesisir tak layak dikonsumsi, padahal PDAM belum mampu menjangkau seluruh wilayah Kamal Muara dan belum bisa melayani karena status kepemilikan lahan warga tak jelas. Akibatnya, sekitar 130 ribu rumah tangga di pesisir utara Jakarta mengalami kesulitan mengakses air bersih.

Sumber air baku terbatas dan biaya pengolahan air payau sebagai sumber air alternatif yang relatif mahal membuat tarif air pun tak dapat menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Inovasi kemudian dilakukan dengan menyediakan air IPA RO (Reverse Osmosis) berbasis kelembagaan dan masyarakat. IPA RO mampu menjangkau masyarakat di wilayah pesisir maupun MBR (kapasitas 13 m3/jam seharga Rp565 juta penuhi kebutuhan air minum 200 hingga 300 kepala keluarga).

Sistem Transportasi Terintegrasi

Satu lagi masalah klasik Jabodetabek-Punjur yang tak kunjung terpecahkan: kemacetan. Kompleksitas isu strategis transportasi tersebut, antara lain, tumpang-tindih trayek transportasi, way finding dan lokasi pemberhentian feeder yang belum memadai, hingga yang spesifik permasalahan kewenangan dengan Pemda Kota Tangerang Selatan terkait perpanjangan jalur MRT Lebak Bulus.

Terpusatnya kegiatan di DKI Jakarta juga memicu terjadinya urbanisasi yang tak terkendali hingga menyebabkan urban sprawl.

Menurut Kepala Humas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Budi Rahardjo, Jakarta telah menjelma jadi wilayah yang teraglomerasi dengan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (termasuk Puncak dan Cianjur) sebagai daerah penyangganya, artinya memiliki ketergantungan satu sama lain. Jakarta tidak mungkin menyelesaikan permasalahan kemacetannya sendiri, begitu juga dengan kota lainnya.

Untuk itu, diperlukan segera penerapan disinsentif yang terintegrasi dengan kebijakan daerah penyangga Jakarta untuk menekan penggunaan angkutan pribadi, serta integrasi kelembagaan guna memudahkan proses kebijakan.

Urban redevelopment, menurut PMO, juga bisa menjadi solusi kemacetan, yaitu dengan menyediakan affordable housing di pusat kota bagi masyarakat terutama kaum muda sehingga memperpendek jarak rumah-kantor yang otomatis juga mengurangi intensitas penggunaan kendaraan pribadi.

Pada intinya, ada banyak hal yang perlu dikoordinasikan untuk pembenahan kawasan Jabodetabek-Punjur.

“Masalah kemacetan misalnya, itu bukan hanya terjadi di Jakarta tapi juga di wilayah lain seperti Puncak yang kemacetannya sudah sangat parah. Perlu upaya yang lebih terkoordinasi dan intensif sehingga penyelesaian masalah bukan hanya kemacetannya tapi juga tata guna tanahnya, makanya koordinasi ini sangat penting,” kata Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis