Menuju konten utama
Advertorial

Menghadap dan Berharap pada Laut

Kebangkitan industri perikanan Indonesia adalah bukti kesadaran "baru" kita sebagai negeri kelautan

Ilustrasi nelayan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sejarawan Hilmar Farid, dalam pidatonya "Arus Balik Kebudayaan" di Dewan Kesenian Jakarta pada 2014, mengatakan bahwa sikap masyarakat Indonesia yang—pinjam istilah Presiden Joko Widodo—“memunggungi laut” tercermin pada kekeliruan berulang dalam menerjemahkan konsep archipelagic state.

"Dengan menyebut negara kepulauan maka laut dilihat sebagai pembatas atau penghalang antara pulau yang satu dengan yang lain," ujarnya. "Dengan menyebut negara lautan yang ditaburi pulau-pulau maka fokus utamanya adalah laut."

Menurut Hilmar, pembangunan ekonomi yang bertumpu di daratan selama ratusan tahun, sejak masa pra-Indonesia, adalah kesalahan. Meski membawa Indonesia masuk ke kelompok 16 besar perekonomian dunia, ia juga mengancam keselamatan masa depan kita.

“Antara tahun 2001-2013, setiap hari ada areal hutan seluas 500 lapangan sepakbola yang habis dibabat. Tidak perlu menjadi ahli lingkungan hidup untuk mengaitkan pembabatan hutan dengan bencana banjir dan tanah longsor. Areal hutan yang dibabat kemudian ditanami kelapa sawit atau tanaman keras lainnya, yang kemudian membawa bermacam persoalan baru,” katanya.

Sikap yang berbeda, pengutamaan terhadap laut, kini terlihat dijalankan oleh pemerintah, terutama lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Mencita-citakan negeri ini sebagai sebuah poros maritim, pemerintah menutup tahun 2018 dengan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) Perikanan.

Pada triwulan IV tahun 2018, PDB perikanan mencapai Rp61,2 triliun, meningkat dari Rp57,5 triliun, capaian periode yang sama pada 2017. Tren positif juga ditunjukkan nilai atas dasar harga konstan (ADHK) PDB Perikanan. Sebabnya tentu peningkatan produksi perikanan. Produksi (tanpa rumput laut) sebanyak 12,55 juta ton pada 2017 mengalami kenaikan 14,13 juta ton pada 2018.

Produksi perikanan tangkap juga membaik: 7,25 ton pada 2018. Angka ini meningkat 5,17% jika dibandingkan periode yang sama pada 2017. Secara bersamaan, produksi sektor perikanan budidaya juga menunjukkan pertumbuhan sebesar 21,62% dengan total nilai 6,88 juta ton.

Beriringan dengan upaya-upaya itu, grafik ekspor hasil perikanan Indonesia—baik volume maupun nilai ekspornya—terus berlipat sepanjang periode 2015-2018. Pada periode 2018, volume ekspor tercatat 1,12 juta ton atau naik 4,64% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara dari sisi nilai, ada kenaikan dari USD4,52 miliar pada 2017 menjadi USD4,86 miliar dalam periode yang sama pada 2018.

Pada 2015, volume dan nilai ekspor memang mengalami penurunan signifikan dibandingkan 2014. Namun, sejak 2016 terjadi peningkatan yang ajek hingga capaian terakhir pada 2018 bahkan jauh melampauai capaian 2014. Ini menunjukkan kebangkitan industri perikanan Indonesia.

KKP mencatat peningkatan nilai produksi ikan pada 2018 memberi kontribusi besar terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP). PNBP perikanan (SDA & non-SDA) meningkat dari Rp267 miliar di tahun 2014 menjadi Rp457 miliar pada 2016, dan meningkat lagi menjadi Rp645 miliar pada periode Januari-Desember 2018. Sementara itu, penerimaan pajak sektor perikanan tangkap meningkat dari Rp858 miliar pada 2016 menjadi Rp1,47 triliun pada 2018.

Infografik Berharap Pada Laut

Infografik Berharap Pada Laut. tirto.id/Mojo

Tulang Punggung Industri

Nuran Wibisono, dalam “Bagaimana Ikan Bisa Menipu Kita”, mengisahkan dua temannya, seorang Bugis dan seorang Makassar, membanggakan kekayaan kuliner laut mereka sembari meledek si penulis yang merupakan orang Jawa. "Kok bisa kamu suka lele? Padahal kakap atau tuna itu enak betul," tulis Nuran, menirukan salah satu kawannya.

Nuran membela diri dengan cara memutar. Ia menulis, “...mungkin mereka tak paham kalau perihal lele itu masalah yang amat sepele dibandingkan dengan masalah perikanan yang terjadi di dunia.” Dia memulai uraiannya dari soal konsumsi ikan rata-rata orang Indonesia yang cuma 40 kilogram per tahun (bandingkan dengan Maladewa, 139 kilogram per tahun); penangkapan ikan berlebihan atau overfishing yang menyebabkan kelangkaan di seluruh dunia; hingga pelabelan palsu dalam perdagangan ikan.

Dan di atas semua itu, tak sulit menemukan persoalan yang dialami para nelayan, tulang punggung industri perikanan, di berbagai penjuru Indonesia. Terutama dari segi finansial.

Pada April 2018, seorang nelayan di Batu Putih, Kalimantan Timur, meresahkan kelangkaan bahan bakar. Sebulan kemudian, seorang nelayan lain di Bangka Tengah, Bangka Belitung, mengaku terpaksa menjual murah hasil tangkapannya kepada seorang “juragan” karena terikat utang untuk modal melaut.

Mengingat daftar masalah yang dapat terus memanjang itu, pembentukan lembaga-lembaga keuangan mikro (LKM) Nelayan yang dikelola Badan Layanan Umum-Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU-LPMUKP) menjadi penting. Ia bisa menjadi jalan keluar bagi nelayan yang membutuhkan modal usaha. Sekitar 85% pelaku usaha perikanan tergolong berskala mikro dan kecil.

LPMUKP mendapatkan alokasi pada APBN 2017 sebesar Rp500 miliar dan mendapat tambahan dalam APBN 2018 sebesar Rp850 miliar. Dengan demikian, pada 2018 LPMUKP mengelola dana sebesar Rp1,35 triliun. Dana tersebut disalurkan kepada nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pemasar hasil perikanan, usaha garam, dan usaha-usaha lain masyarakat pesisir.

LKM Nelayan memiliki skema mudah, dengan pola syariah dan tingkat bunga konvensional sebesar 3% per tahun. LKM menyalurkan pinjaman kepada pelaku usaha dengan tingkat bunga maksimum 7% per tahun. Tidak hanya itu, LPMUKP juga memberikan layanan pendampingan kepada para kreditur.

Sampai 31 Desember 2018, LPMUKP telah menyalurkan kredit sebesar Rp365 miliar kepada 14.002 pelaku usaha kelautan dan perikanan. Adapun lokasi pelayanan pendampingan kini telah tersebar di 210 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.

“Hingga kini tidak terdapat satu pun debitur LPMUKP yang terlambat membayar cicilan pokok maupun jasa pinjaman. Ini menunjukkan bahwa kita bisa, jika mau berusaha dan bekerja bersama,” kata Nilanto Perbowo, Sekretaris Jenderal KKP.

Berbagai pencapaian dan inisiatif menggembirakan itu tentu sepatutnya dijadikan pijakan untuk kerja yang lebih baik lagi di masa mendatang. Dan yang tak kalah penting, daftar tersebut telah jadi bukti perubahan sikap dan kesadaran baru, bahwa kini bangsa kita memandang dan mulai bertumpu pada laut.

Dalam pidatonya, Hilmar Farid mengatakan: “Kita tidak perlu rencana atau cetak-biru tentang kebudayaan maritim. Kita perlu tindakan, karena melalui tindakan yang bersandar pada kesadaran baru dan keinginan mendengarkan itulah kebudayaan bisa berkembang.”

Baca juga artikel terkait LAUT atau tulisan lainnya dari Advertorial

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Advertorial
Editor: Advertorial
-->