Menuju konten utama
Utang Negara

Menguji Pernyataan JK soal Beban Utang Pemerintah Jokowi Besar

Sri Mulyani menekankan, dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk utang, yang penting adalah dilakukan dengan penuh kehati-hatian.

Menguji Pernyataan JK soal Beban Utang Pemerintah Jokowi Besar
Wakil Presiden ke 10 dan ke 12 Jusuf Kalla memberikan sambutan saat menghadiri peringatan Milad Ke-21 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (20/5/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.

tirto.id - Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf Kalla atau JK mengingatkan beratnya persoalan bangsa yang harus dipikul di masa yang akan datang. Sebelum persoalannya semakin membesar dan membahayakan bangsa, maka menurutnya harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan utang negara.

JK yang juga wakil presiden dari Jokowi periode 2014-2019 mengatakan, berutang memang mudah dilakukan, tapi yang susah adalah membayar utang. Dia menyinggung Indonesia membutuhkan presiden yang mampu menyelesaikannya.

“Kita diwariskan untuk membayar utang, tapi pahlawan (presiden) yang sebenarnya adalah yang menyelesaikan persoalan,” ujar JK dalam milad ke-21 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Istora Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu, 20 Mei 2023.

JK menjelaskan, tingginya utang di Indonesia saat ini adalah gabungan antara utang pemerintahan sebelumnya dengan pemerintahan sekarang. Namun, dia menegaskan, utang pemerintah saat ini yakni dalam kepemimpinan Presiden Jokowi adalah yang terbesar.

“Setahun bayar utang dan bunga sampai Rp1.000 triliun. Ini terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka,” kata JK yang juga Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI).

JK mengaku terlibat dalam kebijakan utang tersebut karena menjadi wakil presiden saat periode pertama Jokowi. Namun, kata JK, yang lebih penting saat ini adalah perubahan agar utang negara ini tidak berdampak pada masalah sosial yang semakin meluas di Indonesia.

JK sendiri memang bukan orang baru di pemerintahan. Ia pernah mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2009 dan menjadi wakil Jokowi pada periode 2014-2019.

Jokowi dan JK kala itu resmi dilantik dan menjabat presiden dan wakil presiden pada kuartal III-2014. Pada saat itu total utang warisan pemerintah sebelumnya, yakni era SBY sebesar Rp2.601,72 triliun.

Hingga selesai masa jabatan Jokowi-JK pada Oktober 2019, posisi utang pemerintah berada di angka Rp4.756,13 triliun setara 29,87 persen dari PDB. Posisi utang ini naik sekitar Rp2.154,41 triliun.

Sementara pada periode kedua Jokowi hingga Maret 2023, utang pemerintah tembus Rp7.879,07 triliun atau setara dengan 39,17 terhadap PDB Indonesia. Artinya dalam masa kedua kepemimpinan Jokowi, utang pemerintah naik hingga Rp3.122,94 triliun.

Beban Utang Pemerintahan Jokowi

Beban Utang Pemerintahan Jokowi. foto/kemenkeu

Pernyataan JK Dinilai Masuk Akal

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, apa yang disampaikan JK masuk akal. Hal ini karena beban bunga utang pemerintah sudah cukup besar sekitar Rp440 triliun setiap tahunnya. Bahkan beban bunga utang saat pemilu tahun depan diperkirakan tembus Rp500 triliun.

"Itu artinya akan menghabiskan banyak sekali pendapatan negara terutama penerimaan pajak akan tersedot sebagian untuk bayar utang," kata Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (23/5/2023).

Bhima mengatakan, di tengah kenaikan suku bunga tentu ini akan menjadi beban berat bagi Pemerintah Indonesia. Belum lagi inflasi global saat ini kondisinya masih cukup tinggi.

“Ini akan menjadi tekanan karena pemerintah harus menaikkan bunga sangat tinggi untuk menarik agar investor mau membeli surat utang negara," ujarnya.

Jika dilihat dari postur utang, Bhima menilai, salah satu penyebab membengkaknya utang ini karena hampir 88 persen strukturnya adalah Surat Berharga Negara (SBN). Di mana SBN ditawarkan pemerintah bunganya cukup relatif tinggi sekitar 6-7 persen.

“Dan itu di Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat suku bunga SBN tertinggi di negara Asia Tenggara bahkan lebih tinggi dari pada Filipina," ujarnya.

Dikutip dari APBN Kita edisi April 2023, utang pemerintah sebesar pRp7.879,07 triliun tersebut memang didominasi oleh SBN mencapai Rp7.013 triliun atau sekitar 89,02 persen. Sementara untuk pinjaman tercatat senilai Rp865 triliun atau 10,98 persen.

Jika dirinci, besaran utang SBN terdiri dari domestik Rp5.658 triliun. Di mana utang tersebut berasal dari Surat Utang Negara (SUN) Rp4.600 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp1.057 triliun. Kemudian untuk valas mencapai Rp1.354 triliun. Itu terdiri dari SUN Rp1.056 triliun dan SBSN Rp298 triliun.

Selanjutnya, utang berasal dari pinjaman terdiri dari dalam negeri Rp21,31 triliun dan luar negeri Rp844 triliun. Adapun pinjaman berasal dari luar negeri itu terbagi untuk bilateral Rp264 triliun, multilateral Rp527 triliun, dan commercial banks Rp52,35 triliun.

Beban Utang Pemerintahan Jokowi

Beban Utang Pemerintahan Jokowi. foto/kemenkeu

Utang Meningkat karena Pandemi?

Plt Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan mengatakan, posisi utang pemerintah meningkat tinggi pada 2020 menjadi 39,37 persen terhadap PDB dari sebelumnya di 2019 sebesar 30,23 persen terhadap PDB. Hal ini diakibatkan oleh Pandemi COVID-19 yang terjadi pada 2020.

Dalam kondisi pandemi COVID-19, pemerintah dan DPR menerbitkan UU Nomor 2/2020 yang mengamanahkan bahwa dapat dilakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3 persen PDB. Dengan belanja negara yang meningkat melalui kebijakan Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan menurunnya pendapatan negara akibat lemahnya aktivitas perekonomian.

"Hal ini menyebabkan defisit fiskal melebar signifikan sehingga mendorong kenaikan peningkatan utang," kata Ferry saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (24/5/2023).

Walaupun demikian, peningkatan utang yang terjadi pada 2020 diklaim Ferry memiliki tren penurunan seiring dengan pulihnya aktivitas perekonomian di Indonesia.

Pendapatan negara saat ini juga memiliki tren meningkat yang diiringi dengan belanja negara yang memiliki tren relatif stagnan sehingga mendorong penurunan defisit bahkan menghasilkan nilai surplus. Kini Indonesia telah mendapati surplus anggaran sejak Januari 2023 (Rp90,8 triliun) hingga Maret 2023 (Rp128,5 triliun).

“Dengan demikian, posisi utang pemerintah terakhir hingga Maret 2023 sebesar sebesar Rp7.879,07 triliun atau 39,17 persen terhadap proyeksi PDB 2023 yang menunjukkan tren penurunan utang pemerintah," kata Ferry.

Posisi utang sebesar 39,17 persen itu pun diklaim masih di bawah batas yang diamanahkan oleh UU 17/2003. Dalam Penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU 17/2003 dijelaskan bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto.

Kritik Penggunaan Utang

Bhima Yudhistira lantas mengkritik penggunaan utang yang dilakukan pemerintah Jokowi saat ini. Dia bahkan mempertanyakan apakah benar kenaikan utang pesat ini karena masalah pandemi COVID-19.

“Jawabannya adalah tidak. Karena sebelum pandemi laju utang memang sudah tinggi," ujarnya.

Padahal, kata Bhima, pemerintah mengklaim utang ini diperuntukan untuk belanja infrastruktur. Namun jika dilihat kondisi riil saat ini, maka pembangunan infrastruktur yang ada tidak berkorelasi terhadap kenaikan indeks logistik dan tidak menurunkan biaya logistik secara signifikan.

Sebaliknya yang terjadi, kata Bhima, adalah makin banyak utang infrastruktur justru membuat biaya logistik semakin tinggi dan indeks logistik anjlok serta daya saing sektor manufaktur terus menurun. Padahal infrastruktur ini dibutuhkan supaya sektor manufakturnya berdaya saing.

“Sekarang industri manufakturnya mengalami tekanan, jadi infrastruktur dari utang ini dipertanyakan. Selain tentu utang menjadi kurang produktif karena tingkat korupsi di infrastruktur masih cukup tinggi. Seperti kita lihat di Waskita," ujarnya.

Oleh karena itu, Bhima mendorong agar presiden terpilih selanjutnya bisa melakukan langkah-langkah progresif untuk menurunkan beban warisan utang pemerintah sebelumnya. Pertama dengan meminta pembatalan pokok utang dan bunga utang.

“Karena sebagian pinjaman itu bisa dikurangi digantikan dengan program yang bisa menurunkan emisi karbon atau program pro lingkungan," ujarnya.

Kedua, presiden terpilih juga bisa memanfaatkan fasilitas penundaan pembayaran utang yang diinisiasi negara G-20. Meskipun sifatnya temporer, tetapi ini diharapkan bisa memberikan ruang bagi presiden terpilih nanti untuk mengatur ulang kembali beban utangnya.

Selanjutnya, presiden terpilih juga harus berani memangkas belanja-belanja yang boros. Contohnya belanja tidak korelasi dengan daya saing seperti belanja pegawai.

“Ini sudah minta gaji menteri naik, sudah minta gaji PNS naik. Harusnya belanja pegawai dikurangi karena itu salah satu kontributor menyempitnya ruang fiskal," kata Bhima.

Kemudian dari sisi pajak, kata dia, jika mau kemampuan bayar utangnya baik, maka kemampuan menghasilkan penerimaan pajak itu harus didorong. Minimum, kata Bhima, rasio pajak Indonesia bisa di atas 12 persen. "Itu idealnya," imbuhnya.

Beban Utang Pemerintahan Jokowi

Beban Utang Pemerintahan Jokowi. foto/kemenkeu

Pembayaran Utang Masih Terjaga

Terlepas dari berbagai kritik, Kementerian Keuangan justru menjamin bahwa pembayaran utang pemerintah sampai saat masih terjaga dengan baik dan dilakukan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan. Namun, ia tidak membenarkan ataupun menampik apakah pembayaran utang tiap tahunnya mencapai hingga Rp1.000 triliun.

“Kita kalau lihat dari data dan pengelolaan utang tiap tahun kita, utang itu kan ada beberapa jangka waktunya. Pasti untuk yang tempo maupun pembayaran utangnya itu sudah ada di dalam APBN dan itu masuk dalam strategi pembiayaan tiap tahun. Itu yang kita lakukan," ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati kepada wartawan di Gedung DPR RI, Jakarta.

Sri Mulyani menekankan, dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk utang, yang penting adalah dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Di mana, sebelum jatuh tempo, utang bisa dibayar.

"Yang paling penting prinsipnya, yang jatuh tempo bisa dibayar," imbuhnya.

Selain itu, Sri Mulyani menekankan untuk utang Indonesia tidak hanya pembayaran yang lancar. Namun, jumlahnya yang meski saat ini tinggi, tapi masih jauh di bawah ambang batas utang yang ditetapkan UU Keuangan Negara, yakni 60 persen dari PDB.

“Kemudian beban utangnya tetap manageable. Itu yang masuk dalam sustainabilitas,” kata Sri Mulyani.

Sementara Ferry Irawan memproyeksikan, rasio utang Indonesia 2023 sebesar 39 persen terhadap PDB. Proyeksi ini pun masih lebih rendah dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat 109 persen, Jerman 67 persen, Perancis 111 persen, Jepang 258 persen, dan Korea Selatan 55 persen.

"Negara-negara ini rasio utangnya jauh di atas Indonesia," katanya.

Pengelolaan utang dilakukan pemerintah, lanjut Perry, dilakukan secara hati-hati dengan risiko yang terkendali. Pembiayaan utang di 2023 bahkan ditargetkan lebih efisien sejalan dengan penurunan defisit dan pemanfaatan SAL.

“Guna meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam jangka panjang, pemerintah terus berupaya mendukung terbentuknya pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid. Salah satu strateginya adalah melalui pengembangan berbagai instrumen SBN yang didorong oleh transformasi digital," katanya.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menambahkan, besarnya utang saat ini bukan ukuran bahwa ada masalah di keuangan pemerintah atau fiskal. Karena semakin besar utang kalau diikuti semakin besar size ekonomi adalah kewajaran.

"Contoh utangnya konglomerat dengan utangnya saya pasti besaran utangnya konglomerat. Tapi itu tidak berarti saya lebih aman secara keuangan. Bukan berarti saya lebih baik," kata Piter kepada reporter Tirto.

Piter mengamini bahwa posisi utang Pemerintah Jokowi-Ma'ruf saat ini masih di bawah batas aman yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Ada posisi utang hingga per Maret 2023 baru sekitar 39,17 terhadap PDB.

“Jauh juga di bawah rasio utang negara-negara maju seperti Jepang yang rasio utangnya di atas 200 persen,” kata dia.

Beban Utang Pemerintahan Jokowi

Beban Utang Pemerintahan Jokowi. foto/kemenkeu

Baca juga artikel terkait UTANG atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz