Menuju konten utama
Periksa Data

Menggeledah Sanksi PSSI: Mengapa PSSI Dituding Tebang Pilih?

Komisi Disiplin PSSI biasa memberikan hukuman yang berbeda untuk jenis pelanggaran yang sama.

Menggeledah Sanksi PSSI: Mengapa PSSI Dituding Tebang Pilih?
Header Periksa Data Sanksi Komdis PSSI. tirto.id/Quita

tirto.id - Pada 1 Oktober 2018, Komisi Disiplin Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (Komdis PSSI) telah menjatuhkan sanksi kepada Persib Bandung, bobotoh dan panitia pelaksana laga Persib Bandung vs Persija Jakarta. Tiga jam sebelum berlangsungnya laga yang dihelat pada 23 September 2018 itu, Haringga Sirla, suporter Persija, tewas dikeroyok sejumlah bobotoh.

Persib dihukum menggelar sisa pertandingan musim ini di luar Jawa dan tanpa penonton selama setengah musim berikutnya. Sedangkan bobotoh dilarang memberikan dukungan kepada Persib di stadion hingga pertengahan musim depan. Sementara khusus bagi pelaku pengeroyokan Haringga Sirla, mereka mendapatkan hukuman larangan menonton sepakbola di wilayah Republik Indonesia seumur hidup.

Hukuman itu memantik ketidakpuasan dari kubu Persib dan bobotoh. Mereka tidak hanya menganggap hukuman itu tidak adil, melainkan juga tebang pilih. Tudingan seperti itu bukan hal baru, dan bukan hanya diutarakan oleh Persib dan bobotoh saja, melainkan juga kerap diungkapkan klub lain dan para suporternya.

Dua Aktor Utama Pelanggar: Pemain dan Klub

Komdis PSSI telah menjatuhkan sanksi terhadap 180 pelanggaran sepanjang periode 3 April-1 Oktober 2018. Hasilnya, sebanyak 37,78 persen pelanggar adalah pemain, dan 36,11 persen lainnya adalah klub.

Jonatan Jesus Bauman adalah salah satu contoh pemain yang menerima sanksi. Ia dianggap “menyikut dan dengan sengaja mendorong kepala pemain lawan” dalam laga melawan Persija. Sementara contoh pelanggar yang dilakukan klub, yaitu Persib Bandung, karena dinilai melakukan “intimidasi kepada ofisial Persija pada saat Match Coordination Meeting, melakukan sweeping, pengeroyokan dan pemukulan terhadap suporter Persija hingga tewas”. Jonathan Jesus Bauman mendapat sanksi berupa larangan bermain selama 2 (dua) pertandingan. Sedangkan Persib mendapat hukuman laga tanpa penonton dalam kurun periode tertentu.

Sanksi atas pelanggaran memang berbeda-beda dan beragam. Namun, jika melihat secara keseluruhan, jenis sanksi berupa denda uang adalah sanksi yang paling sering dikeluarkan. Setidaknya, sudah 124 sanksi berupa denda uang yang dikeluarkan Komdis selama periode 3 April-1 Oktober 2018.

Tabel 1 Pelaku Pelanggaran Dalam Pertandingan

Infografik Periksa Data Sanksi Komdis PSSI

Adapun jenis sanksi kedua dan ketiga terbanyak adalah larangan bermain (39 sanksi) dan teguran keras (26 sanksi). Sanksi larangan bermain biasanya diterima oleh para pemain. Hal ini terkait pelanggaran yang dilakukan saat pertandingan. Sedangkan sanksi teguran keras, selain muncul dalam kasus-kasus pelanggaran pemain, cukup sering ditujukan kepada latar belakang pelatih/asisten pelatih ataupun ofisial klub. Umumnya, kasus-kasusnya adalah tindakan protes mereka selama pertandingan berlangsung.

Sementara sanksi seperti pertandingan tanpa penonton, bermain di tempat netral, penutupan tribun stadion tercatat baru muncul sekali selama periode 3 April-1 Oktober 2018.

Komdis PSSI juga pernah mengeluarkan sanksi berupa kerja sosial. Sejumlah pemain Persija Jakarta yaitu Riko Simanjuntak, Gunawan Dwi Cahyo, Jaimerson Xavier, Asri Akbar dan Ahmad Syaifullah, pada 11 April 2018, dihukum karena “terlibat dalam kejadian meneriakkan kata-kata yang menghina”. Mereka kedapatan menghina Viking, firm bobotoh terbesar -- tindakan yang sedikit banyak menaikkan tensi ketegangan suporter.

Perlu dicatat, mulai 21 Maret 2018, PSSI telah menggunakan rujukan aturan bernama “Kode Disiplin PSSI 2018” yang menggantikan aturan sebelumnya yaitu “Kode Disiplin PSSI 2014”. Pedoman itulah yang menjadi rujukan PSSI, melalui Komdis, untuk menegakkan aturan dan memberi sanksi.

Table 2 Jenis dan Jumlah Sanksi yang Dikeluarkan Komdis PSSI

Infografik Periksa Data Sanksi Komdis PSSI

Mengapa Sanksi Denda Uang Berbeda-beda?

Namun, dalam sanksi berupa denda uang, Komdis kerap mengeluarkan keputusan yang berbeda untuk pelanggaran sejenis. Misalnya jenis pelanggaran berupa pelemparan botol. Jika merujuk Kode Disiplin PSSI 2018, kasus pelemparan botol masuk dalam kategori pelemparan misil.

Disebutkan bahwa pelemparan botol minuman atau kaleng minuman yang masih ada isinya dihukum denda sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per satu sampai sepuluh benda yang dilemparkan. Sementara, pelemparan botol minum atau kaleng minuman yang kosong berakibat denda sebesar Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk satu sampai sepuluh benda yang dilemparkan. Aturan juga menyebut soal batu atau benda keras lainnya, gelas plastik atau kertas, atau kombinasi dari benda-benda tersebut berakibat denda yang berbeda-beda.

Hasil yang muncul dari sanksi keputusan Komdis PSSI periode 3 April-1 Oktober 2018 atas klub/suporter yang terbukti melakukan pelemparan botol menunjukkan denda yang bervariasi. Berdasarkan putusan 1 Oktober 2018, PSIS, Persebaya dan Persija dihukum karena insiden pelemparan botol. Namun besaran dendanya berbeda-beda: PSIS didenda Rp130 juta, Persebaya didenda 112,5 juta, dan Persija sebesar Rp50 juta.

Merujuk Kode Disiplin PSSI 2018, perbedaan besaran denda itu kemungkinan karena perbedaan jumlah botol yang dilemparkan, juga karena perbedaan botol yang berisi atau sudah kosong. Masalahnya, Kode Disiplin PSSI 2018 itu tidak mencantumkan kelipatan jumlah botol, yang tersurat hanya denda untuk pelemparan satu sampai sepuluh benda saja.

Namun ada kasus lain yang menarik. Persebaya dihukum denda uang sebesar Rp 112,5 juta (hasil sidang Komdis 1 Oktober 2018) karena pelanggaran pelemparan botol. Sedangkan PSMS Medan hanya didenda Rp80 juta atas kasus pelemparan botol plus suporter masuk ke lapangan. Mengapa denda untuk satu pelanggaran lebih besar dibandingkan denda untuk dua pelanggaran sekaligus?

Tabel 3 Variasi Sanksi Denda Uang untuk Pelemparan Botol

Infografik Periksa Data Sanksi Komdis PSSI

Hal serupa juga dialami PSMS dalam waktu yang berbeda. Pada 25 Juli 2018, PSMS mendapat sanksi sebesar Rp120 juta atas kasus pelemparan botol dan penyalaan flare. Pelanggaran penggunaan benda-benda yang mengandung api atau dapat mengakibatkan kebakaran (kembang api, petasan, bom asap, flare, dan sebagainya) diancam denda yang bervariasi, dari Rp50 juta hingga Rp200 juta.

Bagaimana cara Komdis PSSI menghitung bukti-bukti pelanggaran dan berakhir dengan keputusan tertentu? Mengapa dua jenis pelanggaran yang berbeda di-sejenis-kan begitu saja?

Ketua Komdis PSSI Asep Edwin menegaskan, di setiap pertandingan selalu ada pengawas pertandingan. Mereka bertugas mencatat apa yang terjadi, termasuk jumlah botol yang dilempar.

“Laporan pengawas pertandingan adalah bukti yang kuat. Dianggap benar,” kata Asep, pada Jumat (29/9/2018).

Dua Pemicu Tudingan Tebang Pilih

Setidaknya muncul dua hal dari perbedaan besaran denda uang itu. Pertama, kecurigaan terjadinya konflik kepentingan karena sejumlah petinggi PSSI adalah pemilik klub. Persija, yang dihukum lebih rendah, dimiliki oleh Joko Driyono, sosok lama nan berpengaruh dalam sepakbola Indonesia yang kini menguasai saham mayoritas tim Macan Kemayoran. PSMS, yang melakukan dua jenis pelanggaran namun dihukum lebih rendah, dimiliki oleh Edy Rahmayadi, sang Ketua Umum PSSI.

Persib, Bali United dan Arema adalah klub lain yang pemiliknya juga menjadi pejabat di PSSI maupun operator liga. Pemilik Persib, Glenn T. Sugita, bahkan punya jabatan strategis sebagai Komisaris Utama PT Liga Indonesia Baru, operator yang menjalankan Liga 1. Tudingan konflik kepentingan inilah yang kerap diutarakan oleh para suporter di berbagai kanal media massa dan sedikit banyak memicu naiknya tensi ketegangan di akar rumput.

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengatakan bahwa kepemilikan ganda antara regulator dan peserta kompetisi seharusnya dipisahkan. Ia mengingatkan soal konflik kepentingan. “Harus dipisahin, dong. Masak regulator, operator jadi satu [PSSI dan klub]?"

Infografik HL Indepth Bolamania

Saat hadir di acara Mata Najwa episode "Duka Bola Kita", Edy Rahmayadi sudah membantah terjadinya konflik kepentingan itu. Alasannya, pengambilan keputusan di PSSI selalu bersifat kolegial, sehingga Ketum PSSI yang merangkap sebagai pembina PSMS itu tidak bisa mengintervensi dan memerintahkan Komdis begitu saja.

Asep Edwin juga menegaskan lima anggota Komdis PSSI saat ini tidak berafiliasi dengan klub dan dipilih secara musyawarah oleh perwakilan klub.

Kedua, tidak transparannya keputusan Komdis. Tiap kali mereka mengeluarkan hukuman, sering mereka tidak menjelaskan argumentasi, pertimbangan hukuman atau rincian bukti-buktinya. Dalam kasus pelemparan botol, misalnya seperti tertera dalam putusan Komdis pada 1 Oktober 2018, mereka hanya menyebut jenis pelanggaran pelemparan botol, tapi tidak pernah merincikan berapa botol yang dilempar, berapa botol yang berisi dan berapa yang kosong.

Contoh tidak transparannya Komdis PSSI juga bisa dilihat pada sanksi untuk Fandry Imbiri. Pada 1 Oktober 2018, pemain Persebaya itu dihukum larangan bermain selama dua pertandingan. Putusan Komdis menyebut jenis pelanggaran yang dilakukan oleh Fandry adalah "melanggar fair play". Apa sulitnya, sih, menyebut lebih rinci pelanggaran yang dilakukan Fandry, dilakukan pada menit berapa, dan kepada siapa ia melanggar fair play?

Ini sekilas seperti soal sepele, tapi jika bisa transparan maka penerimaan publik juga bisa lebih positif. Tanpa rincian dan transparan, setiap keputusan yang berbeda untuk pelanggaran yang sama dengan sendirinya memicu pertanyaan -- bahkan syak wasangka. Perasaan diperlakukan tidak adil, atau tudingan tebang pilih, dimungkinkan muncul karena Komdis tidak transparan.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Frendy Kurniawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Zen RS