Menuju konten utama

Mengulas Gerakan NII Sumbar yang Ingin Lengserkan Pemerintah Jokowi

NII Sumbar akan lengserkan pemerintah sebelum Pemilu 2024. Al Chaidar nilai faksi NII yang ada selama ini tidak punya strategi melengserkan pemerintah.

Mengulas Gerakan NII Sumbar yang Ingin Lengserkan Pemerintah Jokowi
Ilustrasi teroris. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kabag Banops Densus 88 Antiteror Polri, Kombes Pol Aswin Siregar berkata, tersangka jaringan Negara Islam Indonesia (NII) Sumatra Barat berupaya melengserkan pemerintah yang berdaulat sebelum Pemilu 2024. Rencana tersebut diperoleh dari keterangan tersangka kepada penyidik dan barang bukti yang ditemukan di lokasi penangkapan.

“Dari sejumlah barang bukti yang ditemukan dalam bentuk dokumen tertulis menunjukkan bahwa jaringan NII di Sumatra Barat memiliki visi-misi yang sama persis dengan NII Kartosoewirjo,” kata Aswin. Visi dan misi sama persis artinya mereka berencana mengganti ideologi Pancasila dan sistem pemerintahan Indonesia saat ini dengan syariat Islam, sistem khilafah dan hukum Islam.

Potensi ancaman lain berupa serangan teror yang tertuang dalam wujud perintah mempersiapkan senjata tajam seperti golok dan juga mencari para pandai besi. “Temuan alat bukti arahan persiapan golok tersebut sinkron dengan temuan barang bukti sebilah golok panjang milik salah satu tersangka,” sambung dia.

Selama Maret 2022, 16 anggota jaringan NII di Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Tanah Datar dibekuk Densus 88. Mereka memiliki anggota mencapai 1.125 orang, di mana sekitar 400 orang di antaranya merupakan personel aktif dan selebihnya nonaktif (sudah berbaiat namun belum aktif dilibatkan dalam kegiatan NII) yang sewaktu-waktu bisa diaktifkan apabila perlu.

NII Cabang IV/Padang terbagi dalam 5 ranting/UD yang masing-masing beranggota sekitar 200 orang. Dari jumlah total di Sumatera Barat, 833 orang tersebar di Kabupaten Dharmasraya dan 292 orang di Kabupaten Tanah Datar.

Aswin menyatakan proses perekrutan anggota NII juga digelar secara terstruktur dan sistematis. Untuk bergabung menjadi “warga” NII, seseorang harus melalui 4 tahap perekrutan yang disebut “pencorakan” yaitu P1 (Pencorakan 1), P2, PL/P3 dan P4. NII Sumatra Barat pun diduga memiliki hubungan dengan kelompok teror di wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Bali.

Kelompok Gadungan?

Dosen Universitas Malikussaleh, Aceh sekaligus analis terorisme, Al Chaidar berpendapat, NII Sumatra Barat tidak ingin mengudeta atau melengserkan pemerintah yang sah. “Karena orang NII bukan orang internal dari Republik Indonesia. Dia (anggota NII) juga tidak menyusup ke TNI, Polri, kejaksaan, atau lembaga legislatif, juga tidak (menyusup) ke partai politik. Sulit untuk melakukan kudeta,” tutur dia kepada Tirto, Rabu, 20 April 2022.

Aksi dari 18 faksi NII pun ia nilai tidak memiliki strategi melengserkan pemerintah. Bahkan ada faksi NII palsu.

“Saya khawatir, yang ditangkap di Dharmasraya dan Tanah Datar itu adalah NII palsu. Saya kira (NII Sumatra Barat yang ditangkap) ialah NII palsu. Kalau NII asli, mereka merebut kekuasaan dengan jalan revolusi, seperti Taliban,” imbuh Al Chaidar.

Al Chaidar menilai, jumlah NII yang kini sekira dua jutaan orang pun dianggap tak mumpuni untuk memakzulkan pemerintah.

Ciri lain yang membedakan NII abal-abal dan asli ialah bendera. Misalnya, dalam konferensi pers tiga jenderal NII Garut yang dipajang oleh pihak Polres Garut. Polisi pun menyertakan barang bukti berupa bendera Indonesia dengan logo bulan sabit dan bintang di tengahnya. Garis sabit atas berwarna putih, ia meniban warna merah di dasar bendera; sementara garis sabit bawah berkelir merah, menimpa warna putih sang saka; pun warna bintang yang serupa.

Padahal bendera NII asli, merujuk ‘Pedoman Darma Bakti Negara Islam Indonesia’ yakni bulan sabit dan bintang kelir putih hanya ada di bagian merah bendera, ukurannya benda langit itu pun lebih kecil ketimbang yang dimiliki oleh si tiga jenderal tersebut.

Ciri lainnya, kata dia, NII asli hanya memiliki tiga tahap perekrutan, sedangkan NII Sumatra Barat punya empat tahap. “Saya menduga itu (NII Sumatra Barat) adalah faksi Komandemen Wilayah (KW) 9 dan Zenzen Komara. Dua faksi itu, dianggap orang-orang NII asli, sebagai NII palsu,” jelas Al Chaidar.

Kemudian Densus 88 menyebut mereka bervisi dan misi yang sama dengan NII bentukan Kartosoewirjo. Apakah poin ini masih selaras bagi NII palsu? Al Chaidar berkata, secara umum sama.

Seperti NII KW-9 di Indramayu yang berkaitan dengan Pondok Pesantren Al Zaytun, KW-9 menekankan infak dan ada tujuh struktur pemerintahan. Tujuh struktur pemerintahan ini sama dengan NII asli. Kemudian, NII asli tidak memaksa orang untuk berinfak. Ciri lainnya, pemimpin NII palsu cenderung dekat dengan penguasa; sementara pemimpin NII asli sulit dideteksi. Adapun NII asli menyebut seorang pemimpin dengan ‘Imam’, bukan ‘Ketua’ atau ‘Koordinator’.

Bila NII asli sulit dideteksi, maka penangkapan pun tak mudah. “Iya, sulit sekali menangkap orang NII. Karena ciri-ciri fisik tidak ada, orangnya seperti biasa. Orang NII ini (biasanya) tak percaya diri,” kata Al Chaidar.

Ia mencontohkan ketidakpercayaan diri, yakni ketika ada gerakan A masuk, mereka ikut bergabung; bila Salafi atau Wahabi ada, mereka juga ikut serta. Bahkan ketika Noordin M Top dan Doktor Azahari datang ke Banten dan Solo, orang NII ikut. “Tidak punya keyakinan yang teguh untuk bangga dengan identitas atau jati dirinya.”

Kepalsuan Pengawas untuk Pemilu?

Bila NII palsu yang ditangkap Densus 88, maka diperlukan kecermatan pengawasan, kata Al Chaidar. Ada kemungkinan memang Polri kurang jeli atau sengaja membekuk.

“Ada kemungkinan begitu (menangkap NII palsu). Jadi, NII palsu itu sebenarnya dibuat oleh intelijen. Densus perlu koordinasi dengan intelijen terkait dengan ini. Karena ini sudah dikelola oleh intelijen sejak masa Orde Baru,” kata Al Chaidar.

NII palsu di masa Orde Baru sering dipakai untuk memenangkan Partai Golkar periode 1971 dan 1974, mungkin sampai sekarang. Termasuk KW-9 yang digunakan pemerintah untuk memenangkan partai bentukan orang Orde Baru yang masih bertahan di masa reformasi.

“Kalau pemerintahan Jokowi mau berhasil memerangi hal-hal seperti ini, ya, harus memutuskan mata rantai agar tidak ada lagi rekayasa. (Harus ada) pengelolaan terhadap gerakan-gerakan teroris palsu seperti ini,” sambung dia.

Ada beberapa faksi NII buatan pemerintah, namun tak lagi di bawah tangan rezim, seperti faksi Tarbiyah atau yang kadang disebut Ikhwanul Muslimin. Tarbiyah itu masih ada sampai kini, tapi sebagian dari faksi itu memisahkan diri menjadi Partai Keadilan Sosial, kata Al Chaidar.

Al Chaidar menilai penangkapan NII Sumatra Barat, isu pelengseran, dan pesta demokrasi lima tahunan itu adalah “permohonan Jokowi yang mencari alasan untuk memundurkan pemilu. Mungkin NII inilah yang bisa dijadikan alasan bahwa mereka akan berperang, akan makar, akan mengganggu keamanan, sehingga pemilu perlu ditunda.”

Negara Idaman

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia, Stanislaus Riyanta mengatakan, bentuk organisasi NII adalah bentuk negara, bahkan namanya juga ‘Negara Islam Indonesia’.

“Jadi mereka ingin mendirikan sendiri dan melawan NKRI,” ujar dia kepada reporter Tirto, Rabu (20/4/2022). Tapi NII pun tak berafiliasi dengan ISIS, misalnya, beda dengan kelompok teroris lainnya yang menginduk ke organisasi teroris paling radikal itu.

“Kalau terkait ISIS memang tidak, tetapi kesamaan ideologi mungkin mirip. Sehingga bisa saja satu frekuensi ingin menguasai dengan prinsip ideologi mereka,” imbuh Riyanta.

NII punya sejarah panjang di Indonesia. Meski dinamika negara ini tak bisa membuat mereka eksis, tapi ideologi mereka tidak pernah mati; mereka tetap melakukan gerakan meskipun bawah tanah, sekarang makin masif.

Motif NII Sumatra Barat yang ingin melengserkan pemerintah sebelum masa-masa panas pencoblosan calon kepala negara, Riyanta anggap bukan hal baru. Selain itu, setiap organisasi ada ciri khas masing-masing, pun NII.

“Misal yang berafiliasi dengan ISIS, menggunakan kekerasan. Kalau NII memang konsep negara, propaganda mereka mengarah pada pembentukan negara melawan NKRI,” kata dia.

Baca juga artikel terkait NII SUMBAR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz