Menuju konten utama

Menggali Pajak Para Pengebor Air Tanah Jakarta

Air tanah menjadi masalah besar bagi kota metropolitan seperti Jakarta. Pajak air tanah tetap tak mampu membendung penggunaannya.

Menggali Pajak Para Pengebor Air Tanah Jakarta
Gedung bertingkat di Jakarta yang menyebabkan penurunan permukaan air tanah. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sebuah kejadian menghebohkan terjadi pada November 2015 lalu di dekat JPO Halte TransJ Polda Metro Jaya, Jakarta. Hamparan lubang menganga berada persis di dekat jembatan akibat amblasnya tanah yang cukup dalam. Kejadian ini diduga dikaitkan dengan fenomena turunnya permukaan tanah yang sudah menjadi ancaman di ibu kota. Di Jakarta, fenomena amblesan tanah mulai dicatat sejak awal 1990-an. Penurunan tanah Jakarta terjadi bervariasi secara spasial dan waktu antara 3-10 cm per tahun.

Untuk mengantisipasi masalah ini, sejak 1998 pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan pajak pemanfaatan air bawah tanah melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 10 tahun 1998. Tujuannya untuk mendorong masyarakat dan Industri menggunakan air PAM serta mengurangi pengambilan air tanah secara berlebihan dan terus-menerus yang akan mengancam kelangsungan lingkungan.

Namun, pemanfaatan air bawah tanah melalui sumur-sumur ilegal masih terus berlangsung di Jakarta. Kepala Seksi Pemanfaatan Air Tanah Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta Ikhwan Maulani mengatakan, ada banyak potensi pencurian air tanah terutama di pusat-pusat perniagaan besar di Jakarta. Sayangnya, jumlah pelanggaran tersebut tak bisa terlacak dengan pasti.

"Kalau kita lihat data sejak 2009 ada penurunan penggunaan air tanah ya, tapi kalau dilihat, di sini kan tidak berbarengan dengan peningkatan penggunaan air PAM," kata Ikhwan ditemui di kantor Dinas Perindustrian dan Energi, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (3/8/2017).

Pada 2009 penggunaan air tanah di Jakarta mencapai 18.758.945 M3. Jumlah tersebut kemudian turun secara signifikan pada 2016 menjadi 6.882.132 M3 atau ada penurunan volume sekitar 63 persen. Pada periode yang sama jumlah pengguna PAM memang meningkat dari 510.163.758 M3 menjadi 528.768.000 M3 atau hanya naik 3,5 persen. Peningkatan ini tak signifikan dengan penurunan volume air yang terjadi.

"Kalau dihitung memang balance, masih ada selisih, kecil, tapi kan kita tidak tahu yang enam juta M3 itu berapa yang digunakan rumah tangga dan tempat ibadah, kalau yang usaha niaga, industri, mereka bayar pajaknya apa nggak," katanya.

Dari hasil pengawasan dan pengendalian air tanah Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, sejak Februari hingga Juli 2017 sudah kedapatan 57 sumur ilegal di beberapa lokasi di Jakarta. Sumur-sumur tersebut ada di berbagai tempat mulai dari gedung perniagaan, apartemen, rumah sakit, SPBU, dan universitas. Pemda DKI langsung melakukan penutupan dan meminta mengurus Surat Izin Pemanfaatan Air Tanah (SIPA).

"Ada beberapa tempat yang kooperatif sama kita dia bilang akan segera urus, untuk sementara sudah kami tutup sampai ada SIPA-nya," katanya.

Bagi pelanggar, sanksi sudah siap menanti. Berdasarkan Pergub Nomor 38 tahun 2013 tentang Pemungutan Pajak Air Tanah ada ketentuan denda sebesar Rp5 juta untuk sumur pantek. Pelanggaran semacam ini bisa terjadi karena kesengajaan tapi ketidaktahuan pelaku usaha.

Iwan Sunarya, Manager SPBU 31-10303 di Jakarta, salah usaha yang terdata menggunakan sumur ilegal sempat tidak tahu bahwa pengambilan air tanah dikenakan pajak air tanah. Badan usaha seperti ini mau tak mau segera mengurus pembuatan SIPA di Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta.

"Kami sudah urus ke Dinas PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu), tapi sampai saat ini masih menunggu," katanya saat dihubungi Tirto, Kamis (3/8/2017).

Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah sempat mengimbau para pengelola gedung khususnya perniagaan seperti mal dan pusat belanja bahkan industri segera melapor kepada pemerintah bila menggunakan air tanah. Pemda DKI Jakarta terus melakukan pemetaan terhadap gedung-gedung yang diduga menggunakan air tanah tanpa izin di Jakarta. Namun, berdasarkan temuan KPK dalam rangka pencegahan praktik korupsi, diperkirakan ada 10.000 titik sumur ilegal di DKI Jakarta.

"Warning untuk para pengusaha apartemen yang menggunakan air tanah untuk lapor dan pasang meter, kalau tidak nanti tim terpadu ini akan on the spot ke sana," kata Saefullah.

infografik air tanah vs pam

Berharap Penerimaan Pajak Turun

Kepala Badan Pajak dan Redistribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta Edi Sumantri mengungkapkan realisasi pendapatan pajak daerah dari air tanah pada tahun ini turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selama Januari 2017 hingga 19 Juni 2017, realisasi pajak air tanah DKI Jakarta baru mencapai Rp39,54 miliar dari target Rp100 miliar pada 2017. Jumlah ini memang tak seberapa dibandingkan dengan total penerimaan pajak DKI Jakarta sebesar Rp13,2 triliun pada periode yang sama, atau masih 37,5 persen dari target sebesar Rp35,2 triliun di 2017.

Penurunan penerimaan perpajakan justru menunjukkan hal yang positif. Pasalnya, pengenaan pajak air tanah memang lebih bertujuan untuk konservasi serta untuk mengontrol pengambilan air tanah di Jakarta. Artinya pemungutan pajak air tanah fungsinya lebih pada pengendalian, bukan menargetkan sebanyak mungkin penerimaan pajak dari air tanah.

"Jadi semakin sedikit orang mengambil air tanah, semakin sedikit pemungutan pajak. Jadi fungsinya mengatur. Kita dorong masyarakat menggunakan air PAM. Menggunakan air tanahnya semakin sedikit. Karena itu pendapatannya memang lebih rendah sedikit dibanding tahun lalu," kata Edi.

Namun demikian, ternyata klaim bahwa penurunan pajak berbanding lurus dengan pemakaian air tanah tidak sepenuhnya benar. Direktur Amrta Institute Nila Ardhiani mengatakan, persentase penggunaan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air di Jakarta relatif tidak berkurang selama 15 tahun.

“Soal ada yang berpindah (dari air tanah ke PAM) itu betul, pasti ada yang berpindah. Cuma memang basis pendapatannya sendiri potensinya masih besar sekali, karena banyak perusahaan terutama yang seharusnya wajib pajak air tanah sampai sekarang belum bayar pemakaiannya,” ungkapnya.

Dari tahun 2000 hingga 2015, sebanyak 63-65 persen dari total kebutuhan air di Jakarta diambil dari bawah tanah. Angka tersebut didapat dari total air PAM yang dijual ke masyarakat (M3) dikurangi total kebutuhan air di Jakarta.

“Nah itu ketemu sekitar 33 sampai 35 persen (air PAM yang dijual). Sisanya bisa dipastikan itu pakai air tanah. Karena di Jakarta itu kan air permukaan kayak air danau itu tidak bisa langsung dipakai. Jadi memang sisanya masih memakai air tanah,” papar Nila.

Ada beberapa alasan yang membuat industri tidak beralih ke PAM dan tetap memakai air tanah dari sumur-sumur ilegal. Menurut Nila, salah satunya lantaran pengelolaan air tanah belum menjadi prioritas pemerintah saat ini. “Bagian yang mengurusi air tanah ini masih kurang peralatan, kurang teknologi. Jadi mereka masih perlu di-support kalau pemerintah memang memerlukan air tanah secara baik, database-nya bisa dikelola dengan baik, Badan yang mengurusi air tanah ini pelru diperbaiki kemudian jumlah pegawainya perlu ditingkatkan,” ungkapnya.

Hal tersebut dibenarkan oleh Ikhwan Maulani. Sebagai kepala seksi pemanfaatan air tanah ia merasa kualahan karena hanya bekerja dengan tiga orang staf. Belum lagi, ada ribuan sumur ilegal di Jakarta yang harus dikontrol. “Dua laki-laki yang satunya lagi perempuan. Coba bayangkan, bagaimana mereka turun ke lapangan?” jelasnya.

Meski begitu, Ikhwan menyampaikan bahwa Dinas perindustrian dan Energi telah meminta pemerintah menbuat sistem yang terintegrasi dengan Satuan Kinerja Perangkat Daerah (SKPD) lain untuk memantau penggunaan air tanah. Di samping itu, Pemprov juga telah telah bekerja sama dengan divisi pencegahan korupsi KPK untuk menghindari pencurian air yang selama ini terjadi.

Pemanfaatan air tanah yang berlebihan apalagi di wilayah seperti Ibu Kota Jakarta yang sudah banyak tutupan lahan dan hutan beton di Jakarta sangat krusial. Sebuah paper yang dibuat oleh BPPT pada 2009 lalu menyimpulkan terjadi kesenjangan antara pengisian air tanah dengan yang diambil di wilayah DKI Jakarta, sehingga berdampak pada penurunan muka air tanah dan permukaan tanah. Penerapan pajak air tanah tak banyak mengatasi persoalan yang sudah di depan mata. Apalagi persoalan air tanah ini juga sudah menjadi perhatian KPK.

Baca juga artikel terkait AIR TANAH atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Suhendra