Menuju konten utama

Mengukur Plus Minus Akuisisi 51 persen Saham Freeport

Total sumbangan PTFI terhadap penerimaan negara secara langsung sejak 1992 hingga 2017 mencapai US$17,3 miliar.

Mengukur Plus Minus Akuisisi 51 persen Saham Freeport
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan, CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium Budi Gunadi Sadikin, Jaksa Agung M Prasetyo dan Mensesneg Pratikno memberikan keterangan terkait pelunasan divestasi PT Freeport Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (21/12/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Richard Adkerson—CEO Freeport McMoRan Inc—terlihat menunduk sambil membubuhkan tandatangan di dokumen Sales and Purchase Agreement (SPA). Di sampingnya, berdiri Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin.

Penandatangan SPA ini merupakan lanjutan dari penandatangan Head of Agreement (HoA) antara PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Rio Tinto, dan Freeport-McMoRan Inc yang dilakukan pada 12 Agustus 2018 lalu. Ini sekaligus menandai pengambilalihan atau divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI).

Jalan divestasi ini panjang dan berliku. Dalam mencaplok saham PTFI, pemerintah melalui Inalum tidak melakukan akuisisi langsung, melainkan dengan membeli participating interest (PI) milik Rio Tinto—perusahaan pertambangan asal Britania—sebesar 40 persen di PTFI senilai 3,85 miliar dolar atau setara Rp55 triliun.

Inalum yang mendapat mandat dari Jokowi, mengucurkan dana hingga Rp56 triliun untuk membeli PI milik Rio Tinto. Setelah pembelian itu, kepemilikan saham Indonesia di PTFI naik dari 9,36 persen menjadi 51,23 persen. Presiden Jokowi juga sempat bercerita bahwa proses akuisisi kepemilikan saham PTFI hingga 51 persen itu butuh waktu hingga 3,5 tahun.

“Sudah 40 tahun Indonesia hanya menikmati bagi hasil pengolahan 9,3 persen dari tambang ini. Alhamdulillah, upaya panjang itu sudah membuahkan hasil. Kepemilikan saham kita di PTFI kini 51 persen,” ujar Jokowi dikutip dari Setkab.

Meski dulu hanya memiliki saham 9,36 persen, sumbangan PTFI terhadap pendapatan negara terbilang besar, baik langsung maupun tidak langsung. PTFI juga menjadi salah satu penyumbang terbesar penerimaan pajak negara dari korporasi.

Berdasarkan data PTFI, sumbangan mereka terhadap penerimaan langsung ke negara terdiri dari pajak, royalti, fee, dan bentuk pembayaran lainnya. Total dana yang disetorkan PTFI sejak 1992 hingga 2017 mencapai 17,3 miliar dolar.

Sementara untuk kontribusi tidak langsung PTFI yang meliputi lapangan pekerjaan, pengembangan wilayah sekitar tambang, investasi dalam negeri, dan sebagainya, mencapai angka 38,8 miliar dolar sepanjang 1992-2017. Khusus untuk 2017, sumbangan langsung PTFI ke negara mencapai 756 juta dolar yang terdiri dari dividen sebesar 135 juta dolar, royalti sebesar 151 juta dolar, dan pajak (termasuk bentuk pembayaran lainnya) sebesar 470 juta dolar.

Setelah divestasi, berapakah jumlah sumbangan PTFI terhadap pendapatan negara kelak? Dari ketiga bentuk sumbangan PTFI ke negara, dividen menjadi yang paling terpengaruh dari perubahan kepemilikan saham. Sedangkan penerimaan dari royalti dan pajak relatif tidak begitu terpengaruh.

Pada 2017, pemerintah yang masih punya 9,36 persen mendapat dividen sebesar 135 juta dolar. Dengan menggunakan angka itu [bisa terjadi perubahan di kemudian hari jika ada perubahan perolehan laba], asumsinya adalah 1 persen saham menghasilkan dividen 14,42 juta dolar. Maka usai pemerintah punya 51,23 persen saham, dividen yang didapat akan meningkat drastis jadi 739 juta dolar.

Jika ditambah dengan penerimaan dari royalti dan pajak sebesar 621 juta dolar (sama seperti penerimaan pada 2017), maka hitungan kasar pendapatan pemerintah akan mencapai 1,36 miliar dolar. Jumlah itu naik 80 persen dari penerimaan 756 juta dolar pada 2017.

Hitung-hitungan kasarnya, jika pemerintah bisa meraup 1,36 miliar dolar per tahun, modal 3,85 miliar dolar yang dikeluarkan pemerintah melalui Inalum sudah bisa balik modal dalam waktu tiga tahun.

“Penguasaan 51 persen saham Freeport memang bisa dimaknai sebagai upaya memperoleh pendapatan yang lebih besar,” kata Fahmy Radhi, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, kepada Tirto.

Tapi, sesederhana itukah perhitungan angka untung ruginya?

Infografik Sumbangan Freeport terhadap penerimaan negara

Infografik Sumbangan Freeport terhadap penerimaan negara

Dianggap Tidak Adil

Kendati pendapatan pemerintah bakal naik signifikan, aksi divestasi ini dianggap punya sejumlah kekurangan. Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu bahkan menilai terdapat ketidakadilan di sana. Menurut Said, Freeport setidaknya punya lima keuntungan dari aksi divestasi ini. Pertama, mereka dapat dana segar Rp55 triliun. Mereka juga punya hak pengendali meski hanya punya saham minoritas. Selain itu, Freeport juga mendapat kepastian perpanjangan kontrak sampai 2041, mendapat kepastian pajak, dan ada kemungkinan bisa bebas dari ancaman denda lingkungan --mengingat mayoritas pemilik saham kini adalah Indonesia.

“Sementara Indonesia hanya mendapatkan utang, saham, harapan, dan kewajiban investasi. Jadi apakah ini adil buat Indonesia?” kata Said kepada Tirto.

Bagi Said, melakukan akuisisi saham Freeport dengan menggunakan utang bukan merupakan keputusan yang baik. Apalagi, yang ditugaskan berutang adalah BUMN. Alhasil, jumlah BUMN yang mendapatkan beban karena penugasan semakin bertambah. Modal 3,85 miliar yang dikeluarkan untuk mengakuisisi saham Freeport juga hanya di atas kertas. Realitanya, jumlahnya lebih besar karena dibeli dengan utang. Inalum diketahui telah menerbitkan empat surat utang dengan total nilai mencapai 4 miliar dolar.

Utang itu antara lain surat utang senilai 1 miliar dolar dengan kupon 5,23 persen dan tenor tiga tahun; utang 1,25 miliar dolar dengan kupon 5,71 persen dan tenor lima tahun; utang 1 miliar dolar dengan kupon 6,53 persen dan tenor 10 tahun; dan utang 750 juta dolar dengan kupon 6,75 persen dan tenor 30 tahun.

Apabila dihitung dengan bunga, maka total nilai pinjaman yang harus diganti Inalum hingga akhir periode utang mencapai 6,68 miliar dolar, atau naik 67 persen dari awal nilai pinjaman 4 miliar.

Mengakuisisi saham Freeport hingga 51 persen memang patut diapresiasi. Meski begitu, konsekuensi yang ditimbulkan juga perlu diperhatikan, terutama menyangkut utang. Tentu kita tidak ingin akuisisi saham ini malah menambah masalah lain ke depannya, terutama bagi BUMN.

Baca juga artikel terkait AKUISISI FREEPORT atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Nuran Wibisono