Menuju konten utama

Mengkaji Dampak Kebijakan Larangan Ekspor CPO & Minyak Goreng

Piter menilai kebijakan larangan ekspor CPO dan minyak goreng ini tidak akan menurunkan harga migor secara tajam.

Mengkaji Dampak Kebijakan Larangan Ekspor CPO & Minyak Goreng
Presiden Joko Widodo membagikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) subsidi minyak goreng di Pasar Rakyat Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (21/4/2022). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc.

tirto.id - Mengenakan kemeja putih. Presiden Joko Widodo tampil duduk. Jokowi secara tegas melarang kegiatan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak goreng. Kebijakan ini berlaku efektif mulai 28 April 2022 mendatang.

Pengumuman larangan ekspor itu, diputuskan Kepala Negara usai rapat pemenuhan kebutuhan pokok rakyat bersama para pembantunya. Salah satu yang menjadi sorotan adalah masalah minyak goreng.

“Saya putuskan pemerintah melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis, 28 April 2022," tegas Jokowi usai rapat tersebut pada Jumat (22/4/2022).

Jokowi mengatakan, larangan ini akan berlaku hingga batas waktu yang ditentukan kemudian oleh pemerintah. Ia juga memastikan, kebijakan pelarangan ekspor akan terus dikaji pemerintah dan berakhir setelah ketersediaan minyak goreng mencukupi.

"Saya akan terus memantau dan mengevaluasi kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau," ucap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Mantan Anggota Komisioner Ombudsman RI periode 2015-2019, Ahmad Alamsyah Saragih melihat, larangan eskpor secara menyeluruh lazim dilakukan ketika terjadi kelangkaan masif dan peningkatan harga dalam negeri. Namun kebijakan tersebut bersifat temporer dan berada di bawah rezim perang dagang atau trade war, bukan rezim proteksi.

“Kita tidak jelas mau taruh di trade war, kita mau perang dengan siapa? Masa perang di dalam negeri sendiri. Kemudian kalau dibilang proteksi apakah harus dengan total melarang ekspor tersebut?" kata Alamsyah, dalam diskusi publik Indonesia dan Minyak Goreng: Ironi Negara Produsen Sawit Terbesar, Senin (25/4/2022).

Ia menilai, kebijakan larangan ekspor ini diambil oleh pemerintah akibat berbagai kebijakan dilakukan selama ini tidak juga berhasil dan tak ada perubahan. Sehingga salah satu jalan pintasnya adalah megambil tindakan ekstrem. Melarang ekspor.

Berdasarkan catatan redaksi Tirto, beberapa kebijakan pemerintah sudah digulirkan untuk menekan harga hingga mengatasi kelangkaan minyak goreng. Pada saat itu, Kementerian Perdagangan mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit.

Dalam beleid itu, pemerintah mengatur mengenai HET minyak goreng curah Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.500 per liter.

Sementara dalam aturan pengganti, yaitu Permendag Nomor 11 tahun 2022, HET minyak goreng curah ditetapkan Rp14.000 per liter atau naik Rp2.500 per liter dari aturan sebelumnya. Sedangkan untuk harga minyak goreng kemasan premium diserahkan kepada mekanisme pasar.

Tak hanya itu, pemerintah bahkan memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng sebesar Rp300 ribu untuk tiga bulan (April-Juni) kepada masyarakat miskin. Pemberian itu dilakukan sebagai respons menghadapi kenaikan harga minyak goreng akibat meningkatnya minyak sawit di pasar internasional.

"Jadi ini kemungkinan karena kekesalan policy maker tidak juga berhasil ada perubahan, maka kemudian diambil tindakan ekstrem," jelasnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menambahkan, seharunya pemerintah berhati-hati ketika ingin mengimplementasikan kebijakan larangan ekspor tersebut. Kebijakan ini dianggap mengulang kesalahan ketika menyetop ekspor batu bara pada Januari 2020.

"Kalau hanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri, tidak perlu setop ekspor. Ini kebijakan yang mengulang kesalahan. Apakah masalah selesai? Kan tidak," kata Bhima kepada reporter Tirto, Senin (25/4/2022).

Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah memperkirakan, kebijakan larangan ekspor ini tidak akan menurunkan harga minyak goreng secara tajam. Menurutnya harga minyak tetap akan mahal karena mengikuti tren harga global saat ini tengah melonjak.

"Kalaupun ada penurunan tidak akan besar," kata Piter dihubungi terpisah.

Piter mengatakan, dampak negatif kebijakan ini akan lebih banyak dirasakan oleh para petani sawit dan pengusaha CPO kelas menengah bawah. Sebab mereka tidak bisa menyimpan hasil produksinya.

"Apabila kebijakan ini dilakukan dalam jangka panjang mereka yang akan sangat terpukul mengalami kerugian besar. Dan saya yakin akan muncul kegaduhan," jelasnya.

Kondisi ini justru berbalik dengan pengusaha-pengusaha besar. Di mana mereka sebagian besar memiliki tempat penyimpanan atau storage untuk bertahan. Kalaupun kehilangan kesempatan keuntungan untuk ekspor ataupun mereka rugi, paling tidak mereka bisa bertahan.

"Sebaiknya pemerintah segera meninjau kebijakan ini sebelum dampak negatifnya yang lebih banyak muncul," ujarnya.

Negara Kehilangan Devisa Ekspor

Di sisi lain, Bhima justru melihat efek dari pelarangan ekspor CPO ini bakal merugikan Indonesia. Sebab pemerintah akan kehilangan devisa dari hasil ekspor komoditas tersebut.

Berdasarkan catatan Bhima, pada Maret 2022 ekspor CPO nilainya mencapai 3 miliar dolar AS. Jika larangan ini dilakukan selama kurun waktu satu bulan penuh, maka negara akan kehilangan devisa sebesar Rp43 triliun. Di mana angka itu setara 12 persen dari total ekspor nonmigas.

"Ini bisa ganggu stabilitas rupiah juga karena devisa ekspornya terganggu," imbuhnya.

Belum lagi, kata Bhima, jika larangan ini efektif dilakukan kapasitas industri di dalam negeri tidak sanggup menyerap kelebihan pasokan CPO. Sehingga hal ini berdampak terhadap kelebihan pasokan atau over supply.

Mengutip data Indeks Mundi, tahun lalu produksi minyak sawit Indonesia mencapai sebanyak 44,5 juta ton. Sementara merujuk data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) angkanya lebih besar lagi, yakni tembus 46,8 juta ton. Dari total tersebut, kebutuhan dalam negeri untuk penggunaan minyak goreng hanya sekitar 10 persennya saja.

“Penggunaan untuk minyak goreng hanya 5-6 juta ton alias 10 persennya. Sisanya mau disalurkan kemana kalau setop ekspor?" kata Bhima mempertanyakan.

Di samping itu, Bhima khawatir kebijakan larangan ekspor CPO ini akan menimbulkan gelombang protes dari negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Apalagi, India, Cina, dan Pakistan merupakan tiga negara importir CPO terbesar dari dalam negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor CPO ke Negeri Tirai Bambu tersebut mencapai 4,55 miliar dolar AS sepanjang Januari-November 2021 lalu. Nilai tersebut mencapai 17,47 persen dari total nilai ekspor minyak sawit Indonesia.

Negara tujuan ekspor CPO terbesar berikutnya adalah India, yakni sebesar 3,11 miliar dolar AS (11,96 persen). Diikuti Pakistan sebesar 2,46 miliar dolar AS "[Mereka] merasa dirugikan dengan kebijakan ini," imbuh Bhima.

Ia menyebut, adanya larangan ekspor CPO dari Indonesia otomatis membuat biaya produksi manufaktur maupun harga barang konsumsi di tiga negara tersebut akan naik signifikan. Indonesia dalam hal ini akan disalahkan.

"Dalam kondisi terburuk bisa timbulkan retaliasi atau pembalasan yakni negara yang merasa dirugikan setop mengirim bahan baku yang dibutuhkan Indonesia. Fatal itu," jelasnya.

Di sisi lain, Bhima melihat kebijakan ini justru akan menguntungkan negara tetangga seperti Malaysia. Sebab, Malaysia sendiri merupakan pesaing Indonesia dalam urusan CPO. "Sekaligus [menguntungkan] negara lain yang produksi minyak nabati alternatif seperti soybean oil, rapseed oil dan sunflower oil yakni AS dan negara di Eropa," jelas Bhima.

Atas dasar itu, ia menyarankan agar pemerintah sebaiknya mengembalikan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) CPO 20 persen, ketimbang melarang kegiatan ekspor CPO. Sebab, pasokan 20 persen dari total ekspor untuk kebutuhan minyak goreng sudah lebih dari cukup.

"Sekali lagi tidak tepat apabila pelarangan total ekspor dilakukan. Selama ini problem ada pada sisi produsen dan distributor yang pengawasan-nya lemah," ujar Bhima.

Respons Pengusaha Sawit

Sementara itu, Ketua Bidang Komunikasi GAPKI, Tofan Mahdi mengatakan, pihaknya mendukung setiap kebijakan pemerintah terkait sektor kelapa sawit. Namun, pihaknya juga akan memonitor perkembangan di lapangan setelah berlakunya kebijakan tersebut.

"Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan dalam mata rantai industri sawit untuk memantau dampak kebijakan tersebut terhadap sektor keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit," kata Tofan dalam pernyataannya.

Ia mengatakan, jika kebijakan ini membawa dampak negatif kepada keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit, maka pemerintah harus mengevaluasi kebijakan tersebut. "[Jika negatif] kami akan memohon kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut," katanya.

Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (DPP IKAPPI) justru mendorong pengusaha agar dapat menyalurkan minyak goreng ke pasar-pasar tradisional. Terlebih harga minyak goreng saat ini masih pada kisaran Rp20.000 dan keberadaannya masih jarang di pasar tradisional.

"Langkah ini diharapkan dapat memperbanyak minyak goreng curah di pasar tradisional," kata Ketua Umum DPP IKAPPI, Abdullah Mansuri melalui keterangan tertulisnya.

Menurutnya, semakin banyak minyak goreng berada di pasar tradisional, maka akan semakin tertekan harga jual. Sebab, disparitas harga yang cukup tinggi antara minyak goreng curah dengan minyak goreng kemasan maka diharapkan minyak goreng curah dapat menekan minyak goreng kemasan di pasar.

IKAPPI pun mengimbau kepada semua pihak untuk bersama-sama mengawasi proses distribusi sehingga pelaksanaan bisa berjalan dengan baik tanpa ada pihak-pihak yang memanfaatkan minyak goreng curah untuk kepentingan sesaat.

Selain itu, IKAPPI juga mendesak pemerintah agar tidak hanya minyak goreng saja, tetapi juga beberapa komoditas lain seperti daging, gula pasir, ayam, bawang merah dan bawang putih untuk bisa berada di pasaran sebagaimana mestinya.

"Fase ini cukup tinggi harganya maka kita harus bersama-sama mengupayakan agar pelaksanaan distribusi dan penyaluran bahan pangan di titik-titik pasar tradisional dapat berjalan dengan baik," kata dia.

Wakil Ketua DPR RI Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra), Abdul Muhaimin Iskandar menilai, larangan ekspor ini menunjukkan negara punya teori dan jalan keluar ekonomi. Sehingga pengusaha mau tidak mau harus tunduk dan tidak main-main.

Pria yang akrab disapa Cak Imin ini mengatakan, larangan ekspor minyak goreng beserta CPO ini juga memiliki risiko intervensi pasar. Namun lebih lanjut, pengusaha harus meningkatkan kepentingan dalam negeri sebagaimana keinginan pemerintah.

“Tapi pemerintah tahu, pengusaha CPO sudah banyak untungnya. Itu harus fair dong. Pengusaha sudah terlalu banyak tanah yang dipakai jadi sawit, untungnya sudah berlipat-lipat, masa mikirin negara saja tidak mau,” kata dia dalam pernyataannya.

Ketua Umum DPP PKB ini pun mengajak seluruh pihak yang terlibat untuk mendukung kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan CPO, yang sebelumnya sudah resmi diumumkan oleh Presiden Jokowi dan mulai berlaku Kamis mendatang.

“Ayolah kita bangun negara ini dengan membatasi impor. Membatasi impor juga tidak membatasi, ya sudah larangan impor. Ini harus didukung,” kata Cak Imin.

Baca juga artikel terkait LARANGAN EKSPOR atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz