Menuju konten utama
Fungsi Kepala Daerah

Mengkaji Usulan Muhaimin soal Penghapusan Jabatan Gubernur

Wacana penghapusan kursi gubernur akan berdampak pada penghapusan lembaga setingkat, salah satunya DPRD provinsi.

Mengkaji Usulan Muhaimin soal Penghapusan Jabatan Gubernur
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyampaikan pidato pada acara PKB Road To Election 2024 di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, Minggu (30/10/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

tirto.id - Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar mengeluarkan usulan kontroversial. Ia mewacanakan agar pemerintah menghapus jabatan gubernur. Salah satu alasannya untuk efisiensi anggaran karena fungsi gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat sehingga hal itu membuat pemerintahan tidak berjalan efektif.

“Di sisi yang lain gubernur ngumpulin bupati sudah tidak didengar karena gubernur ngomong apa saja bahasanya sudah sama. Lebih baik dipanggil menteri ya, ini dipanggil gubernur gitu. Alasannya tidak efektif sehingga lebih baik posisi gubernur adalah posisi perpanjangan tangan pemerintah pusat berarti sifatnya administratur,” kata pria yang akrab disapa Cak Imin itu kepada wartawan, Selasa (31/1/2023).

Cak Imin menilai, jabatan gubernur sebaiknya tidak perlu dipilih langsung. Lebih baik, kata dia, jabatan gubernur dilakukan oleh dirjen atau direktur dari Kementerian Dalam Negeri. “Misalnya administrator NTB dari pejabat kementerian sehingga efisien. Karena ini ya usulan yang agak revolusioner,” kata Muhaimin.

Muhaimin yang juga Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menilai Pemilu 2024 bisa menjadi akhir. DPR tinggal menyiapkan undang-undang.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera meminta gagasan tersebut untuk dikaji sebelum diekskeusi. Berbeda dengan Cak Imin, Mardani lebih sepakat otonomi kabupaten kota ditarik ke provinsi.

“Jadi gubernurnya ada, tapi kayak DKI atau Yogyakarta, satu provinsi itu 6-8 kabupaten kota karena beberapa kasus otonomi di kabupaten kota ada raja kecil yang akhirnya politik dinasti,” kata Mardani.

Mardani menilai, keberadaan dinasti lantas memicu sulitnya kenaikan indeks pertumbuhan manusia (IPM). Oleh karena itu, ia meminta agar gagasan penghapusan kursi gubernur perlu dilihat secara utuh, apalagi pemerintah sudah punya desain otonomi daerah.

Di sisi lain, wacana yang dilontarkan Muhaimin akan memicu revisi regulasi lain, seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) Adinda Tenriangke Muchtar mengakui bila usulan Muhaimin adalah gagasan revolusioner. Akan tetapi, ide Cak Imin itu justru menjadi titik awal untuk merefleksikan pelaksanaan otonomi darerah di Indonesia.

“Saya mencoba melihatnya seperti ini (revolusioner) karena bukan hanya sekadar akan mereformasi birokrasi, tapi ini berarti akan mendorong juga review atau revisi terhadap undang-undang pemerintahan daerah kita,” kata Adinda kepada reporter Tirto, Rabu (1/2/2023).

Adinda beralasan, pemerintah Indonesia telah menjalankan konsep pemerintahan daerah dengan penedekatan otonomi daerah. Kala itu, esensi konsep pemerintahan daerah dengan munculnya kabupaten dan kota serta konsep desentralisasi adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada rakyat.

“Kan memang pertanyannya adalah ketika ada jabatan gubernur, ketika ada jabatan kepala daerah, ketika ada kepala daerah di tingkat kabupaten kota, itu kan sebenarnya termasuk pemekaran daerah. Ya itu sebenarnya semangat untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat,” kata Adinda.

“Jadi yang me-review itu bukan sekadar menghapus satu jabatan ya, tapi me-review bagaimana kita menjalankan otonomi daerah di Indonesia. Seberapa efektif sih gubernur itu ketika menjalankan fungsi-fungsi yang merupakan perpanjangan atau perwakilan pemerintah pusat di daerah itu,” kata Adinda.

Sementara dari sisi manajemen kebijakan publik, kata dia, penghapusan kursi gubernur akan mengurangi biaya politik. Selain itu, koordinasi pemerintah juga akan lebih mudah karena pemerintah pusat langsung berkoordinasi dengan kabupaten/kota secara langsung. Pemerintah juga bisa mencari kandidat terbaik lewat seleksi terbuka seperti jabatan publik lainnya.

Kalau Jabatan Gubernur Dihapus, DPRD Provinsi Juga

Akan tetapi, kata Adinda, segala kebijakan tentu ada konsekuensi. Sebagai contoh, penghapusan kursi gubernur akan berdampak pada penghapusan lembaga setingkat gubernur lain seperti DPRD. Kemudian, pemerintah juga harus menghitung besaran anggaran yang akan diberikan kepada pejabat seperti dirjen yang menjadi pengganti kepala daerah.

Lalu, apakah kebijakan ini menguntungkan atau merugikan rakyat? Adinda mengembalikan semua kepada konteks setiap provinsi. Ia mengingatkan bahwa akuntabilitas pemerintahan menjadi tuntutan publik kepada seorang pejabat.

Pemerintahan yang lebih akuntabel, inklusif, partisipatif akan membuat publik semakin tertarik. Ia pun mengingatkan pemerintahan daerah tingkat provinsi tidak serta-merta buruk karena keberadaan gubernur.

“Saya pikir ini bukan persoalan semata di provinsi atau gubernur ya, tapi di tata kelola pemerintahan dan manajemen kebijakan publik serta political will pemimpin. Kalau tidak yang terjadi bisa saling sandera karena seharusnya sinergi dan kooperatif (serta) saling back up,” kata Adinda.

Hal senada diungkapkan analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah. Ia menilai positif gagasan penghapusan kursi gubernur. Sebab, kata dia, posisi gubernur saat ini minim kontribusi bagi pengembangan daerah.

“Sebenarnya jabatan gubernur saat ini minim kontribusi terhadap pembangunan dan aktivitas politik pun di tingkat provinsi sama minimnya, artinya gagasan Muhaimin menghapus jabatan gubernur layak diapresiasi bahkan ditambah dengan penghapusan DPRD provinsi,” kata Dedi, Rabu (1/2/2023).

Dedi menambahkan, kondisi daerah saat ini ditopang oleh kerja kabupaten kota. Penghapusan kursi gubernur justru sebagai hal progresif. Terlepas kritik yang disampaikan Muhaimin yang juga ketua umum partai, tinjauan politik dan sosial memang layak dihapus.

Ia mencontohkan bagaimana tidak sedikit warga mengalami masalah dalam mendapatkan bantuan akibat keberadaan gubernur dan DPRD, sehingga kritik penghapusan jabatan gubernur dan DPRD provinsi sudah lama berlangsung.

“Beban kerja terbesar dan efisien ada di tingkat kabupaten kota sehingga jika parpol punya inisiatif hapus jabatan gubernur dan dewan provinsi itu, penanda kemajuan bagi iklim politik kita,” kata Dedi.

Dedi menyarankan jabatan gubernur sebaiknya hanya untuk provinsi khusus seperti ibu kota negara. Akan tetapi, Dedi lebih mendukung jika semua jabatan setingkat gubernur dihapus, apalagi tidak sedikit pembangunan justru diinisiasi dari pusat. Bahkan, kata Dedi, untuk daerah istimewa sekalipun seperti Aceh dan Yogyakarta, jabatan Gubernur seolah hanya sekadar untuk pengisian kekuasaan di daerah.

“Rasionalisasinya, kebijakan di provinsi di luar daerah khusus ibu kota, porsinya lebih banyak hanya jalankan kebijakan nasional. Kita bisa periksa, distribusi anggaran di daerah provinsi justru di dominasi untuk hibah, bukan belanja daerah yang berimbas pembangunan. Artinya, statement Muhaimin banyak memiliki dukungan argumentasi," kata Dedi.

Sedangkan analis politik dari Indostrategi, Arif Nurul Imam menilai, usulan Muhaimin tidak bisa sembarangan dilakukan. Ia sebut, gagasan tersebut adalah realita, tetapi tetap perlu kajian.

Imam beralasan, ada nilai positif bagi parpol di mana mereka akan hemat biaya politik dan rakyat akan menerima benefit lantaran anggaran pemerintah tidak boros. Namun, ia tetap mendorong agar ada kajian.

“Pendapat itu perlu dikaji soal baik buruknya bagi rakyat. Memang ada benarnya fungsi administrasi tapi saya kira ada fungsi koordinasi. Sebaiknya dikaji mendalam terlebih dahulu,” kata Imam kepada Tirto, Rabu (1/2/2023).

Baca juga artikel terkait GUBERNUR atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz