Menuju konten utama
13 Mei 2018

Mengenang Tragedi Teror Bom di Gereja Surabaya

Pada 13 Mei 2018, terjadi teror bom di tiga gereja di Surabaya.

Mengenang Tragedi Teror Bom di Gereja Surabaya
Header Mozaik Teror Bom di Gereja Surabaya. tirto.id/Tino

tirto.id - Usai salat Subuh, Budi Hartono mandi lalu menyambar seragam kerjanya. Sebelum berangkat, ia menyempatkan menyeruput kopi. Pukul 05:30, ia berangkat kerja dengan motornya. Perjalanan hanya sekitar lima menit, ia sudah sampai.

Hari itu 13 Mei 2018, Minggu pagi yang cerah. Sesuai jadwal, Budi mendapat giliran jaga pukul 6 pagi di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, tempatnya bekerja. Sudah 17 tahun ia bekerja di gereja itu sebagai satpam.

Budi, 39 tahun, adalah seorang muslim, dan ia memandang selagi pekerjaannya tidak merugikan orang lain, serta didapat dari cara yang halal, sekalipun di gereja, hal ini bukanlah masalah baginya.

Gereja masih senggang sewaktu ia datang. Ibadah sudah setengah jalan. Di luar gereja hanya segelintir orang yang lalu-lalang, salah satunya yang terlihat di pelataran adalah Aloysius Bayu Rendra Wardhana, relawan keamanan gereja. Bayu berjaga di pintu keluar gereja, sementara Budi berjaga di pintu gerbang utara. Jarak mereka sekitar 50 meter.

Ibadah gereja baru selesai pukul 06:30. Jemaat yang selesai ibadah itu pulang berpapasan dengan jemaat yang akan mengikuti ibadah selanjutnya pada pukul 07:30. Saat arus jemaat memasuki gereja mulai ramai, tiba-tiba sebuah sepeda motor, yang dikendarai dua remaja, menerobos lewat pintu keluar, sembari membunyikan klakson tanpa putus.

Budi melihat Bayu menghadang sepeda motor itu. Refleks, ia berjalan ke arah Bayu untuk membantu.

SAAT Budi salat Subuh, di tempat lain, sekitar 8 kilometer dari Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Dita Oepriarto, 47 tahun, tengah di Mushola Al-Ikhlas, Perumahan Wonorejo Asri, untuk salat Subuh berjamaah bersama dua putranya. Mereka berjalan kaki dari rumah ke musala tersebut, yang berjarak sekitar 200 meter.

Usai salat, ketiganya pulang. Istrinya, Puji Kuswati, dan dua putrinya sudah menunggu. Sekitar pukul 6 pagi, keluarga itu meninggalkan rumah.

Dita mengendarai mobil berisi bom bersama Puji dan dua putrinya. Sementara dua putra mereka mengendarai sepeda motor matic. Anak paling tua menyetir, adiknya membonceng sambil memangku kardus berisi bom.

Keduanya keluar bersamaan dari perumahan, lalu mengambil jalan berbeda. Dua anak laki-laki menuju Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di kawasan Ngagel, sementara Dita melaju ke Gereja Kristen Indonesia di bilangan Diponegoro.

Begitu tiba di dekat Gereja Santa Maria, kedua putra Dita berusaha menerobos jemaat sembari terus-menerus membunyikan klakson. Secepat kemudian, tepat pukul 07:13, bom yang dibawa mereka meledak.

Bunyi ledakan itu bikin telinga Budi Hartono berdenging. Sebuah pos satpam gereja hancur. Aloysius Bayu Rendra Wardhana meninggal seketika. Tujuh warga gereja lain tewas.

Ledakan itu membuat jemaat panik. Warga berhamburan menjauh dari gereja karena khawatir ada bom susulan. Sebisa mungkin Budi mengarahkan warga untuk menjauh.

“Keluar.. keluar,” teriak Budi.

SELAGI kedua putra mereka tiba di Gereja Santa Maria, Dita Oepriarto masih dalam perjalanan ke GKI Diponegoro. Sesampai di seberang GKI Diponegoro, ia menurunkan Puji Kuswati dan dua anak perempuannya, yang sudah dibekali bom. Ia langsung meluncur ke Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan, salah satu gereja tertua di Jalan Bromo, sekitar 3 kilometer dari GKI Diponegoro.

Puji Kuswati dan dua putrinya menyeberangi jalan, memasuki kompleks gereja melalui pintu gerbang. Kerudung dan cadar hitam yang dikenakan Puji begitu kontras dengan setelan pakaian jemaat yang berjalan ke dalam gereja.

Puji bergegas menuju parkiran motor, sebelum akhirnya dikejar oleh Yesaya Bayang, satpam GKI Diponegoro.

Infografik Mozaik Teror Bom di Gereja Surabaya

Infografik Mozaik Teror Bom di Gereja Surabaya. tirto.id/Tino

TEPAT pukul 6 pagi, Pendeta Fendi Susanto melangkahkan kaki ke dalam gedung GKI Diponegoro. Minggu pagi itu ia memimpin ibadah pertama. Fendi sebenarnya bukan pendeta GKI Diponegoro; ia pendeta di GKJ Gondokusuman, Yogyakarta. Namun, Minggu itu, 13 Mei, ia diundang oleh majelis GKI Diponegoro untuk memberikan khotbah di sana.

Bertandang ke Surabaya seperti membuka kenangan lama bagi pria 49 tahun itu semasa kuliah. Dulu ia mengenyam sekolah Alkitab pada 1990 sampai 1993 di GPPS Sawahan. Ia pun punya banyak kawan akrab di Surabaya. Maka, dua hari sebelum ia bertolak ke Surabaya, Fendi menghubungi beberapa teman lama kuliahnya.

Salah satu yang dikontak Fendi adalah Martha Jumadi alias Bingbing, yang sepantaran dirinya, salah satu karibnya yang kini bekerja sebagai staf di GPPS Sawahan. Pada hari Sabtu, 12 Mei, Bingbing baru saja bertunangan. Karena itu Fendi ingin bertemu mengucapkan selamat sekaligus nongkrong bareng. Mereka pun berjanji akan bertemu pada hari Senin, 14 Mei.

Hari itu Fendi membawakan khotbah dengan tema "Allah Berhati Ibu." Tema itu permintaan dari majelis GKI Diponegoro yang disesuaikan dengan Hari Ibu Sedunia pada 11 Mei. Melalui tema itu Fendi menyampaikan bahwa Tuhan Allah yang selama ini selalu dimetaforakan sebagai Bapa sebenarnya memiliki sifat seorang Ibu.

“Dalam Injil Yesaya 49 ayat 15, Allah berfirman, ‘Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya?’” ujar Fendi di hadapan 300 jemaat. Pertanyaan itu dimaksudkan Fendi menjadi refleksi bersama jemaat.

Sebelum jam 07:30, ibadah sudah selesai. Fendi kembali ke ruang majelis bersama penatua Jozua Poli. Pada saat bersamaan, istri Fendi mengambil sepatu di mobil mereka yang diparkir di pinggir jalan. Saat kembali ke gedung gereja, istrinya sempat melihat sosok perempuan bercadar hitam bersama dua anak perempuan berjalan tergesa-gesa dan menyeberang ke arah gereja. Perempuan bercadar itu adalah Puji Kuswati.

Di parkiran motor, Yesaya Bayang, seorang satpam GKI Diponegoro, berusaha menarik Puji Kuswati dan dua anak perempuan itu agar tak masuk ke gedung gereja. Seketika bom yang dibawa oleh Puji meledak, tepat pukul 07:50.

Ledakan itu cukup keras. Pendeta Fendi dan penatua Jozua terkejut. Semula keduanya mengira itu bukan bom. Mereka melangkah keluar dari ruang majelis. Namun, baru tiba di depan pintu gereja, mereka mendengar istri Fendi berlari sambil berteriak.

BOM! BOM!

Orang-orang panik. Fendi sigap meminta warga masuk ke gereja. Saat itu ledakan kembali terdengar. Ledakan kedua itu membuat kedua anak perempuan Puji terkapar dan kehilangan nyawa. Sementara Yesaya terpelanting. Ia mengalami luka di bibir, patah kaki dan tangan. Tiga orang meninggal akibat ledakan bom tersebut.

PUKUL 6 pagi, Martha Jumadi alias Bingbing sudah sibuk di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Sawahan. Ia berdiri di depan gereja menyambut jemaat. Senyumnya mengembang. Sambil menjabat tangan, ia mengucapkan selamat hari Minggu kepada jemaat.

Setelah jemaat memasuki gedung gereja, ibadah pun dimulai. Bingbing tetap berada di luar gereja. Gembala Yonatan Biantoro yang memimpin ibadah pagi itu. Ibadah berlangsung cukup lama; hampir dua jam.

Sekitar pukul 07:50, petugas gereja membacakan pengumuman. Pertanda ibadah hampir selesai. Menyisakan kidung pujian penutup, berdoa, lalu jemaat pulang. Bingbing segera siaga begitu kidung penutup Kami Memuji Kebesaran-Mu dilantunkan jemaat dan dipimpin oleh Yonatan.

Saat itu mobil Avanza berwarna silver yang dikendarai Dita Oepriarto sudah dekat dengan GPPS. Dita menabrakkan mobil ke motor-motor yang terparkir tepat di depan gereja, sekitar 10 meter dari tempat Bingbing berdiri.

Tak sampai sepuluh menit, bom itu meledak. Lebih dahsyat dari dua bom sebelumnya. Ledakan ini membuat mobil terbakar. Api menjulang dan asap hitam pekat tertiup angin memasuki ruangan gereja.

Yonatan Biantoro kaget mendengar ledakan itu. Ia berhenti bernyanyi dan meminta warga untuk melangkah maju ke mimbar gereja dan keluar lewat pintu belakang. Gedung gereja dipenuhi asap hitam, menutupi pandangan.

Setelah api padam, Yonatan kembali ke dalam gereja, lalu mencari Bingbing. Tubuh Bingbing ditemukan di bawah tangga dengan kondisi sudah tak bernyawa.

Berdasarkan data kepolisian, serangan bom keluarga Dita Oepriarto itu menewaskan 18 orang dan melukai 43 orang. Setelah serangan bom di gereja, malamnya terjadi ledakan bom di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. Bom makan tuan itu menewaskan 3 orang keluarga teroris dan melukai 3 lainnya.

Esoknya, bom meledak di depan Markas Polres Kota Besar Surabaya pada pukul 08.51. Empat pelaku meninggal dunia. Sementara korban luka ada 4 polisi dan 7 orang, termasuk seorang anak pelaku.

Bom yang berentetan ini membuat Pendeta Fendi Susanto ngeri. Istrinya menjadi trauma, dan terlebih ia mendapat kabar bahwa karibnya, Bingbing, meninggal karena bom itu.

Ia berandai-andai. Jika saja ibadah berlangsung lebih lama, mungkin akan banyak korban yang meninggal. Jika istrinya mengambil sepatu lalu masuk ke gereja lewat pintu keluar, mungkin istrinya akan jadi korban. Jika ia tidak berangkat ke Surabaya, mungkin Bingbing masih hidup. Ia tidak perlu melayat Bingbing.

Fendi bahkan tidak pernah menyangka tema khotbahnya tentang "Allah Berhati Ibu" menjadi tidak kontekstual dengan hati seorang ibu yang dilihatnya Minggu pagi itu. Ibu itu tergeletak tanpa nyawa di parkiran gereja setelah meledakkan bom bersama dua anaknya.

“Ibu mana yang tega membunuh anaknya? Dengan cara yang tidak manusiawi ... dengan bom?”

***

Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat pada tanggal 15 Mei 2018 dengan judul "Bom di Gereja Surabaya: 'Hati Ibu Mana yang Tega Bunuh Anaknya?'

Baca juga artikel terkait TEROR BOM atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Humaniora
Reporter: Mawa Kresna & Tony Firman
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam