Menuju konten utama

Mengkritik Penguasa dengan Menyerukan Golput di Depan Istana

Sekelompok orang menggelar mimbar bebas di depan Istana, Kamis (21/2/2019) lalu. Mereka bicara rasionalisasi golput, dari aspek hukum dan politik.

Mengkritik Penguasa dengan Menyerukan Golput di Depan Istana
Petugas sortir dan lipat surat suara menunjukan surat suara yang terdapat kerutan di surat suara Pilpres, di Gudang Logistik KPU Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa(19/2/2019). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/pd.

tirto.id - Kata golput alias golongan putih makin sering didengar seiring semakin dekatnya hari Pemilihan Umum 2019. Narasi umum yang kerap kedengaran adalah bahwa golput merupakan tindakan tak bertanggung jawab.

Para politikus seperti Mahfud MD menyerukan agar menghindari golput karena "pesta demokrasi itu menyenangkan." Bahkan penghibur macam Kaka Slank pun menyerukan hal serupa. Sebab, katanya, "suara lu berpengaruh.

Begitu pula dengan dua kubu yang saling berkompetisi: Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.

Joko Widodo bahkan memasukkan golput sebagai "ancaman faktual." Ini tertulis dalam Instruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Bela Negara Tahun 2018-2019 (PDF, hlm. 31).

Tapi sekelompok orang melawan arus. Bertempat di Taman Aspirasi, Jakarta Pusat, persis di depan Istana, Kamis (21/2/2019) lalu, mereka membuat acara "Mimbar Ekspresi: Saya Golput." Mereka bicara kenapa memilih berposisi demikian.

Orang-orang ini, yang jumlahnya kira-kira 20, mengaku tidak mewakili instansi apa pun, termasuk organisasi non-pemerintah.

Mirza (35) adalah salah satu peserta yang bersuara di atas mimbar. Dia menyinggung soal lesser evil--memilih yang buruk dari yang terburuk; alasan banyak orang kenapa akhirnya memilih Jokowi pada Pilpres 2014.

Bagi dia, alasan ini sekarang sudah basi.

"Yang ditakutkan ketika Prabowo menang pada 2014 justru kejadian dengan sangat gamblang [di era Jokowi]. UU ITE korbannya makin banyak, konflik agraria ada, pembangunan yang sangat meminggirkan rakyat, sampai dwi-fungsi ABRI," kata Mirza. Suaranya nyaring terdengar di pengeras suara.

"Kedua capres, terlepas dari komentar masing-masing timses, tidak kompeten untuk dipilih," imbuhnya.

Salah satu penggagas mimbar bebas, Galesh (38), mengatakan kenapa mereka akhirnya memproklamirkan gerakan golput. Menurutnya tak ada yang salah dari itu secara legal-formal, dan yang paling rasional hidup di sistem politik yang bobrok memang memilih untuk tidak memilih.

"Golput dijamin UUD. Jadi kita bebas mau tidak memilih. Ini pilihan politik," kata Galesh.

Yang dimaksud Galesh adalah UUD 45 Pasal 28 E yang berbunyi "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali". Kata "bebas", ujar Galesh, menjamin warga negara untuk memilih maupun tidak memilih alias golput.

Undang-Undang Pemilu pun tak melarang orang golput. Yang dilarang adalah, seperti yang dinyatakan pada Pasal 515, adalah menghalangi orang sehingga dia kehilangan hak pilihnya. Misalnya ketika bos memaksa karyawannya bekerja sejak pagi pada hari pencoblosan sehingga ia tak sempat ke TPS.

Solusi?

Kelompok ini tak sekadar mengkritik. Mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan hari ini tidak lantas, misalnya, membuat Indonesia lebih baik.

"Memang golput ini bukan solusi satu kali pemilu. Ces! Pleng! Terus semua masalah selesai. Tidak. Ada proses terus-menerus," tambah Galesh.

Salah satu yang ia soroti adalah sulitnya membangun partai politik sendiri sehingga saat ini partai-partai hanya diisi elite yang punya modal.

"Kita semua tahu, partai-partai yang ada sekarang jauh dari kepentingan rakyat banyak."

Maka ia menyarankan agar pendirian partai dipermudah. Saat ini untuk mendirikan partai, harus ada perwakilan (pengurus) di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan.

Agar partisipasi masyarakat lebih terakomodir, katanya, pemerintah dan legislatif harus membuka ruang bagi partai-partai lokal, yang dalam sistem hukum sekarang tidak dimungkinkan kecuali di Aceh.

Partai lokal, kata Galesh, akan jauh lebih sanggup 'menangkap' aspirasi masyarakat.

Ia juga menyoroti sulitnya calon independen untuk kepala daerah. Dalam sistem hukum sekarang, yaitu lewat Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah, calon independen harus mengumpulkan surat dukungan di tingkat kelurahan dan kecamatan sesuai jumlah syarat minimum.

"Biaya materai di surat dukungan saja bermiliar-miliar. Siapa yang sanggup kecuali yang biayai oligark dan partai-partai?" imbuh Gales.

Seharusnya, katanya, syarat-syarat pencalonan dipermudah.

Setelah mimbar, kelompok ini akan membuat acara-acara lanjutan yang pada intinya mengkampanyekan bahwa gerakan golput itu adalah hak dan tak melanggar aturan apa pun.

"Nanti kami mau bikin Frequently Ask Question tentang golput dulu buat disebar," pungkas Gales.

Infografik CI golput

Infografik CI golput

Golput Sebagai Peringatan

Faktanya angka golput memang terus meninggi sejak reformasi. Menurut Sri Yuniarti dalam artikel yang tayang di Jurnal Penelitian Politik LIPI (Vol 6, No 1, 2009), orang golput karena "kecewa terhadap lembaga-lembaga politik yang ada, baik parlemen maupun partai politik."

Pakar pemikiran dan kelembagaan politik LIPI, Mochtar Pabottingi, punya pendapat serupa: bahwa golput adalah gerakan kritik. Meski demikian ia berhenti sampai situ dan tidak mampu menawarkan perubahan konkret.

"Ia [golput] sebatas peringatan kepada penyelenggara negara, bahwa tampillah secara berkualitas, bersungguh-sungguh," ujar Mochtar di Jakarta Pusat.

Paling banter, golput bisa mendelegitimasi pemerintahan terpilih. Itu pun dengan syarat gerakannya masif--sesuatu yang belum terjadi sekarang.

Pada akhirnya, pada Pilpres 2019, Mochtar melihat konsep lesser evil adalah pilihan politik yang paling masuk akal.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Mulia Ramdhan Fauzani

tirto.id - Politik
Reporter: Mulia Ramdhan Fauzani
Penulis: Mulia Ramdhan Fauzani
Editor: Rio Apinino