Menuju konten utama
Miroso

Mengenang Rasa Daging Rusa dan Santan Telur di Kota Bima

Ikan santa limbi adalah salah satu makanan Bima favorit saya.

Mengenang Rasa Daging Rusa dan Santan Telur di Kota Bima
Header Miroso Jejak Rasa Dari Bima. tirto.id/Tino

tirto.id - “Sao... sao... ngaha sao...! Sao... sao... tu’u mena ngaha sao! (Sahur… sahur… makan sahur! Sahur… sahur… ayo bangun makan sahur!)”

Suara anak-anak terdengar sahut-menyahut membangunkan warga untuk makan sahur. Mereka berkelompok berkeliling dari kampung ke kampung lain dengan membunyikan berbagai alat musik. Kentungan bambu, botol kaca, gendang, gong, tawa-tawa, dan musik MP3 dengan sound system. Kebanyakan mereka berjalan kaki, tapi ada pula yang membawa gerobak dorong untuk mengangkut alat-alat musiknya. Musiknya pun beragam, ada yang melantunkan “sahur… sahur…”, ada yang membunyikan rawa mbojo (dangdut Bima), ada juga yang berteriak-berteriak. Intinya, bisa membangunkan orang-orang yang tidur terlelap.

Memasuki bulan puasa selalu membawa kenangan saya ke masa-masa ketika masih tinggal bersama Nena dan Dae di Bima. Segala masakan di sana tak dapat saya temui di tempat lain, membuat rindu setengah mati.

Nena, ibu angkat saya, biasanya bangun lebih awal daripada kami semua untuk menyiapkan makan sahur. Santa dolu (santan telur) adalah salah satu menu sahur andalan beliau. Bahannya sederhana, hanya butuh telur ayam kampung hasil ternak sendiri, merica, santan dari kelapa parut, bawang merah, dan garam. Tak perlu sayur dan lauk lain lagi jika menu ini sudah ada.

Ketika aroma santa dolu sudah mulai tersebar di seisi rumah, saya akan segera terbangun, saling mendorong bersama Kaka Sri. Kami tidur bersama di satu kamar, suka berlomba siapa yang lebih dulu bangun dan mencuci muka agar segera dapat menyantap menu ini. Cukup dengan lauk ini, kami bisa punya cukup energi sepanjang hari.

Selain santa Dolu, uta maju mango (daging rusa kering) juga menjadi menu praktis andalan Nena untuk sahur. Daging rusa dimasak cukup sederhana, yaitu digoreng dengan bawang merah saja (uta maju ncango kai bawa). Menu ini bisa dimakan dengan sayur bening daun kelor, dengan bawang gorengnya yang jumlahnya lebih banyak dari daging rusanya.

Kasi’i (Kerang Dara), kapa’a (mirip kerang bambu tapi besar), tire (tiram), sepi (mirip udang rebon segar) juga jadi pilihan menu Nena yang kerap dimasak saat sahur. Tentu dengan cara masak yang tidak rumit. Pengelolaan kasi’i dan kapa’a, contohnya, cukup direbus saja. Sebagai bumbunya, irisan bawang merah ditambahkan saat memasak.

Sementara, untuk tire, keluarga saya lebih suka menyajikannya dalam versi mbohi (dimakan mentah dengan bumbu rempah yang banyak). Asam gunung, parutan laos melimpah, garam, jeruk dan bawang merah, menjadi bumbu utama. Cabai ditambahkan jika ingin sensasi rasa pedas. Meski begitu, tak jarang juga kami menumis tire, lalu dilalap dengan timun dan terong bulat atau dimakan dengan sayur bening kelor.

Jika ingin makan ikan bakar atau ikan kuah, Nena akan menghidangkan uta puru (ikan bakar) yang disantap dengan sambal doco sia dungga. Bahannya simpel, bawang merah iris tipis, cabe rawit, jeruk purut diperas airnya dan diiris daging buahnya serta kulitnya lalu tambahkan garam.

Sementara ikan bakarnya hanya direndam jeruk nipis dan garam, kemudian setelah dibakar, diberi perasan jeruk purut atau jeruk limau di seluruh tubuh ikannya. Sisa irisan jeruk tersebut diletakkan langsung di atas badan ikan tadi.

Infografik Miroso Jejak Rasa Dari Bima

Infografik Miroso Jejak Rasa Dari Bima. tirto.id/Tino

Ikan Lowi Bora (Ikan Kuah Segar) menjadi pilihan Nena kalau ingin memasak ikan kuah sederhana. Bumbunya menggunakan asam gunung, bawang merah, bawang putih, kunyit, cabai, kemangi gunung, tomat, dan temu kunci. Semua bahannya dicampur langsung dengan ikan, dan dimasak kuah.

Sama seperti kondisi sahur di tempat lain, masakan yang cepat dan tidak membuat repot tentu akan menjadi andalan karena terbatasnya waktu dan energi. Meski sederhana, kelezatan menu-menu Nena membuat kami tak pernah bosan makan sahur – meski itu berarti harus bangun pagi buta.

Semarak hidangan di bulan puasa tak hanya berhenti di waktu sahur. Waktu berbuka puasa pun menjadi selebrasi sederhana memanjakan lidah. Tentu, setelah seharian tidak menikmati hidangan apapun, menu berbuka puasa biasanya hadir lebih lengkap.

Nena kerap membuat kudapannya sendiri, seperti karedo maci kandole (bubur ketan bulat manis). Bubur ini hanya muncul di bulan Ramadan saja, membuatnya terasa lebih istimewa. Penjual keliling juga akan bermunculan menjajakan bubur ini. Ada yang berwarna hitam (ketan hitam), putih (ketan putih) dan merah (ketan putih dimasak dengan gula aren). Rasa bubur ini manis, gurih, dengan aroma pandan kuat.

Kudapan lainnya adalah kolak pisang, yang di Bima disebut dengan palumara kalo. Kolak pisang Bima teksturnya kental karena dicampur dengan sagu mutiara, santan kental, gula tebu/gula aren. Penggunaan jenis pemanisnya menghasilkan warna yang berbeda: berwarna pink jika hanya menggunakan gula tebu, dan berwarna merah kecoklatan jika menggunakan gula aren.

Kalau kolak labu kuning (palumara ponda) biasa dibuat Dae, ibu kandung saya. Yang istimewa dari masakannya adalah penggunaan telur kocok pada kuahnya. Hasilnya, rasa santan kental berpadu dengan gurihnya telur.

Nena tak berhenti berkreasi pada kudapan-kudapannya saja. Sajian lauk-pauk pun tak luput dari perhatian beliau. Ikan merupakan salah satu bahan utama yang paling sering kami masak.

Ikan tongkol bale toma (ikan tongkol asap bumbu tomat) dibumbui mirip bumbu Bali, lalu ditambahkan tomat dan rempah-rempah lainnya. Kemudian ada juga dua jenis pepes ikan: bumbu lengkap (uta kato basa) dan bumbu sederhana (uta kato). Kedua jenis pepes ini saya suka sekali, tapi yang paling saya tunggu adalah ketika Nena memasak uta kato mangge laja (ikan pepes asam muda ikan layang) dengan sayur bening kelor yang ditambahkan pucuk labu, dumu loa (tunas buah loa), kemangi gunung, okra, dan bunga labu kuning.

Sementara, Dae kerap pula menyajikan ikan santa limbi (Ikan Asap Tongkol/Tuna/Cakalang), yang dimasak santan dengan belimbing wuluh. Bumbu laos dan mericanya terasa tebal. Untuk membuat menu ini, digunakan ikan asap dengan pelepah pohon pinang – lalu ditambahkan berbagai rempah seperti cabai, bawang merah, bawang putih, merica, laos, garam, santan kental, tomat, belimbing wuluh, dan asam gunung.

Bulan puasa seperti saat ini selalu membuat saya rindu masakan kedua Ibu di Bima. Rindu dengan tanah dan isi alamnya yang lama saya tinggalkan. Rindu dengan ragam makanan yang tersaji sekali setahun. Rindu bangun tengah malam dan ikut memukul kentongan bambu serta botol bersama teman-teman kecil dulu.

“Sao... sao... ngaha sao...! Sao... sao... tu’u mena ngaha sao!"

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Muslimah

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Muslimah
Editor: Nuran Wibisono