Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Menguji Konsistensi Sikap MK dalam Putusan Gugatan Sistem Pemilu

Jika MK konsisten dengan putusan lainnya terkait open legal policy, maka gugatan sistem pemilu proporsional tertutup semestinya ditolak.

Menguji Konsistensi Sikap MK dalam Putusan Gugatan Sistem Pemilu
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) bersama Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri), Saldi Isra (kedua kiri), Arief Hidayat (kedua kanan), dan Wahiduddin Adams (kanan) berdiri usai memimpin Sidang Uji Materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (29/3/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom.

tirto.id - Wacana sistem pemilu proporsional tertutup kembali mengemuka usai Denny Indrayana, ahli hukum tata negara membuat pernyataan kontroversial. Ia menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus uji meteri UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikembalikan pada sistem pemilu proporsional tertutup atau hanya pilih gambar parpol.

Padahal selama ini –setidaknya sejak Pemilu 2004--, yang dipakai adalah sistem proporsional terbuka. Dengan sistem ini, masyarakat dapat memilih calon anggota legislatif yang diinginkan. Sementara dalam sistem proporsional tertutup, partai lah yang menentukan.

Sontak, pernyataan Denny tersebut menjadi bola panas, bahkan delapan fraksi di DPR RI mewanti-wanti agar MK tidak mengubah sistem pemilu yang tahapannya sudah berjalan.

Apalagi, eks Wamenkumham era SBY itu menyebut komposisi hakim MK dalam putusan tersebut. Ia bilang, enam hakim MK menyatakan setuju dengan sistem pemilu proporsional tertutup, sedangkan tiga hakim lainnya menyatakan dissenting opinion.

Selain itu, Denny juga mengklaim bahwa informasi yang ia dapatkan bisa dipercaya. Namun, ia memastikan bahwa pemberi informasi bukanlah hakim MK.

Merespons pernyataan Denny tersebut, Juru Bicara MK, Fajar Laksono mengatakan, belum ada putusan perkara uji materi terkait sistem pemilu. Ia mengatakan, kesimpulan para pihak baru diserahkan pada 31 Mei 2023.

Pembacaan putusan pun, kata Fajar, harus dilakukan setelah putusan siap, sementara hakim belum mengambil keputusan.

“Kalau putusan sudah siap, baru diagendakan sidang pengucapan putusan. Jadi, dibahas saja belum,” kata Fajar mempertanyakan saat dikonfirmasi terkait pernyataan Denny, Senin (29/5/2023).

Putusan MK soal Sistem Pemilu Open Legal Policy

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, mayoritas putusan MK terkait pengujian variabel sistem pemilu memutuskan bahwa pilihan atas variabel sistem pemilu adalah kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.

Ia mencontohkan, putusan atas ambang batas perwakilan/parlemen dalam Putusan Nomor MK. 16/PUU-V/2007, Putusan No MK. 52/PUU-X/2012. Serta putusan atas pengujian ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang seluruhnya disebut open legal policy.

“Termasuk pula pengujian terkait jadwal pemilu berupa desain atau model keserentakan pemilu dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK No. 16/PUU-XIX/2021 juga seluruhnya disebut MK sebagai open legal policy,” kata Titi saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (30/5/2023).

Karena itu, kata Titi, jika MK tetap memutuskan sistem pemilu yang bukan kewenangannya, justru putusan itu dianggap inkonstitusional. Selain itu, putusan itu justru menimbulkan spekulasi politik.

“Kalau untuk urusan sistem pemilu ini MK lalu mengambil pilihan satu jenis sistem pemilu yang disebut konstitusional, maka itu tentu akan menggambarkan inkonsistensi MK serta menambah spekulasi soal aspek politik dan membuat adanya kecurigaan atas kepentingan tertentu bisa menguat,” ucap Titi.

MK, kata dia, memang beberapa kali mengubah pertimbangan hukumnya terkait suatu norma hukum. Namun, itu dilakukan dengan sangat ketat dan dilakukan berdasar argumen hukum dan pertimbangan konstitusional yang sangat kuat.

“Sedangkan, terkait sistem pemilu ini cukup sulit bagi MK untuk bergeser dari posisi kebijakan hukum terbuka pembentuk UU,” kata Titi.

Di sisi lain, ia mengatakan, putusan yang inkonstitusional itu juga mempengaruhi kepercayaan atas MK dalam menangani urusan pemilu, terutama penyelesaian perselisihan hasil Pemilu 2024. Namun, lanjut Titi, bagaimanapun putusan MK tetap harus dihormati sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang dijamin UU.

Oleh karena itu, kata Titi, tidak boleh melemahkan dan mendegradasi MK secara kelembagaan.

“Hanya saja pasti akan banyak kritik dan sorotan ke MK atas putusan yang dibuatnya. Dan saya kira itu wajar saja mengingat isu sistem pemilu memang sangat sensitif dan punya bobot politik tinggi,” kata Titi.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Pusako, Feri Amsari mengatakan, jika sikap MK konsisten dengan putusan lainnya yang memutus perkara dengan menyatakan open legal policy, maka seharusnya gugatan sistem pemilu dengan proporsional tertutup ditolak.

Sebab, kata Feri, hal itu bukan wewenang MK untuk memutuskan, tetapi kewenangan lembaga pembuat undang-undang. Namun, ia menyayangkan putusan MK beberapa waktu lalu yang mengabulkan gugatan permohonan masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun.

“Jadi, menurut saya, kalau MK itu konsisten dengan putusannya yang terdahulu, maka tentu saja apa yang disebut dalam UUD terkait open legal policy akan diserahkan MK kepada pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan pemerintah. Pertanyaan besarnya kenapa untuk pimpinan KPK tiba-tiba MK melupakan putusan-putusan yang menyerahkan konsep open legal policy pengaturannya ke dalam ketentuan pembentuk UU. Jadi agak janggal di sana,” kata Feri saat dihubungi reporter Tirto.

Akan tetapi, ia menyakini MK akan menggunakan konsep open legal policy dalam memutus perkara gugatan sistem pemilu proporsional tertutup itu. Pasalnya, kata dia, menjauhkan diri dari tanggung jawab tafsir konstitusional di awal.

“Makanya dalam kasus [uji materi] presidential threshold, mereka beralasan itu open legal policy, sehingga kemudian tidak ingin ikut memutuskan apakah ketentuan itu konstitusional atau tidak konstitusional,” ucap Feri.

Di sisi lain, ia menilai pernyataan Denny Indrayana yang menyatakan MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup masuk akal. Ia melihat jumlah hakim di MK yang mayoritas dari partai pendukung sistem proporsional tertutup. Menurut dia, hakim MK dipilih atas dasar politis.

“Kalau kita lihat dari keterangan hakim konstitusi, tiga orang dari DPR, yang tentu saja ada suara-suara mayoritas partai, kebetulan partai mayoritas di DPR itu lebih condong untuk tertutup. Sementara tiga lainnya berasal dari presiden, yang partainya mayoritas di parlemen. Dilihat itu saja, sebenarnya enam berbanding tiga. Dugaan Prof Denny itu beralasan kalau kita deteksi asal muasal hakimnya yang dipilih kurang lebih secara politis,” kata Feri.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Abdul Aziz