tirto.id - “Kami telah melihat banyak
startup yang mati,”
tulis Bruce Sterling, novelis fiksi sains sekaligus pengasuh blog di Wired. “[Sayangnya], kami tidak tahu persis penyebab mereka mati. Ini terjadi lantaran tatkala
startup mati, mereka melakukannya dengan sunyi, merangkak ke suatu tempat akhir dan mati di sana,” lanjut Sterling.
Semenjak Google dan Facebook lahir, dunia memasuki masa “The Age of the Serious Startup.” Inilah masa di mana banyak pemuda mencoba peruntungan dengan mendirikan
startup—perusahaan rintisan—guna mengikuti jejak Facebook dan Google itu.
Di Indonesia, hal yang sama terjadi. Guna melahirkan
unicorn baru, mengikuti jejak Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak, pemerintah menyiapkan program bernama "Gerakan Nasional 1000 Startup Digital". Program itu disebut oleh calon presiden (capres) petahana nomor urut 01, Joko Widodo dalam Debat Kedua Calon Presiden 2019 pada 17 Februari 2019 lalu saat ia bertanya kepada rivalnya, Prabowo Subianto.
Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital merupakan gerakan yang diinisiasi pada pertengahan 2016, yang dipelopori oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (
Kominfo) bersama KIBAR. Kala itu, Rudiantara, bos Kominfo, menyebut bahwa gerakan tersebut, jika sukses, akan membuat "Indonesia bisa menjadi
world’s biggest digital power".
Menciptakan 1.000 startup terdengar memungkinkan. Paling tidak, ke-1000
startup yang hendak didirikan tersebut memiliki pasar yang cukup besar. Menurut data yang diunggah
Statista, per 2019 ada 107,2 juta pengguna internet di Indonesia, meningkat dari 84 juta pengguna pada 2016.
Sayangnya, membuat 1.000
startup tak serta merta membuat kesemuanya bertahan dengan berpeluang mengikuti jejak Gojek atau bahkan Google. Pada 2014,
Fortune menyebut sembilan dari sepuluh
startup gagal. Setahun berikutnya,
Huffington Post menyebut 95 persen
startup yang dilahirkan berakhir dengan kematian.
Sterling, masih dalam tulisannya, memang tidak mengerti secara pasti mengapa
startup mati. Namun, ia menduga Startup mati lantaran terjadinya “demoralisasi” di tubuh si
startup. Dalam penjelasan yang sederhana,
startup didirikan hanya sebagai jalan pintas menuju kekayaan.
Lain lagi uraian dalam “The Top 20 Reasons Startups Fail,” laporan yang disusun
CB Insights atas visum yang dilakukan terhadap
startup-startup yang mati, menyebut setidaknya ada 20 alasan mengapa
startup gagal dan akhirnya mati.
Dari 20 alasan itu, penyebab paling utama kegagalan
startup adalah kenyataan bahwa pasar tidak membutuhkan produk atau layanan yang diciptakan
startup.
KotaGames,
startup asal Singapura yang menjalankan layanan game berbasis web, adalah contohnya. Dalam kerja mereka,
startup ini memilih mengembangkan
game untuk
feature phone. Padahal, dunia saat ini telah berpaling kepada ponsel yang semakin cerdas, smartphone. Akibatnya,
startup yang lahir pada 2008 tersebut gagal berkembang karena pasar mereka terlalu kecil dan telah tergantikan.
Alasan utama berikutnya mengapa kegagalan bisa menimpa
startup ialah soal kehabisan ongkos operasional.
Selain wajib membayar tagihan listrik, internet, server, hingga gaji pegawai,
startup pun membutuhkan duit untuk menggaet masyarakat menggunakan produk atau jasa yang mereka buat. Data yang dirilis
Statista menyebut ongkos menggaet pengguna tak murah. Untuk menggiring seseorang untuk mengunduh dan memasang aplikasi berbasis Android saja
startup perlu mengeluarkan uang sebesar $2,9 per pengguna.
Dalam beberapa kasus,
startup perlu menggelontorkan uang yang seolah tanpa batas untuk menggaet pengguna. Gojek berulang kali "membakar uang" guna mensubsidi penggunanya di berbagai layanan Gojek. Di pihak lain, Bukalapak, di ajang Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2019 lalu, misalnya, harus menyiapkan lebih dari 300 barang yang dijual hanya seharga Rp12.000.
Dengan strategi yang mahal tersebut, Gojek kini memiliki lebih dari 22 juta pengguna aktif layanannya. Bukalapak, saat program Harbolnas dilakukan. Ia sukses menarik perhatian 3,5 juta orang.
Gojek dan Bukalapak bisa melakukan strategi mahal karena didukung pendanaan yang kuat. Kebanyakan
startup, menurut
Sebastian Quintero, Head of Data Science Radicle Labs, tidak seberuntung itu. Dalam paparannya, 79,4 persen
startup yang memperoleh telah sukses memperoleh
seed funding (pendanaan awal), gagal memperoleh pendanaan tingkat selanjutnya.
Alasan utama berikutnya yang jadi sebab banyak
startup gugur ialah mereka terlahir untuk kalah bersaing. Di Indonesia, misalnya, selepas pasar
ride-sharing dikuasai Gojek dan Grab, ada beberapa
startup yang mencoba masuk, misalnya Topjek, Ojek Kampung, Blue-Jek, Ojek Syari, hingga LadyJek. Namun, mereka tak mampu menggoyang kedigdayaan Gojek maupun Grab.
Sementara itu, dari sisi teknis, alasan utama kejatuhan
startup adalah gagal menciptakan aplikasi atau sistem yang mudah digunakan.
Bagi
startup besar seperti Grab, bahkan merancang aplikasi yang memudahkan pengguna pun menjadi hal sulit. Head of Product Design Grab, Rudi Lim, dalam sebuah kesempatan di kantor Grab Indonesia secara tersirat menyatakan penciptaan desain aplikasi Grab mempertimbangkan berbagai aspek. Grab perlu memahami kebiasaan penggunanya, baik mitra maupun penumpang, untuk memahami rancangan seperti apa yang memudahkan pengguna. Pada
startup kecil, yang sumber dayanya lebih kecil dibandingkan Grab, kesulitannya jelas lebih besar.
Sementara itu, dalam “Startups’ Roads to Failure (2018),” paper yang ditulis Marco Cantamessa, akademisi Politecnico di Torino, gagalnya startup bisa dilihat dari lima faktor.
Pertama,
business model, yakni kegagalan yang terjadi karena keputusan bisnis yang salah, seperti tidak memiliki visi yang jelas. Kedua,
customer, yakni
kegagalan karena masalah pengguna, seperti kecilnya pasar. Ketiga,
organization, yakni kegagalan karena manajemen
startup yang buruk, seperti bermasalah dengan tim. Keempat,
product, kegagalan karena produk/jasa yang dihasilkan buruk, seperti aplikasi yang mudah eror. Kelima,
environment, kegagalan karena kondisi pasar, seperti telah ada perusahaan yang memonopoli.
Bidang-bidang pasar
startup Indonesia kini telah dikuasai segelintir pemain, seperti Gojek dan Grab pada bidang
ride-sharing, Tokopedia dan Bukalapak di bidang
e-commerce, hingga Traveloka dan Tiket.com di kategori
online travel agent (OTA), dan lainnya. Dengan kedigdayaan
startup besar itu, akan sukar melihat 1.000
startup hidup dan bertahan.