Menuju konten utama

Menguji Klaim Lion Air Group Tak Kuat Pertahankan Karyawan

Pandemi COVID-19 memukul industri penerbangan, termasuk Lion Air Group yang mem-PHK 2.600 karyawan.

Menguji Klaim Lion Air Group Tak Kuat Pertahankan Karyawan
Phsycal Distancing Airbus 320-200. foto/rilis Lion Air

tirto.id - COVID-19 memaksa hampir seluruh penerbangan tidak beroperasi selama 24 April-1 Juni sesuai larangan Kemenhub. Satu per satu industri penerbangan Indonesia mengumumkan kinerja yang buruk karena nyaris tiada pemasukan. Selama 2019, porsi tiket penerbangan mencangkup sekitar 80-90 persen pendapatan maskapai.

Maskapai-maskapai penerbangan melakukan efisiensi untuk mengatasi kinerjanya. Pengurangan karyawan adalah salah satu langkahnya.

Lion Air Group, yang meliputi merek Lion Air, Batik Air, dan Wings Air, merupakan salah satu maskapai yang terkena imbas sehingga melakukan pengurangan karyawan. Perusahaan milik Rusdi Kirana, yang diangkat Presiden Joko Widodo sebagai duta besar Indonesia untuk Malaysia, ini bahkan menjadi maskapai dengan PHK terbesar yang meliputi 2.600 orang atau 9% dari total 25.000 karyawan.

“Keputusan berat tersebut diambil dengan tujuan utama sebagai strategi sejalan mempertahankan kelangsungan bisnis dan perusahaan tetap terjaga,” ucap corporate communications strategic of Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro dalam keterangan tertulis pada awal Juli lalu.

Jumlah Penumpang Anjlok

Penurunan penumpang di maskapai Lion Air Group sudah terjadi sejak Februari, meski kasus positif COVID-19 belum diumumkan oleh pemerintahan Jokowi.

Menurut data Kementerian Perhubungan, jumlah penumpang Lion Air Group pada Februari 2020 turun 5,97% secara month to month (mtom) atau dari 3,89 juta menjadi 3,66 juta penumpang.

Setelah kasus positif COVID-19 diumumkan pada awal Maret, jumlah penurunan penumpang semakin dalam. Data Kemenhub mencatat jumlah penumpang turun lagi 3,02 juta atau minus 17,55% (mtom). Kondisi semakin buruk menjadi 686.481 orang atau minus 77,27% (mtom) pada April 2020. Pada Mei 2020, pertumbuhannya bahkan menjadi minus 93,49% (mtom) dan hanya tersisa 44.683 penumpang.

Lion Air Group menguasai lebih dari setengah pangsa pasar maskapai penerbangan domestik Indonesia. Selama Januari-Mei 2020, market share Lion Air Group berkisar 56-59%. Merujuk Indonesia National Air Carriers Association (INACA), pangsa pasar Lion saat ini meningkat dibandingkan tahun 2019 (50,29%) dan 2018 (50,73%).

Sebagai perbandingan, Garuda Indonesia Group (Garuda dan Citilink), dengan pangsa pasar domestik 28-30% selama 2020, mengalami kontraksi pertumbuhan penumpang minus 85,73% (mtom) pada April 2020 dari 1,41 juta menjadi 202.431 orang. Pada Mei 2020, perusahaan pelat merah ini hanya mengangkut 27.501 penumpang atau minus 86,41% mtom. Garuda sudah melakukan PHK 800 karyawan kontrak dan 117 pilot.

Menurut data INACA, Lion Group pada 2019 masih memegang 19% dari market share internasional. Kerugian pasti bertambah jika menyertakan faktor pelarangan penerbangan ibadah umrah dan haji 2020.

Kemenhub memang telah mengizinkan maskapai kembali terbang pada awal Mei 2020 untuk mengangkut pebisnis sembari tetap melarang pemudik. Namun, data Kemenhub menunjukan jumlah penumpang pada Mei 2020 tetap turun 98,5% year on year (yoy) dan 91,88% secara mtom.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Novie Riyanto Raharjo enggan berkomentar mengenai kondisi keuangan maskapai di tengah pandemi. Ia hanya memastikan COVID-19 memang berdampak signifikan pada maskapai.

Ia beralasan belum menerima laporan keuangan yang wajib diserahkan per kuartal dengan alasan maskapai terkendala work from home. Maskapai masih diberi waktu untuk menyelesaikan audit hingga akhir Juli 2020.

Novie berkata selama April 2020, jumlah penerbangan hanya tersisa 7-8% dari biasanya dan pada Mei 2020 di bawah 10%. Per 7 Mei, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memang sudah membuka kembali seluruh moda transportasi, termasuk udara. Namun, penerbangan tidak dibuka secara komersial, hanya untuk penumpang yang memenuhi syarat dan ketentuan.

Pada Juni 2020, pemerintah sudah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan sebagian penerbangan sudah beroperasi. Namun, jumlah penerbangan pada Juni 2020 baru mencapai 15-20% dari kapasitas normal meski sudah terbilang lumayan. Namun keterisian (load factor) masih menjadi masalah karena di bawah 50%.

“Animo masyarakat masih belum recover. Mereka banyak melakukan perjalanan dalam kondisi yang penting saja. Hal-hal leisure mereka belum mau,” ucap Novie kepad Tirto, Selasa pekan lalu.

Insentif Pemerintahan Jokowi

Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja menjelaskan kondisi maskapai memang sedang sulit-sulitnya selama 6 bulan terakhir. Denon berkata selama masa sulit itu maskapai praktis mengalami kesulitan membayar sejumlah kewajiban.

Secara umum, biaya maskapai terdiri dari leasing, maintenance, suku cadang, operating cost, asuransi, biaya sewa kepada bandara, navigasi, sampai avtur.

Hingga saat ini Pertamina memberi diskon avtur 10% meski semula ditujukan sebagai insentif pariwisata Februari 2020 yang sempat batal. Airnav belakangan mengizinkan pembayaran jasa navigasi ditunda dari 90 hari menjadi 7 bulan. Di luar itu, maskapai sudah bernegosiasi mengenai urusan seperti leasing, ujar Denon.

Keringanan bayar dari Angkat Pura 1 dan Angkasa Pura 2, BUMN yang mengelola pelayanan lalu lintas udara dan bandara, belum terealisasi lantaran mereka masih terbebani biaya operasional, ujar Denon. Namun, setelah asosiasi mengirim surat ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, ia meyakin permintaan ini direspons.

Denon berkata “yakin” industri penerbangan bisa pulih lebih cepat—sejalan penerbangan kembali dibuka dan beberapa keringanan atau insentif dari pemerintahan Jokowi.

“Harapannya bisa memperkecil PHK,” ucapnya kepada Tirto, Rabu pekan lalu.

Selama enam bulan pertama tahun ini memang tak sedikit keputusan pemerintahan Jokowi yang mendukung maskapai penerbangan.

Pada 15 Juni lalu, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, di bawah Luhut Binsar Pandjaitan (yang pernah menggantikan peran Menhub Budi Karya saat tertular COVID-19 sampai awal Mei), mempersilahkan maskapai menaikkan harga tiket demi menutup biaya operasional. Namun, dengan catatan tarifnya tak melebihi batas atas.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Hestu Yoga Saksama berkata kepada Tirto bahwa maskapai masuk dalam golongan usaha yang berhak menerima insentif perpajakan PPh-21, PPh-25, sampai penurunan PPh Badan 25% ke 22%. Ia tak merinci berapa maskapai yang mengajukan tetapi ia memastikan mereka sudah mengaksesnya.

Di luar itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani di Komite IV DPD RI, pada 7 Juli lalu, membuka peluang akan memberi stimulus yang mirip pengumuman Januari-Februari 2020 untuk menggenjot pariwisata selama new normal. Ia berkata, “Untuk menarik wisatawan masuk ke daerah seperti sekarang, Bali akan dibuka. Maka, kalau wisatawan daerah, kami beri insentif seperti diskon tiket (pesawat).”

Baru-baru ini, Kementerian di bawah Luhut mengeluarkan surat ke tujuh kementerian/lembaga untuk merealisasikan perjalanan dinas dan rapat ke daerah tujuan wisata demi “memulihkan sektor pariwisata”, yang imbasnya membantu sektor jasa penerbangan.

Surat bertanggal 6 Juli ini ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Perhubungan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan Kepala Badan dan Koordinasi Penanaman Modal; total mereka memiliki lebih dari Rp4,1 untuk anggaran perjalanan dinas dan rapat.

Mereka diminta untuk membuat skema anggaran perjalanan ke tempat wisata di Banyuwangi, Bali, Borobudur, Danau Toba, Kep. Riau, Labuan Bajo, Likupang (Minahasa), dan Mandalika (Lombok), selama akhir Juli sampai November 2020.

Corporate communications strategic of Lion Group Danang Mandala Prihantoro tidak menjawab pasti bilamana pelbagai insentif ini membantu perusahaan singa merah. Sebagian insentif yang diharapkan Lion Air Group belum diterima, katanya.

Di luar catatan INACA, Lion Air Group punya tambahan usulan insentif seperti pembebasan pajak-bea masuk suku cadang, pelonggaran iuran BPJS tanpa penalti, pinjaman bunga rendah untuk operasional, dan keringanan biaya rute.

Meski demikian, Danang berkata Lion meyakini tren perjalanan udara akan terus membaik sejalan kemudahan persyaratan bepergian. Hanya saja, prediksi membaiknya situasi ini belum jadi jaminan 2.600 pekerja Lion pasti bisa bekerja lagi seperti dijanjikan perusahaan pada 8 Juli pekan lalu.

“Kami berdasar melihat tren produksi (jumlah penerbangan) dari bulan-bulan berikutnya,” ujar Danang kepada Tirto pada Kamis pekan lalu.

Baca juga artikel terkait LION AIR GROUP atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas & Mohammad Bernie
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti