Menuju konten utama

Mengobral Jomblo di Panggung Politik

Dari Ridwan Kamil hingga Sandiaga Uno dan Ahok pernah berbicara tentang jomblo. Apa inti pembicaraan mereka sebenarnya?

Mengobral Jomblo di Panggung Politik
Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta terpilih Anies Baswedan dan Sandiaga Uno baru saja mengeluarkan pernyataan tentang kartu jomblo.

"Saya bicara sama teman di dunia digital dibuat aja apps-nya, karena kalau kebanyakan kartu kan dompet penuh jadi itu mungkin bisa dibuat sebagai apps dan apps ini dijadiin sarana jomblowan dan jomblowati untuk mengakhiri status jomblonya," kata Sandiaga pada Rabu (03/05).

Menjelang pencoblosan putaran kedua, wacana ini juga menjadi topik minor dalam kampanye yang direspons oleh kedua pasangan kandidat. Di tengah ketegangan akibat politisasi agama, kemunculan pembicaraan seputar jomblo sedikit mengendurkan urat saraf. Ceritanya berawal dari video yang diunggah situs opini.id bertajuk “Jomblo Gugat Cagub Jakarta.”

Begini narasi video yang dituturkan seorang laki-laki: “Ahok Djarot, kalian ciptakan Pasukan Orange. Tapi mana pasukan Pink? Kami juga butuh mak comblang untuk dapatkan jodoh. Anies-Sandi, kalian ciptakan rumah tanpa DP. Mana maskawin tanpa DP? Kami juga butuh modal untuk hadapi calon mertua”.

Beberapa hari kemudian Ahok menjawab singkat. Menurutnya, tidak ada masalah status jomblo. Namun, taman yang baik, fasilitas transportasi umum, selain menjamin kebahagian warga kota, juga mendukung perjodohan.

Adapun Anies jauh lebih elaboratif lagi. Ia menggunakan isu jomblo untuk mengartikulasikan program OK-Oce kepada pemilih muda. KJP Plus, menurut Anies, bisa digunakan untuk menuntaskan pendidikan, DP 0% untuk punya rumah dan bisa meyakinkan calon mertua. Terakhir, Anies menyebut Kartu Jakarta Jomblo yang akan berlaku selama 6 bulan.

“Jangan lupa pilih Anies-Sandi, demi terciptanya jomblo berkualitas yang siap menikah,” ucap Anies.

Infografik Jomblo Di Panggung Politik

Klaim Jomblo Miskin Data

Dalam masyarakat Indonesia, menikah dirasakan sebagai suatu keharusan atau tradisi yang tak perlu dipertanyakan lagi. Namun sebagian orang berpendapat lain. Beda agama, sulitnya mendapat restu keluarga, orientasi seksual yang berbeda, hingga syarat-syarat materil dan psikologis menjadi latar belakang mengapa orang memutuskan untuk menunda atau sama sekali tak menikah.

Sandiga sendiri menyebut ta'aruf, kosa kata yang akrab di kelompok Muslim Tarbiyyah, untuk menyebut perkenalan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim sebagai proses menuju pernikahan. Istilah yang lebih umum untuk aktivitas yang sama adalah percomblangan. Sementara Anies, pada saat kampanye, mengaitkan kejombloan dengan soal-soal materil yang menyulitkan orang—persisnya laki-laki—untuk menikah.

Maka dalam definisi Anies-Sandi, jomblo adalah laki-laki tanpa pasangan yang belum dan ingin menikah. Dalam batasan tersebut, persiapan untuk berumahtangga dibebankan kepada laki-laki. Tapi bagaimana dengan jomblo perempuan? Bagaimana dengan jomblo yang memang tidak ingin berpasangan, apalagi menikah? Dan yang lebih mendasar, bagaimana cara memperkirakan jumlah jomblo di Indonesia?

Pada 2014 lalu, Tribunnews mengutip data BPS yang menunjukkan bahwa 120 juta orang usia produktif hidup menjomblo pada tahun 2010. Hitung-hitungan ini bermasalah. Begini uraiannya:

“Tahun 2010 BPS mencatat total jumlah penduduk adalah 237.641.326 jiwa. Kemudian dibagi menjadi tiga kategori. Jumlah penduduk berusia dibawa usia 15 tahun, 15-64 tahun, dan di atas 64 tahun. … Perbandingan penduduk berusia di bawah 15 tahun adalah laki-laki 35.298.880 jiwa dan perempuan 33.304.383 jiwa. Artinya akan ada sebanyak 1.994.497 jiwa anak usia di bawah 15 tahun tak punya pacar. Lalu perbandingan penduduk berusia di atas 64 tahun, jumlah laki-laki 5.362.873 jiwa dan perempuan 6.622.078 jiwa. … Sedangkan perbandingan jumlah penduduk perempuan dan laki-laki di usia produktif sebagai berikut. Ini adalah kisaran usia antara 15–64 tahun. Tercatat pria ada sebanyak 78.969.160 jiwa. Sedangkan perempuan tercatat sebanyak 78.083.952 jiwa. Artinya sebanyak 885.208 pria di Indonesia bakal kesulitan mencari jodoh dan bahkan mereka terancam jadi jomblo seumur hidup.”

Asumsi bahwa selisih 78.969.160 jiwa (laki-laki) dan 78.083.952 (perempuan) adalah jomblo merupakan kesimpulan yang melompat. Dari mana kesimpulan “1.994.497 jiwa anak usia di bawah 15 tahun tak punya pacar” didapat jika tidak ada keterangan lebih detail tentang status hubungan? Pernikahan dan perceraian laki-laki dan perempuan tentu tercatat dalam catatan sipil, namun status hubungan di luar itu tidak.

Berita yang sama mengutip data dari jomblo.com, situs pencarian jodoh yang mengklaim memiliki 1 juta pengguna dan 50 persennya orang Jakarta. Namun, tidak ada informasi yang bisa menjelaskan tentang motif pengguna (apakah untuk pasangan, cari teman kencan, cari teman tidur, atau sekadar berjejaring?) yang mendaftar dalam situs tersebut.

Bahasa Kampanye untuk Anak Muda

Beberapa tahun belakangan, jomblo telah menjadi suatu topik pembicaraan tersendiri. Kedudukannya setara dengan “Om Telolet Om”, yang berumur lebih pendek, namun sempat diadopsi sebagai bahasa kampanye kedua kubu.

Tidak hanya Anies-Sandi yang mempolitisir jomblo. Pada 2014 Ridwan Kamil meresmikan Taman Pasoepati yang lebih akrab disebut Taman Jomblo.

"Pada dasarnya, kami memahami perasaan para jomblo, dan populasinya ternyata sangat banyak di Bandung. Karena, itu saya fasilitasi. Daripada ngelamun atau galau ya, saya kasih tempat supaya bisa kumpul dengan sesamanya (jomblo).”

Demikianlah argumentasi Ridwan Kamil ketika diwawancarai Kompas setelah peresmian Taman Jomblo. Emil, demikian ia biasa disapa, memang sangat sering berbicara tentang jomblo. Dalam banyak kesempatan, jomblo digunakan Emil dalam kontes gurauan.

Lazimnya, taman menggunakan bangku-bangku panjang. Di Taman Jomblo yang terletak di kolong jembatan itu, yang dipasang adalah tempat duduk satuan—mungkin supaya siapapun yang duduk sendirian di situ tak terlalu terlihat nelangsa. Lain dari itu, tak ada bukti kuat mengapa taman tersebut masyhur dengan sebutan Taman Jomblo.

Ketika para politisi membicarakan jomblo dan mengklaim mampu mengangkat harkat dan martabat mereka dari hardikan orang, mereka sesungguhnya sedang berusaha bicara dengan anak muda. Pesannya adalah: “Aku paham apa yang dibicarakan dan dipikirkan anak muda. Maka akulah pemimpin yang tepat untuk kalian. Jadi pilihlah aku!”

Baca juga artikel terkait JOMBLO atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Zen RS