Menuju konten utama

Mengkritisi Rencana Pemerintah Ganti Honorer dengan Outsourcing

Ketum KASBI menilai mengganti honorer dengan outsourcing bukanlah solusi, melainkan melanggengkan praktik eksploitasi pekerja.

Seorang tenaga honorer bekerja di bagian hubungan masyarakat kantor Wali Kota Lhokseumawe, Aceh, Rabu (24/11/2021). ANTARA FOTO/Rahmad/wsj.

tirto.id - Rencana pemerintah menghapus tenaga honorer di pemerintahan mulai 2023 menuai kritik. Sebab, beberapa pekerjaan di instansi pemerintah, seperti petugas keamanan dan kebersihan akan dipenuhi dari tenaga alih daya melalui pihak ketiga atau pekerja outsourcing.

Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menyesalkan kebijakan pemerintah yang akan mengubah tenaga honorer di instansi pemerintah menjadi outsourcing.

Ia menilai pemerintah inkonsisten karena sebelumnya berencana menghapus outsourcing, tetapi justru melanggengkannya dengan mengganti tenaga kerja honorer dengan tenaga kontrak yang melibatkan pihak ketiga.

Pernyataan Nining ini merespons Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB) Tjahjo Kumolo yang menyebut tidak akan ada lagi tenaga honorer di pemerintahan mulai 2023. Sebagai gantinya, terdapat tenaga outsourcing sebagai alih daya melakukan tugas penunjang.

“Untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan-pekerjaan yang sangat basic, seperti cleaning service, security, dll; itu disarankan untuk dipenuhi melalui tenaga alih daya dengan beban biaya umum, dan bukan biaya gaji (payroll)” kata Tjahjo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (23/1/2022).

Politikus PDIP itu menuturkan, status pegawai pemerintah nanti hanya akan ada dua jenis, yaitu: Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau ASN dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Karena itu, kata Tjahjo, sejak 2005 hingga 2014, pemerintah telah mengangkat 1.070.092 tenaga honorer menjadi aparatur sipil negara (ASN). Pengangkatan itu bersamaan dengan rekrutmen CASN dari pelamar umum.

“Dalam kurun waktu yang sama [2005-2014], pemerintah hanya mengangkat 775.884 ASN dari pelamar umum,” kata Tjahjo.

Selain itu, penanganan tenaga honorer oleh pemerintah juga diperkuat dengan penerapan berbagai kebijakan, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 jo PP Nomor 43 Tahun 2007, yang diubah dalam PP Nomor 56 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS.

“Dalam PP tersebut, tertulis bahwa THK-II (Tenaga Honorer Kategori II) diberikan kesempatan untuk seleksi satu kali,” kata dia.

Hasilnya, dari 648.462 THK-II yang ada di database, terdapat 209.872 THK-II lulus seleksi dan 438.590 THK-II tidak lulus. Jadi, sisanya pada database 2012 sejumlah 438.590 THK-II, kata Tjahjo.

Eksploitasi Tenaga Kerja

Namun demikian, Ketua Umum KASBI Nining Elitos menilai, hal itu akan berdampak buruk untuk pekerja karena mereka tidak punya kepastian kerja. Seharusnya pemerintah menjamin kepastian kerja mereka, bukan malah membuat status mereka semakin tidak jelas.

Apalagi, kata Nining, selama ini tenaga kerja honorer masih banyak digaji ratusan ribu, bahkan di bawah rata-rata.

“Ini yang membuat cara berpikir pejabat ini terbalik, bagaimana kami prihatin pemerintah saat ini membuat kebijakan dari tenaga honorer harusnya jadi pekerja tetap yang diberikan kesejahteraan, tapi malah jadi outsourcing," kata Nining kepada reporter Tirto, Senin (24/1/2022).

Dengan adanya kebijakan tersebut, kata Nining, saat ini eksploitasi bukan hanya ada di sektor industri dan perusahaan swasta saja, tetapi lembaga negara juga telah melakukan hal serupa kepada pegawainya.

“Artinya, lembaga negara liberalisasi ini semakin memprihatinkan ke depan. Institusi yang memberikan pelayanan ke masyarakat, tapi malah mengeksploitasi. Jadi jangan pernah bermimpi tenaga kerja akan memberikan perbaikan,” kata dia.

Nining yang juga Juru Bicara Gerakan Buruh untuk Rakyat (Gebrak) itu menyatakan, perubahan status ini bukanlah solusi, melainkan mengekploitasi para pekerjanya yang dilanggengkan oleh negara.

“Jadi ini negara sama saja mengamini dan membiarkan adanya perbudakan manusia di atas manusia,” kata Nining.

Nining mendesak kepada pemerintah agar berhenti melahirkan kebijakan yang mengeksploitasi dan memperbudak manusia sesuai amanat konstitusi.

“Amanah konstitusi kita membebaskan manusia dari eksploitasi, perbudakan, kemiskinan. Kalau kemudian pemerintah kita seperti ini, apa bedanya dengan hidup di jaman penjajahan dengan sekarang? Bedanya sekarang penjajahan lebih modern saja,” kata dia menambahkan.

Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menilai, secara hukum kebijakan ini bermasalah dan berbahaya bagi tenaga kerja karena melepaskan tanggung jawab negara kepada pihak ketiga yakni outsourcing.

Pasalnya, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Ciptaker) berlaku untuk perusahaan outsourcing. Sedangkan tenaga kerja yang bekerja di pemerintahan terikat dengan Undang-Undang Kepegawaian.

“Mana mungkin lembaga negara bisa jadi lembaga perusahaan? Kan UU Ciptaker kontrak perusahaan dengan perusahaan, itu wilayahnya ketenagakerjaan di perusahaan, kan, definisinya di UU itu perusahaan dan buruh. Sedangkan mereka di lembaga, kan, bukan buruh, mereka pegawai yang terikat dengan UU Kepegawaian, jadi ada kerancuan dalam status hukum,” kata Isnur kepada reporter Tirto, Senin (24/1/2022).

Isnur mengatakan, tenaga kerja outsourcing akan semakin jauh dari pemenuhan haknya karena melakukan double kontrak kerja. Mereka kontrak kerja dengan kementerian/lembaga, tetapi juga dengan perusahaan outsourcing.

“Ini berbahaya, karena akan semakin jauh dari pemenuhan haknya,” kata Isnur.

Kemudian, kata Isnur, dengan adanya kebijakan tersebut akan menciptakan fleksibilitas pasar yang lebih luas lagi dan bakal melanggar hak asasi manusia (HAM) karena tidak ada kepastian hubungan kerja.

Nantinya, kata Isnur, akan ada ketimpangan fasilitas dan sarana prasarana yang diterima antara tenaga kerja outsourcing dengan pegawai yang bekerja di suatu kementerian/lembaga. Sebab, tenaga kerja outsourcing semakin jauh pemenuhan haknya.

Dampak buruk lainnya, kata Isnur, tenaga kerja dengan status outsourcing dapat menerima pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran.

“Orang itu tidak jelas kapan kerjanya, kapan di PHK, ditempatkan di mana, diberikan sanksi di mana. Itu bisa melanggengkan pelanggaran HAM dan pekerjaan yang layak, karena orang mudah dibuang,” kata dia.

Respons Kementerian PANRB

Saat dikonfirmasi ulang reporter Tirto apakah pegawai honorer pemerintah akan diganti dengan outsourcing, Plt. Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian PANRB Mohammad Averrouce mengaku pihaknya tidak ada yang berbicara seperti itu.

“Nggak ada yang bicara begini,” kata Everrouce kepada reporter Tirto, Senin (24/1/2022).

Everrouce menjelaskan saat ini sudah ada petugas kebersihan dan keamanan yang dipekerjakan oleh instansi pemerintah dengan model outsourcing.

Untuk tenaga honorer, kata Everrouce, Kementerian PANRB meminta agar mereka terus meningkatkan kapasitasnya sehingga sesuai mekanisme pengadaan CASN (CPNS dan PPPK) akan bisa lulus tes.

Mengingat waktu pegawai honorer yang akan berakhir hingga 2023, kata dia, Kemen-PANRB selama dua tahun ini akan mendorong kementerian/lembaga/pemda untuk melakukan perhitungan analisis jabatan dan beban kerja secara komprehensif sehingga didapat kebutuhan yang obyektif.

“Sejalan dengan ini, dua tahun ini diharapkan dilakukan penguatan kapasitas terhadap tenaga honorer yang ada, sehingga bisa semakin meningkat kapasitasnya untuk mengikuti seleksi CASN yang dilaksanakan,” kata dia.

Baca juga artikel terkait TENAGA HONORER atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz
-->