Menuju konten utama

Mengulik Langkah Jokowi Mania Laporkan Ubedilah soal Gibran-Kaesang

Fachrizal menilai Jokowi Mania mesti paham bahwa yang akan mengusut pelaporan Ubedilah terkait Gibran dan Kaesang adalah KPK.

Mengulik Langkah Jokowi Mania Laporkan Ubedilah soal Gibran-Kaesang
Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun saat menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta. ANTARA/Dyah Dwi A./am.

tirto.id - Ketua Umum Relawan Jokowi Mania (JoMan) Immanuel Ebenezer mengadukan Ubedilah Badrun, dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ke Polda Metro Jaya dengan Pasal 317 KUHP. Semua itu dilakukan lantaran Ubedilah melaporkan dua anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).

Imanuel atau Noel mengaku melapor ke polisi tanpa berkoordinasi dengan Gibran dan Kaesang. “Tidak ada (koordinasi) karena ini sifatnya delik,” ucap dia, Jumat (14/1/2022). Noel berinisiatif mengambil tindakan tersebut karena sebagai dosen, Ubedilah, dia anggap membuat laporan tidak berbasis data dan itu sangat ia sayangkan.

Noel meminta si dosen meminta maaf meski awalnya hendak mengadukan terlapor dengan pasal yang lebih berat. “Tapi pertimbangannya, hari ini kami memberikan kesempatan kepada Ubedilah Badrun untuk meminta maaf kepada publik karena ini berkaitan dengan kehormatan seseorang, karena basis laporannya berbasis kepalsuan atau hoaks. Jadi ini tidak mendidik,” sambung dia.

Pengaduan tersebut terdaftar dengan nomor LP/B/239/I/2022/SPKT/Polda Metro Jaya tertanggal 14 Januari 2022.

Pelaporan ke polisi ini merupakan pelaporan balik terhadap Ubedilah usai mengadukan kedua putra Jokowi ke KPK pada 10 Januari 2022. “Laporan ini terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dan/atau tindak pidana pencucian uang, berkaitan dengan dugaan KKN relasi bisnis anak presiden dengan grup bisnis, yang diduga terlibat pembakaran hutan,” kata Ubedilah.

Ubedilah menduga Gibran dan Kaesang berkelindan dalam proses hukum pembakaran hutan dan lahan yang melibatkan PT Bumi Mekar Hijau, anak perusahaan dari PT Sinar Mas. Ada yang janggal pada prosesnya. Tujuh tahun silam, PT BMH semula menjadi tersangka pembakaran hutan, maka Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meminta korporasi membayar denda Rp7,9 triliun.

Pada 2016, Pengadilan Tinggi Palembang hanya memvonis PT BMH dengan biaya ganti rugi Rp78 miliar. Ubedilah menghubungkan lemahnya vonis PT BMH dengan bisnis yang dilakoni Gibran-Kaesang dengan salah seorang anak petinggi PT SM. Perusahaan Gibran dan Kaesang diduga mendapat suntikan modal dari sana.

“Dua kali dikucurkan dana. Kurang lebih Rp99,3 miliar dalam waktu dekat. Setelah itu, anak presiden membeli saham di sebuah perusahaan yang angkanya fantastis, Rp92 miliar," terang Ubedilah.

Hal tersebut menjadi tanda tanya besar bagi si pelapor. Ia telah menyertakan bukti dan data penyertaan modal ke lembaga antirasuah, serta berharap pengaduannya segera ditindaklanjuti.

Perihal dirinya diadukan ke polisi, Ubedilah mengatakan pihak yang semestinya melaporkan dia adalah Gibran atau Kaesang bila kedua orang itu merasa dirugikan. “Hal yang dilaporkan Noel itu delik aduan, mestinya yang melaporkan itu korban. Entah Noel ini korban apa atau korban siapa? Saya tidak pernah berinteraksi dengan Noel sama sekali, kok bisa jadi korban?" kata Ubedilah kepada Tirto, Sabtu (15/1/2022).

Tujuannya melaporkan yakni untuk kepentingan nasional sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Peran Rakyat Berantas Rasuah

Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Bentuk turut sertanya disebutkan dalam ayat (2) pasal itu yakni:

  1. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
  2. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
  3. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
  4. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
  5. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: 1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; 2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi beranggapan yang dilakukan Jokowi Mania berlebihan. “Bentuk pencegahan dan pemberantasan (korupsi yakni) menjadi pelapor, itu tindakan yang dilindungi oleh undang-undang,” ujar dia kepada reporter Tirto, Senin (17/1/2022).

Perihal pengadu diperkuat dalam Pasal 15 huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 15 menegaskan “Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Dua regulasi tersebut, menurut Fachrizal, cukup jadi pijakan publik.

Seharusnya, kata dia, Jokowi Mania paham konteks hukum. Misalnya, pasal yang mereka ajukan ke polisi, Pasal 317 KUHP, ayat (1)-nya menyatakan “Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”

“Kalau semua yang melaporkan pejabat (tapi) dilaporkan balik, bagaimana? Pasal 317 itu harus sesuai konteks, harus diuji. (Pasal) itu dibentuk zaman kolonial, tahun 1900 awal, pengaduan palsu dengan maksud menghina nama baik. Ini yang dilaporkan pejabat publik dan ada undang-undang lebih baru yang memberikan pengecualian terhadap tindak pidana korupsi, itu (pelapor) bisa dilindungi,” kata Fachrizal.

Menurut dia, Jokowi Mania mesti paham bahwa yang akan mengusut pelaporan Ubedillah adalah jajaran KPK. Apakah pengaduan si dosen merupakan kepalsuan atau memang benar? Sebab aduan itu adalah informasi awal saja. Maka lembaga antirasuah yang bakal memprosesnya. Fachrizal menyatakan semua itu dinilai oleh KPK, bukan presiden, apalagi Korps Bhayangkara.

“Pelaporan balik (terhadap Ubedilah, polisi) tak perlu mengindahkan. Artinya, belum terbukti palsu atau tidak, dan pelaporan Ubedilah dilindungi undang-undang selama beriktikad baik.” Bila polisi menindaklanjuti laporan tersebut, maka Polri bermasalah. “Polisi tahu UU KPK dan UU Tipikor, Pelapor harus dilindungi, apalagi pembuktian korupsi tidak mudah,” kata Fachrizal.

Sementara itu, Wasisto Raharjo Jati, peneliti dari Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menuturkan yang dilakukan Noel sangat tidak normal karena pihak Jokowi Mania tidak mengetahui aturan yang berlaku di negara ini, umpama ihwal UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal 10 ayat (1) peraturan itu menyebutkan “Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.”

“Pelaporan balik ini seolah si pelapor (Noel) tidak tahu aturan yang ada, artinya cenderung menerabas hukum sendiri. Ini contoh tidak bagus bagi demokrasi,” ucap Wasisto kepada reporter Tirto, Senin (17/1/2022).

Apakah manuver Jokowi Mania ini karena menjelang tahun politik pada dua tahun mendatang? Wasisto berpendapat saat ini ada kecenderungan ‘mobilisasi isu’, tidak hanya isu yang sekarang menerpa Gibran dan Kaesang. Kecenderungan tersebut, secara umum, acap membunuh karakter figur elite yang berkuasa.

Ada dua motif pembunuhan karakter yaitu kampanye hitam dan mengatrol nama atau berlagak sebagai korban yang bisa memunculkan simpati publik. Wasisto mengingatkan agar para relawan memahami inti perkara, harus belajar dahulu. Bahkan sebelum ke polisi pun mereka bisa membuat kontra narasi.

“Kalau dengan demikian (mengadu ke polisi) akan menciptakan debat publik, dengan melaporkan balik malah menguatkan posisi Ubedilah,” sambung dia.

Dalam konteks ini, publik malah merasa yang dilakukan Ubedilah ialah sebuah kebenaran. “Justru menguatkan stigma negatif publik terhadap pemerintahan sekarang yang sedikit-sedikit reaksioner,” kata Wasisto.

Sementara itu, anggota Blok Politik Pelajar Delpedro Marhaen berpendapat Ubedilah menunjukkan kesukarelaan atau partisipasi publik mengungkap dugaan perkara; sebaliknya, yang dilancarkan Jokowi Mania hanya membela figur politik, bukan membela rakyat.

“Hal ini bentuk menghambat inisiatif publik, merusak kepercayaan dari masyarakat, dan merusak upaya pemerintah mendorong partisipasi warga memerangi korupsi. Buruknya perlindungan hukum bagi para pelapor dapat menjadi catatan buruk bagi kesungguhan pemerintah memenuhi komitmennya sebagai negara dalam United Nations Convention against Corruption (UNCAC),” ujar Delpedro, Sabtu (15/1/2022).

Langkah Jokowi Mania mengadukan Ubedilah ke polisi, kata dia, memperlihatkan bahwa mereka tidak peduli pemberantasan rasuah, serta tidak peduli terhadap tata kelola pemerintahan yang baik, jujur dan bersih. Perbuatan Jokowi Mania gambaran dari pemerintahan yang tidak pro pemberangusan korupsi. Blok Politik Pelajar tak ingin penegakan hukum lebih berfokus pada pemidanaan Ubedilah, sementara kasus Gibran dan Kaesang senyap.

Baca juga artikel terkait KAESANG DAN GIBRAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz