Menuju konten utama

Mengungkap Kuasa IDI & PDGI di Balik Seretnya Regenerasi Dokter

IDI dan PDGI memiliki kuasa yang begitu besar hingga melampaui kewenangan menteri.

Header Indept IDI dan PDGI. tirto.id/Ecun

tirto.id - "Kalau bicara tentang itu enggak deh. Saya gak berani. Ampun!" kata seorang dokter saat dimintai komentar mengenai kuatnya posisi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di tengah paceklik dokter spesialis di Tanah Air.

Semula, sikapnya biasa saja, cenderung terbuka ketika bicara soal Coronavirus Disease 19 (Covid-19) dan cidera ginjal akut (Acute Kidney Injury/AKI), dua situasi yang menguak minimnya jumlah dokter spesialis di Indonesia.

Di satu sisi, pandemi Covid-19 membuat jumlah dokter spesialis berkurang secara nasional karena banyak yang meninggal. Jumlahnya mencapai 755 orang, di mana banyak di antaranya adalah dokter senior spesialis paru.

Di sisi lain, fakta meninggalnya 202 anak karena cemaran etilen dan dietilen glikol di kasus AKI baru-baru ini membongkar minimnya jumlah dokter spesialis ginjal untuk anak (nefrologi).

Lalu mengapa dokter di atas begitu takut bicara tentang IDI?

Perlu diketahui bahwa hanya di Indonesia ada organisasi profesi—yakni IDI dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI)—yang memiliki kewenangan begitu besar dalam sektor kesehatan negara.

"Di dunia tidak ada yang seperti itu," kata Laksono Trisnantoro, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, kepada Tirto, pada Sabtu (26/11/2022).

Dominasi peran IDI dan PDGI dalam dunia kedokteran di Indonesia begitu merata, mulai dari sisi hulu (pendidikan kedokteran) hingga hilir (praktik kedokteran). Begitu kuatnya kuasa yang dimiliki, mereka disinyalir mampu mereduksi kebijakan pemerintah.

Semua tak mustahil karena satu aturan, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Meski nama organisasinya tak muncul eksplisit di UU tersebut, IDI dan PDGI sebagai organisasi profesi dokter diberi kewenangan luas.

Simak saja Bab II Pasal 5 Ayat (2), di mana semua perguruan tinggi mesti bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran, serta berkoordinasi dengan organisasi profesi.

Begitu pun pada Pasal 11 Ayat (1) yang memerintahkan setiap fakultas kedokteran dan fakultas kedokteran gigi bekerja sama dengan sejumlah pihak, termasuk berkoordinasi dengan organisasi profesi.

Peran organisasi profesi kembali ditulis di Pasal 24 Ayat (1) dan Pasal 36 Ayat (3), di mana organisasi profesi terlibat dalam koordinasi penyusunan bersama Standar Nasional Pendidikan Kedokteran serta Uji Kompetensi Dokter atau Dokter Gigi.

IDI pernah digugat oleh sejumlah dokter karena dianggap melakukan praktik monopoli sertifikasi profesi dokter. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) memenangkan IDI dan menyebutnya sebagai satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang sah di NKRI.

Lebih Berkuasa Ketimbang Menteri?

Tak hanya mengendalikan sisi hulu pendidikan kedokteran, IDI juga merajalela di sisi hilir, melalui UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Di sini, nama IDI bahkan ditulis secara spesifik dalam perundang-undangan.

Pada Bab I Ketentuan Umum UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dituliskan bahwa organisasi profesi adalah IDI untuk dokter, dan PDGI untuk dokter gigi. Khusus hanya mereka saja. Tidak ada yang lain.

Lalu di Pasal 1 ayat 13 UU yang sama, disebutkan “Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas untuk mengampu cabang disiplin ilmu tersebut”.

IDI membentuk Kolegium Kedokteran Indonesia, sementara PDGI membentuk Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia. Bersama kolegium yang menjadi subordinatnya, mereka bergabung di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Kolegium bertindak menyusun standar pendidikan profesi dokter spesialis atau dokter gigi spesialis. Dalam proses penyusunannya, ia berkoordinasi dengan organisasi profesi masing-masing seperti ditulis di Pasal 26 Ayat 2b.

Melalui kolegium, IDI secara langsung bisa mempengaruhi pembentukan program studi dokter spesialis di sebuah universitas. Bahkan, menurut Laksono, menteri juga harus tunduk pada kolegium ketika bicara izin pembukaan program studi spesialis--yang selama ini dikenal lamban dan menjadi bottleneck proses regenerasi dokter spesialis.

"Misalnya dekan ngomong ke rektor, lalu rektor tanya ke menteri. Nah menteri akan tanya ke kolegium, mereka bisa menolak. Jadi pemerintah seperti tidak bisa 'memerintahkan'," ujar Laksono.

Konpers pemecatan sanksi dokter Terawan

Ketua Dewan Pakar PB IDI Prof. Razak Tahar memberikan keterangan pers terkait pemberian sanksi terhadap Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), Mayor Jenderal Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Jakarta, Senin (9/4/2018). tirto.id/Andrey Gromico

Dengan dominasi dari hulu ke hilir, kata Laksono, IDI berpotensi memonopoli sektor kesehatan di Indonesia. Padahal, baik IDI maupun PDGI merupakan organisasi profesi yang berorientasi pada kepentingan anggota, dan tak sekadar berorientasi pengabdian keilmuan dan kemasyarakatan. Ada potensi terjadi konflik kepentingan.

Hal tersebut tertera dalam visi dan misi mereka di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) IDI di pasal 6: "Melaksanakan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anggota."

Sementara itu, di laman Pengurus Besar (PB) PDGI, misi penguatan kesejahteraan anggotanya terlihat di poin keempat, yang berbunyi: "Membina profesionalisme, memberikan perlindungan hukum, dan meningkatkan kesejahteraan anggota."

"Kalau di luar negeri, kolegium itu dipisahkan dari organisasi profesi. Dipisahkan," kata Laksono. Negara maju umumnya memang memisahkan organisasi profesi dari kolegium, seperti yang berlaku di Amerika Serikat (AS) dan Australia.

Sumber lain yang membangun kekuasaan IDI dan PDGI adalah Pasal 38 Ayat (1) huruf c UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Di situ disebutkan bahwa tiap dokter yang ingin buka praktik wajib mengantongi Surat Izin Praktik (SIP).

Surat ini memang diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat. Namun, ada tiga syarat untuk mendapatkannya. Satu di antara syarat tersebut adalah memiliki rekomendasi dari organisasi profesi, yakni IDI untuk dokter dan PDGI untuk dokter gigi.

Dengan kata lain, IDI dan PDGI memegang kunci penting bagi karir dokter. Anda bisa saja lulus dari Fakultas Kedokteran dan program koas (ko-asisten). Namun tanpa rekomendasi IDI dan PDGI, jangan harap bisa buka praktik di seluruh pelosok Tanah Air.

Keanggotaan IDI di KKI bermasalah

Dominasi IDI dan PDGI tidak berhenti sampai di sana. Cengkeraman mereka lebih kuat dengan Pasal 15 Ayat (1) Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Keduanya turut bergabung dalam Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Perlu dipahami, peran KKI dalam sektor kesehatan terbilang sentral. Ia merupakan badan otonom, mandiri, non-struktural, dan bersifat independen, yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.

Sesuai Pasal 4 Ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, KKI bertanggung jawab kepada presiden dengan menjalankan fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang membuka praktik.

KKI juga mengesahkan standar pendidikan profesi kedokteran yang disusun kolegium. "Bagaimana bisa mereka ada di dalam suatu badan yang tugasnya mengawasi mereka juga?" ujar Laksono.

Secara rinci, KKI terdiri atas dua orang perwakilan dari organisasi profesi kedokteran, dua orang dari organisasi profesi kedokteran gigi, satu orang dari asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan satu orang dari asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi.

Lalu, satu orang dari Kolegium Kedokteran, satu orang dari Kolegium Kedokteran gigi, dua orang dari Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan, tiga tokoh masyarakat, dua orang dari Departemen Kesehatan dan dua orang dari Departemen Pendidikan.

Ada tiga tugas yang diemban KKI: melakukan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi serta melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran bersama lembaga terkait.

Dengan tugas tersebut, suara IDI dan PDGI pun menentukan. Mereka berhak menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi, menerbitkan dan mencabut surat registrasi dokter dan dokter gigi, dan mengesahkan standar kompetensi para dokter.

Keduanya juga berhak melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, membina dokter dan dokter gigi terkait etika profesi sekaligus mencatat sanksinya.

Infografik Indept IDI dan PDGI

Infografik Indept IDI dan PDGI. tirto.id/Ecun

Bicara soal registrasi, satu di antara kewenangan KKI, ia merupakan tahap yang harus dilalui semua sarjana kedokteran demi mengantongi Surat Tanda Register (STR). Dalam praktiknya, KKI berkapasitas menerbitkan STR Internship maupun STR Definitif.

STR Internship diperoleh dokter usai melalui masa magang setahun di bawah supervisi dokter yang sudah tercatat di register. Setelah itu, pemegang STR Internship mengajukan permohonan STR Definitif ke KKI.

STR Definitif inilah yang wajib dimiliki dokter agar dapat bekerja maupun buka praktik. Masa berlakunya selama 5 tahun. Jika IDI melalui KKI tak menyetujui penerbitan STR dokter tertentu, selesai sudah karir dokter tersebut. Dia tak bakal bisa praktik.

"Dengan besarnya kewenangan, maka IDI memonopoli dunia kedokteran, mulai dari pendidikan hingga pelayanan. Ini kan tidak benar," ujar Sekretaris Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan Judilherry Justam kepada Tirto.

RUU Kesehatan Jadi Penentu

Jika dua UU melimpahkan kewenangan sedemikian besar ke dua organisasi profesi tersebut, maka berpeluang timbul persoalan yang melibatkan bias kepentingan. Khususnya, tatkala terjadi perbedaan pandangan secara akademis maupun profesional.

Hal ini telah terjadi dalam polemik program studi Dokter Layanan Primer (DLP). Pada 2016 lalu, IDI menyatakan penolakan amanah program studi yang notabene diakomodir dalam UU Pendidikan Kedokteran.

Kisruh DLP—kini bernama Spesialis Kedokteran Keluarga dan Layanan Primer—sempat merenggut korban. Seorang ketua cabang IDI dicopot karena disinyalir mendukung pembentukan program studi DLP di sebuah universitas.

Tak hanya itu, penolakan IDI juga sempat menghambat pelaksanaan DLP meski sudah disetujui menteri yang notabene adalah representasi pemerintah.

"Karena kolegiumnya tidak disetujui oleh IDI, jadi tidak jalan dan beberapa tahun terhambat. Akhirnya setelah sembilan tahun baru berjalan dengan upaya alot," kata Judilherry.

Idealnya, menurut Judilherry, kolegium mesti diisi oleh unsur akademisi serta ahli yang terbebas dari unsur kepentingan organisasi swasta manapun. Begitu pula dengan komposisi KKI.

Menanggapi sorotan mengenai andil organisasinya dalam kelangkaan dokter spesialis, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI Adib Khumaidi menjawab singkat. "Sudah pernah ada judicial review terkait kolegium dan sudah ada putusan MK," kata Adib kepada Tirto.

Sementara itu, Ketua KKI Putu Moda Arsana menjawab normatif mengenai desakan agar unsur organisasi profesi dikeluarkan dari badan tersebut. Menurut dia, KKI adalah produk undang-undang sehingga ia tidak berkapasitas mengotak-atik aturan yang melandasinya.

"Kami pelaksana undang-undang. Intinya praktik kedokteran ini harus bermutu dan memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat," ujar Putu.

Menurut Putu, KKI idealnya harus diisi oleh profesional. Artinya setiap perangkatnya mesti berintegritas dan terbebas dari intervensi serta kepentingan tunggal organisasi profesi yang diwakili.

"Apapun unsurnya, dari mana pun datangnya, pada saat jadi KKI dia harus membawa kebijakan dan visi misi pemerintah. Tidak bisa kalau saya misalnya dari unsur A kemudian saya membawa kepentingan A, karena itu lembaga negara," kata Putu.

PERNYATAAN SIKAP ORGANISASI PROFESI TERHADAP RUU KESEHATAN

Ketua IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Kudus, Ahmad Syaifudin (tengah) memberikan keterangan saat konferensi pers di Kantor IDI setempat, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (3/11/2022). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/hp.

Untuk mengatasi silang-sengkarut yang memicu lambannya pembukaan prodi kedokteran dan penerbitan izin praktik dokter di Tanah Air, Laksono mengusulkan reformasi UU Nomor 29 Tahun 2004 dan UU Nomor 20 Tahun 2013.

Dua undang-undang inilah yang menjadi sumber masalah dengan memberikan kuasa terlalu besar bagi IDI dan PDGI dan membuka peluang keputusan yang bias dan kontraproduktif dalam pengembangan pendidikan dan praktik kedokteran di Tanah Air.

Reformasi tersebut kini sedang dijalankan oleh pemerintah dan DPR melalui penerbitan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan, guna membenahi sistem perundang-undangan yang memperlambat proses pendidikan dan praktik kedokteran.

Ketika dikonfirmasi soal RUU Kesehatan, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan masih mempelajari pro dan kontra terkait RUU Kesehatan yang kabarnya bakal memicu aksi demo para dokter.

Pendapat kaum profesi dan akademisi kedokteran sejauh ini terbelah soal RUU Kesehatan. Meski sebagian akademisi mendukung, pengurus IDI menolak RUU tersebut. Penolakan diduga karena dominasi mereka di dunia kesehatan akan dikikis.

Hingga tulisan ini diunggah, Ketua Umum PB PDGI Usman Sumantri tidak membalas pertanyaan melalui pesan digital. Begitu pula dengan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Nizam.

Baca juga artikel terkait IDI atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Indepth
Reporter: Nanda Fahriza Batubara
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono