Menuju konten utama

Mengiris Tangan, Sakiti Diri: Bisa Jadi Anak Depresi

Rasa sakit fisik adalah salah satu media pengalihan depresi.

Mengiris Tangan, Sakiti Diri: Bisa Jadi Anak Depresi
Ilustrasi anak depresi [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Orangtua Putra—bukan nama sebenarnya—sempat syok lantaran anaknya dinyatakan positif benzodiazepin. Putra menjadi salah satu dari 55 pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) 18 Pekanbaru, Riau, yang dikabarkan menyayat tangannya dengan benda tajam, awal bulan Oktober lalu. Badan Narkotika Nasional (BNN) sempat mengabarkan adiksi zat benzodiazepin sebagai penyebab perilaku para pelajar tersebut.

Sehari-hari Putra tergolong anak cerdas, bahkan ia sudah mampu mendulang uang jajan sendiri dari aktivitas jual-beli akun media sosial. Diceritakan oleh Sitti Hikmawatty, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Kesehatan dan NAPZA, selepas pelajaran, Putra kerap bermain di warung internet (warnet) dekat sekolah, mengarungi hobi dan bisnis dunia mayanya.

Sambil berselancar, ia sering memesan ragam camilan dan minuman manis yang dijual di sekitar sekolah. Salah satunya adalah minuman manis berwarna kuning terang bernama “Torpedo”. Minuman inilah yang sempat disebut BNN mengandung benzodiazepin. Pada awal mencuatnya berita, BNN mengungkap terdapat pelajar yang mengonsumsi Torpedo hingga 2-4 kali dalam sehari.

Dari hasil wawancara dengan BNN, para siswa merasa sensasi segar dan ketagihan selepas mengonsumsi minuman berenergi itu. Pada pelajar yang mengonsumsi Torpedo lebih dari dua kali dalam sehari, tes urine menyatakan mereka positif zat benzo. Laman WebMD menyebut benzodiazepin sejenis obat penenang, pada dosis normal ia berfungsi untuk meredakan kecemasan dan insomnia.

Setelah kasus ini mencuat, beberapa lembaga advokasi anak, termasuk KPAI melakukan peninjauan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga tak luput melakukan uji laboratorium. Hasilnya, Torpedo negatif mengandung Benzo, bahkan izin edarnya pun masih ada. Bahkan, dari 55 pelajar, hanya kurang dari setengahnya yang pernah mengonsumsi Torpedo. Aksi mereka murni dipicu rasa penasaran dan tantangan.

“Beberapa dari mereka juga tidak menggores sendiri tangannya, tapi digores oleh temannya karena kebetulan lewat atau berada di lokasi tersebut,” terang Sitti kepada Tirto.

Dilansir laman Radio Republik Indonesia (RRI), motif menyilet tangan yang dilakukan para pelajar dipicu oleh sebuah video di Whatsapp. LF, salah satu pelajar yang ikut melakukan aksi menggores tangan mengaku video tersebut sudah tersebar luas tak hanya di kalangan pelajar sekolahnya, tapi juga sekolah lain. Sitti kemudian mengafirmasi pernyataan LF dengan keterangan tambahan bahwa LF depresi karena permasalahan keluarga.

“Sering dimarahi orangtua, makanya saya lampiaskan dengan melukai tangan pakai jarum,” katanya, seperti ditulis RRI. LF telah dua kali melakukan aksi menggores tangannya tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Permasalahan serupa juga terjadi di Surabaya Pada pertengahan September 2018 lalu. Bedanya, aksi kali ini dilakukan dilakukan hanya oleh pelajar putri. Hasil tes yang dilakukan pada 56 siswi di sebuah SMP negeri di Surabaya itu juga negatif narkoba.

Setelah Walikota Surabaya, Tri Rismaharini memerintahkan pendampingan, diketahui terdapat motif serupa kasus di Pekanbaru, Riau. Para siswi mengaku mengalami tekanan batin akibat masalah asmara, keluarga, hingga tertantang mengikuti tren.

Alasan Tren Berbahaya Digandrungi

Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi tren berbahaya seperti menggores tangan ini dilakukan oleh anak dan remaja. Penelitian Sonja A. Swanson dan Ian Colman pada 2013 menyebut bahwa tren negatif dapat menular antar-anak.

Mereka mengamati 8766 remaja berusia 12–13 tahun, 7802 berusia 14–15 tahun dan 5496 berusia 16–17 tahun. Peneliti menyimpulkan paparan bunuh diri dapat memiliki efek "menular" terutama pada kelompok remaja 12 hingga 13 tahun. Lebih dari 13 persen kasus bunuh diri remaja memiliki keterikatan dalam satu kelompok sosial yang sama.

Alasan lain anak dan remaja melakukan hal berbahaya itu adalah untuk menyingkirkan stres atau depresi. Rasa sakit fisik mengalihkan sementara rasa sakit mental yang mereka derita. Data dari NHS Digital, yang diperoleh Guardian menunjukkan jumlah anak usia 3-9 tahun di Inggris yang melakukan aksi menyakiti diri sendiri meningkat 27 persen dari 2012-2017.

Kelompok usia ini juga mendapat persentase peningkatan 13 persen hanya pada periode 2016-2017 pada aksi lompatan berbahaya. Di periode yang sama, 107 anak kelompok usia tersebut dirawat di rumah sakit karena menyakiti diri sendiri. Ada banyak anak berusia mulai dari tiga tahun yang menggosok kulit menggunakan karet, membenturkan kepala ke dinding, mencabut rambut, menggigit, menggaruk, dan menampar diri sendiri.

“Semua mereka lakukan agar merasa lega,” kata Suzanne Skeete, seorang pekerja kesehatan mental kepada Guardian.

infografik depresi anak

Anak dan remaja juga kurang memiliki kesiapan mental untuk mengolah banyaknya informasi di internet. Emosi yang tak stabil, penuh tekanan emosional, dan ragam konflik remaja membuat mereka mudah terjebak paparan negatif internet. Aksi menyakiti diri dijadikan media penyaluran, berkembang dengan manipulasi serta memainkan emosi anak dan remaja.

Alasan terakhir, anak dan remaja seringkali ingin dipandang “mampu” dan pemberani. Menerima tantangan dari kelompok sosialnya artinya memberi klaim pencapaian. Ada dua tipe anak yang berpeluang terjerat, yakni anak tipe pemberani/petualang dan tipe yang sering diejek sebagai "pecundang". Kelompok terakhir seringkali merasa menemukan teman ketika menerima tantangan mengerikan itu.

Perilaku menyakiti diri sendiri dapat dihindari apabila komunikasi antar-keluarga berjalan dengan baik. Dokter spesialis kejiwaan, Shelly Iskandar, SpKJ, menyatakan orangtua perlu memberi situasi nyaman dan aman di rumah. Mereka juga harus kooperatif, memberikan dukungan dan terapi kejiwaan kepada anak dan remaja yang terlanjur mengalami depresi.

“Orangtua yang berperilaku baik, peluang anaknya terkena gangguan depresi pasti lebih kecil,” katanya.

Selain orangtua, sekolah juga berperan mendeteksi secara dini dan memberikan pendidikan cara menghadapi stres. Anak didorong untuk memiliki kemampuan dan keberanian menentukan pilihan, mengatakan “tidak” pada kelompok sosialnya bila dirasa merugikan.

Pada akhirnya, tetap saja peran orangtua menjadi penting dalam hal pengawasan kepada anak dan remaja. Terutama ketika mereka berhadapan dengan arus teknologi dan informasi dalam internet. Penting mengecek saluran aktivitas maya mereka, memantau perubahan perilaku, dan selalu menyediakan waktu khusus untuk bertukar cerita.

Baca juga artikel terkait DEPRESI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani