Menuju konten utama

Menguji Kekuatan KPK Lewat Praperadilan Irman Gusman

Sejak Februari 2015, tercatat empat pengajuan praperadilan tersangka korupsi di KPK dikabulkan hakim, selebihnya ditolak. Kekalahan tersebut tidak membuat KPK tinggal diam, tetapi justru menjadikannya sebagai pelajaran berharga untuk berbenah. Pelajaran itu akan diuji dalam praperadilan Irman Gusman yang akan berlangsung pertengahan Oktober mendatang.

Menguji Kekuatan KPK Lewat Praperadilan Irman Gusman
Mantan Ketua DPD Irman Gusman memasuki mobil tahanan usai dilakukan pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (4/10). Irman Gusman diperiksa penyidik KPK sebagai saksi kasus dugaan suap pengurusan kuota gula impor di Sumatera Barat dengan tersangka Memi istri dari Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Susanto. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Irman Gusman, pertengahan September lalu menyita perhatian publik. Pro dan kontra pun muncul menyusul ditetapkannya mantan Ketua DPD RI itu sebagai tersangka dugaan suap kasus kuota impor gula untuk wilayah Sumatera Barat tahun 2016.

Mereka yang kontra KPK berpandangan, tidak mungkin pria kelahiran Kota Padang Panjang, 11 Februari 1962 mengorbankan reputasinya menerima suap Rp100 juta. Apalagi kalau merujuk pada data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK 2014, total harta kekayaannya mencapai Rp31.905.399.714 dan 40.995 dolar AS (saat itu kurs Rp12.300) atau setara Rp 32.409.638.214.

Namun, bagi mereka yang pro komisi antirasuah, operasi tangkap tangan Irman Gusman menjadi momentum yang tepat untuk mengurai benang kusut impor gula selama ini. Apalagi sebelum kasus Irman mencuat, KPK telah menerima laporan dari lembaga antikorupsi di Singapura, yakni Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB ).

Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), HM Arum Sabil kepada Antara, Sabtu (17/9/2016) mengatakan, laporan dari CPIB menyebutkan adanya direksi BUMN yang menerima suap dari fee impor pangan, terutama gula.

Penerima suap tersebut, diduga telah membuka rekening di Singapura untuk menampung fee dari perusahaan Panamex sebesar 50 dolar AS per ton dari 100 ribu raw sugar yang diimpor. Total fee itu mencapai lima juta dolar AS atau setara Rp65 miliar.

"Terkait kasus suap dari fee impor gula yang terjadi di Singapura, kami harap KPK mengusutnya hingga tuntas. Kami yakin kasus ini akan mengungkap kasus perburuan rente dari fee impor gula yang jauh lebih besar yang melibatkan pejabat negara dan pengambil kebijakan di negeri ini," ujarnya.

Namun, pengacara Irman Gusman, Razman Nasution merasa yakin kliennya tersebut tidak bersalah. Karena itu, ia pun resmi mengajukan praperadilan terkait penetapan Irman Gusman sebagai tersangka oleh KPK. Permohonan praperadilan tersebut didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 29 September dengan nomor registrasi No.129/PID.PRAP.

“Perihal praperadilan, kami sudah memiliki bukti-bukti, kami sudah dalami prosedur di antaranya ada surat yang berbeda dalam OTT itu. Dalam surat [OTT] itu ditujukan untuk Pak Sutanto tapi kok digunakan untuk Pak Irman? Bukti lain tidak bisa saya buka karena itu untuk rahasia di pengadilan,” ujarnya.

KPK pun siap meladeni praperadilan mantan Ketua DPD RI itu. Lembaga yang berkantor di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan itu telah menyiapkan dokumen serta berkas lainnya yang sesuai dengan materi gugatan. Selain praperadilan Irman Gusman, KPK juga sedang meladeni praperadilan yang diajukan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam.

Praperadilan Menjadi Tren

Praperadilan yang diajukan Irman Gusman dan Nur Alam bukan yang pertama kali dihadapi KPK. Sebelumnya, para tersangka kasus korupsi juga menempuh jalur ini. Namun, dari sekian banyak tersangka yang mengajukan praperadilan, hanya segelintir yang tuntutannya dikabulkan hakim, sedangkan sebagian besar dari mereka justru ditolak. Mereka yang praperadilannya dikabulkan antara lain, Budi Gunawan, Hadi Poernomo, Ilham Arief Sirajuddin, dan Marthen Dira Tome.

Lalu, sejak kapan para tersangka korupsi menjadikan praperadilan sebagai celah untuk menghapus status hukum tersangka?

Memang tidak ada jawaban pasti. Namun, putusan hakim Sarpin Rizaldi pada 16 Februari 2015 silam setidaknya menjadi patokan munculnya tren praperadilan yang diajukan oleh tersangka korupsi di KPK.

Dalam putusan tersebut, Sarpin menilai penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka dianggap tidak sah dan KPK tidak berhak melakukan penyidikan. Namun, putusan Sarpin dianggap keluar dari pakem objek praperadilan yang diatur dalam UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan menilai, putusan Sarpin dalam sidang praperadilan yang diajukan Budi Gunawan bukan merupakan hasil penafsiran hukum, melainkan menambahkan obyek hukum dalam praperadilan.

“Dari putusan itu, Sarpin tidak langsung mengatakan, obyek praperadilan boleh ditambahkan. Itu kan bukan penafsiran. Jadi, dia nekat benar,” ujarnya seperti dikutip kompas.com, April 2015 lalu.

Padahal, Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya mengatur bahwa pengadilan berwenang memutuskan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan. Sementara yang digugat Budi Gunawan adalah status tersangka, yang tidak termasuk dalam obyek praperadilan.

Terlepas dari pro dan kontra di atas, putusan Sarpin menjadi inspirasi bagi tersangka korupsi lain di KPK yang juga mengajukan praperadilan. Misalnya, dalam sebulan saja pasca-putusan Sarpin tersebut, tercatat ada empat tersangka korupsi yang mengajukan praperadilan, yaitu: Suryadharma Ali (pada 23 Februari 2015), Sutan Bhatoegana (pada 26 Februari 2015), Hadi Poernomo (pada 16 Maret 2015), dan Suroso Atmo Martoyo (pada Maret 2015).

KPK Tak Tinggal Diam

Sejak Februari 2015, setidaknya tercatat empat kali KPK kalah dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh tersangka korupsi. Kekalahan tersebut menjadi pelajaran berharga bagi KPK agar ke depan lebih hati-hati dalam menetapkan status tersangka, karena gugatan praperadilan yang dihadapi juga berbeda-beda.

Misalnya, dalam gugatan praperadilan mantan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, di mana KPK dianggap tidak bisa menunjukkan bukti yang cukup sehingga Pengadilan Jakarta Selatan mengabulkan permohonan Ilham. Namun, KPK tidak tinggal diam. Setelah menerbitkan sprindik baru akhirnya Ilham Arif Sirajuddin divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, pada Februari 2016 lalu.

Ia dijatuhi hukuman pidana penjara selama 4 tahun atas dakwaan korupsi terkait kerja sama kelola dan transfer instalasi perusahaan daerah air minum (PDAM) di Makassar tahun 2007-2013.

Sementara, dalam gugatan praperadilan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo, KPK kalah karena penyidik yang dianggap tidak sah. Karena itu, komisi antirasuah tersebut menyiapkan strategi baru, mulai dari penyelidikan yang matang hingga bukti yang kuat dalam menangani kasus.

Dalam kasus praperadilan Irman Gusman yang dijadwalkan pada Selasa (18/10/2016) mendatang, KPK menyatakan siap meladeninya. Kekalahan empat kali pada praperadilan sebelumnya akan menjadi pelajaran berharga bagi KPK untuk menghadapi praperadilan Irman Gusman ini.

Baca juga artikel terkait PRAPERADILAN IRMAN GUSMAN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti