Menuju konten utama

Mengingat Kembali Peran Boediono dalam Kasus Bank Century

Di surat dakwaan atas Budi Mulya, nama mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono disebutkan sebanyak 44 kali pada dakwaan primer.

Mengingat Kembali Peran Boediono dalam Kasus Bank Century
Mantan Wakil Presiden Boediono berjalan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta, Kamis (27/12/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan sudah memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kembali menyidik kasus pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Sejumlah nama yang diduga terlibat dalam kasus ini harus diproses KPK dengan penyematan status tersangka.

Dalam surat dakwaan atas terdakwa (kini terpidana) Budi Mulya yang merupakan mantan deputi gubernur Bank Indonesia (BI), nama mantan Gubernur BI Boediono disebutkan sebanyak 44 kali dalam dakwaan primer. Selain Boediono ada nama mantan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Swaray Goeltom 26 kali, dan mantan Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad disebut sebanyak 27 kali.

Apa peran Boediono dalam kasus ‘penyelamatan’ Bank Century ini?

Mengubah Peraturan BI untuk Syarat FPJP Century

Saat Bank Century mengalami kesulitan likuiditas sekitar Oktober 2008, Boediono menjabat sebagai Gubernur BI. Dalam kasus tersebut, peran Boediono mulai tampak saat membalas catatan nomor 10/7/GBI/DPB1/Rahasia tertanggal 30 Oktober 2008 yang dilayangkan Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1 (DPB1) Zainal Abidin terkait pengajuan repo aset yang diajukan Bank Century.

Boediono memberikan arahan kepada Siti Fadjriah selaku Deputi Gubernur bidang enam Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah untuk membuat disposisi yang berisi: “Sesuai pesan GBI (Gubernur Bank Indonesia) 31/10 masalah Bank Century harus dibantu & tidak ada bank gagal untuk saat ini, karena bila hal ini terjadi akan memperburuk perbankan & perekonomian kita.”

Lantaran kondisi Bank Century terus memburuk sesuai laporan dari Zainal Abidin, selanjutnya digelar Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 5 November 2008. Dalam rapat itu, Boediono hadir bersama jajaran deputi dan direktur BI. Rapat tersebut membahas tindak lanjut usulan DPB1 untuk menempatkan Bank Century sebagai bank dalam pengawasan khusus.

Sepekan setelah Bank Century masuk dalam pengawasan khusus atau pada 12 November 2008, RDG BI kembali digelar guna membahas perkembangan penanganan masalah Bank Century. Saat itu, DPB1 mengusulkan dua alternatif penambahan modal yang diperlukan dalam penyelamatan Bank Century sebesar Rp2,9 triliun atau Rp325 miliar.

RDG BI tak lantas menyepakati usulan itu tapi meminta DPB1 menyiapkan data terkini yang dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang masalah Bank Century serta alternatif yang dapat dilakukan.

Sehari berselang, tepatnya pada 13 November 2008, RDG BI kembali digelar dan membahas situasi terkini Bank Century yang belum bisa memenuhi kebutuhan prefund untuk bisa ikut kliring. Pada saat bersamaan, nasabah Bank Century menarik dana secara bersamaan secara besar-besaran.

Dalam rapat itu, Zainal Abidin menyarankan Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal dan diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). RDG BI yang dihadiri Boediono itu kemudian memutuskan sejumlah arahan untuk ditindaklanjuti DPB1 seperti penyiapan analisis dampak sistemik Bank Century terhadap bank nasional, menyelesaikan ketentuan BI tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD), menyampaikan data lengkap kepada Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Pada hari yang sama sekitar pukul 14.00 WIB, Boediono bersama dewan gubernur lainnya mengelar RDG BI dan memutuskan sejumlah arahan: Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) diminta mengkaji kemungkinan ketentuan FPJP dengan dasar analisis dan data seluruh perbankan dan menyiapkan analisis dampak permasalahan Bank Century, serta DPB1 menyiapkan dokumen kredit yang diperlukan dalam pengajuan FPJP.

Sekitar pukul 20.00 WIB di hari yang sama, Boediono bersama deputi gubernur dan jajaran BI kembali menggelar RDG BI yang intinya membahas berlaku tidaknya jaminan yang diajukan Bank Century untuk mendapat bantuan. Dalam rapat itu pula dibahas soal perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/26/PBI/2008—yang mensyaratkan Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal 8 persen untuk pemberian FPJP, dan diubah menjadi positif.

Satu jam kemudian, kewenangan DPB1 yang berwenang dalam menentukan menerima dan menolak FPJP dicabut RDG BI—di dalamnya termasuk Boediono. RDG itu kemudian memutuskan perubahan PBI Nomor 10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 tentang FPJP.

Sehari berselang atau 14 November 2008, RDG BI kembali rapat dan membahas finalisasi PBI Nomor 10/26/PBI/2008 menjadi PBI Nomor 10/30/PBI/2008. Finalisasi PBI itu kemudian ditandatangani Boediono selaku Gubernur BI.

Penetapan Century Sebagai Bank Gagal

Setelah terjadi perubahan PBI dan Bank Century mendapat FPJP dari BI, kondisi bank milik Robert Tantular itu ternyata tak kunjung membaik dan masih mengalami tekanan likuiditas. BI selaku bank sentral sudah mengucurkan pendanaan sebesar Rp689 miliar dalam dua tahap hingga 19 November 2008.

Saat pemberian FPJP dilakukan, sempat terjadi rapat yang dihadiri Menteri Keuangan sekaligus Ketua KSSK Sri Mulyani Indrawati, Boediono bersama jajaran dewan gubernur BI, Fuad Rahmany dan Noor Rahmat selaku wakil Bappepam-LK, serta perwakilan dari LPS, pada 16 November 2008.

Dalam rapat itu Firdaus Djaelani dari LPS mengatakan biaya penyelamatan Bank Century lebih besar dibandingkan dengan biaya tidak menyelamatan atau menutup Bank Century. Boediono yang hadir dalam rapat membantah pernyataan Firdaus Djaelani dengan mengatakan LPS hanya menghitung berdasarkan sisi mikro saja.

Pada 19 November 2008, Boediono menghadiri rapat KSSK di ruang Rapat Menteri Keuangan Gedung Djuanda I Lantai 3 Jakarta Pusat. Dalam rapat yang juga dihadiri Sri Mulyani Indrawati, Boediono, Siti Fadjrijah, S. Budi Rochadi, Muliaman D. Hadad.

Halim Alamsyah selaku Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) memaparkan materi presentasi Analisis Risiko Sistemik Sistem Perbankan Indonesia. Pada saat rapat itu, KSSK belum mengambil keputusan tentang kondisi Bank Century sebagai bank berdampak sistemik atau tidak sistemik.

Pada 20 November, RDG BI kembali menggelar rapat. Dalam rapat itu, Boediono beserta jajaran deputi gubernur tak menghendaki Bank Century dikategorikan bank gagal dan serahkan ke LPS melainkan tetap beroperasi.

Malam harinya sekitar pukul 20.00 WIB, Boediono beserta jajaran deputi kembali menggelar RDG lantaran CAR Bank Century kembali negatif 3,53 persen. Dalam rapat itu, RDG membahas permasalahan Bank Century dan mempersiapkan materi untuk menyatakan Bank Century sebagai bank gagal yang diperkirakan berdampak sistemik dan meminta KSSK untuk memutuskan kebijakan penanganan Bank Century.

Boediono sempat menanyakan soal tahapan penanganan terhadap Bank Century hingga diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Muliaman D. Hadad yang menjabat Deputi Kebijakan Perbankan/Stabilitas Sistem Keuangan menjelaskan setelah bank dinyatakan gagal, kemudian Bank Indonesia menyampaikan surat kepada KSSK bahwa bank bersangkutan gagal dan dinilai berdampak sistemik oleh Bank Indonesia, sehingga perlu dibahas dalam KSSK.

Sempat terjadi perbedaan argumen soal penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik dalam rapat tersebut. Siti Fadjriah selaku Deputi Gubernur bidang 6 Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah sempat mengutarakan analisis bank tersebut tidak sistemik dari sisi mikro ekonomi namun berdampak sistemik dari sisi makro ekonomi. Ia lalu meminta Halim menjelaskan analisis tersebut.

Halim kemudian memaparkan permasalahan Bank Century tidak berdampak sistemik karena peran bank tersebut dalam sektor riil termasuk kecil, perannya dalam pemberian kredit juga tidak terlalu signifikan, dan fungsi Bank Century dapat digantikan bank lain. Halim kemudian menyampaikan lampiran data matrik.

Adanya kekhawatiran KSSK tidak akan menyetujui usulan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik, Boediono beserta deputi gubernur lain yang hadir dalam rapat itu menyatakan tidak menyetujui lampiran data matrik yang disampaikan Halim Alamsyah.

Deputi Gubernur Senior BI Miranda Swaray Goeltom yang juga hadir dalam rapat meminta kepada Halim supaya lampiran data matriknya tidak dimasukkan dalam pemaparan ke KSSK.

Setelah itu, Boediono menanyakan persetujuan masing-masing anggota Dewan Gubernur BI terkait permasalahan Bank Century untuk ditetapkan sebagai bank gagal yang ditenggarai berdampak sistemik. Kesepakatan ini yang kemudian dibawa ke rapat KSSK dan dalam rapat itu Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Setelah rapat, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan membuat surat dengan nomor 10/2/GBI/DPNP/Rahasia tertanggal 20 November 2008 perihal pembahasan tindak lanjut penanganan PT Bank Century Tbk, yang ditandatangani Boediono dan ditujukan kepada Ketua KSSK sekaligus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Isi surat ini meminta Ketua KSSK segera mengadakan rapat terkait Bank Century.

Penyematan status bank gagal berdampak sistemik ini kemudian menjadi pintu masuknya dana talangan (bailout) untuk Bank Century yang dalam vonis terhadap Budi Mulya disebutkan sebesar Rp6,7 triliun, meski kemudian dalam perhitungan ulang dana yang diberikan untuk penyelamatan itu sebesar Rp7,4 triliun.

LPS mengambil alih kendali Bank Century pada 21 November 2008 dan melakukan pemulihan. Bank Century ada di bawah LPS dan berganti nama menjadi Bank Mutiara. LPS pada 2014 berhasil menjual Bank Mutiara kepada J Trust, asal Jepang dengan harga penjualan atas 99% saham Bank Mutiara sebesar Rp4,411 triliun, yang harganya jauh di bawah biaya bailout.

Pada 20 November 2014, terjadi penyerahan saham PT Bank Mutiara, Tbk kepada J Trust Co. Ltd. maka semenjak itu penanganan PT Bank Mutiara, Tbk oleh LPS telah resmi berakhir.

Baca juga artikel terkait KASUS BANK CENTURY atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Hukum
Reporter: Mufti Sholih
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih