Menuju konten utama
29 Juli 1947

Mengenang Gugurnya Rombongan Adisucipto

Tepat 70 tahun silam, Belanda menembak jatuh Pesawat Dakota VT-CLA di Yogyakarta.

Mengenang Gugurnya Rombongan Adisucipto
Ilustrasi Adi Sucipto. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Sore 29 Juli 1947 itu rupanya menjadi senja terakhir bagi Agustinus Adisucipto. Pesawat pembawa obat-obatan dari India yang ditumpanginya terkena tembakan dua pesawat pemburu milik Belanda. Laju sang burung besi tanpa perlengkapan tempur itu pun tak terkendali dan meluncur liar sebelum akhirnya jatuh, menghantam areal persawahan di selatan Yogyakarta.

Dua pesawat Kitty Hawk milik Angkatan Perang Belanda itu memberondong pesawat yang dinaiki Adisucipto dan 8 orang lainnya dengan beberapa kali tembakan. Pilot sebenarnya sudah berusaha mengarahkan pesawat ke landasan Lapangan Udara Maguwo, tapi gagal (Irna Hanny Nastoeti Hadi Soewito, dkk., Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950, 2008:107).

“Pesawat itu kemudian meledak dan patah menjadi dua. Semua penumpang tewas termasuk Pak Karbol, Pak Abdulrahman Saleh, wing commander dari India dan Australia. Satu-satunya yang selamat adalah Pak Gani,” kenang salah seorang saksi mata musibah itu (Kompas, 19 Agustus 1979).

Pak Karbol yang dimaksud tidak lain adalah Adisucipto, perwira muda AURI berprestasi yang sebenarnya dinanti masa depan cerah seumpama peristiwa memilukan itu tidak terjadi. Turut gugur pula rekan sejawatnya dari AURI, Abdulrahman Saleh dan Adisumarmo Wiryokusumo.

Masih ada 5 orang yang tewas dalam insiden itu: pilot Australia bernama Alexandre Noel Constantine beserta istrinya, co-pilot asal Inggris Roy Hazelhurst, teknisi berkebangsaan India Bhida Ram, dan Atase Perdagangan RI di Singapura, Zainal Arifin (Reports Service: Southeast Asia Series, 1966:93). Sedangkan rekan Zainal, Abdul Gani Handonocokro, secara ajaib selamat dari peristiwa maut tersebut.

Saat Belanda Gelap Mata

Pesawat jenis Dakota VT-CLA itu bukan untuk bertempur, melainkan pesawat bantuan dari seorang pengusaha India. Bahkan, pesawat tersebut mengangkut obat-obatan untuk rakyat Indonesia yang terluka akibat agresi militer Belanda yang dimulai sejak 21 Juli 1947. Namun, Belanda terlanjur gelap mata sehingga tanpa ampun menggempur si Dakota yang bersiap mendarat di Lapangan Terbang Maguwo, Yogyakarta.

Kecaman dunia internasional terhadap Belanda pun berdatangan usai kejadian tersebut. Suara paling keras datang dari negara-negara yang warganya menjadi korban, yakni Indonesia, Inggris, dan Australia, juga India. Negara-negara tersebut juga menuntut ganti rugi kepada Belanda (Sutrisno, Marsekal TNI Suryadi Suryadarma, 1986:76).

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) akhirnya turun tangan dan memberikan imbauan kepada Belanda untuk segera mengakhiri agresi militernya. Aksi sepihak Belanda itu sejatinya sudah merupakan pelanggaran hasil Perundingan Linggarjati yang disepakati beberapa bulan sebelumnya, 25 Maret 1947.

Desakan PBB dan khalayak internasional ternyata mampu mengecilkan nyali Belanda Tanggal 15 Agustus 1947, pemerintah Kerajaan Belanda menyatakan akan menerima resolusi DK-PBB untuk menghentikan agresi militernya (Nyoman Dekker, Sejarah Revolusi Indonesia, 1989:75).

Belanda akhirnya menghentikan serangan. Namun, gencatan senjata itu ternyata hanya sementara. Belanda kembali mengingkari janji perundingan yang disepakati berikutnya dengan menggencarkan operasi militer yang lebih besar pada 19 Desember 1948, yakni Agresi Militer Belanda II.

Infografik Mozaik Adi Sucipto

Infografik Mozaik Adi Sucipto. tirto.id/Sabit

8 Orang Tewas, 1 Selamat

Dari 9 penumpang pesawat nahas yang dijatuhkan Belanda tersebut, ada satu orang yang ternyata lolos dari maut, yakni Abdul Gani Handonocokro. Orang yang sangat beruntung ini adalah rekan Zainal Arifin, atase perdagangan RI di Singapura. Keduanya turut menumpang kembali ke tanah air saat pesawat tersebut transit di negeri tetangga itu.

Abdul Gani Handonocokro sebenarnya dua kali dinaungi kemujuran. Pertama tentu saja karena ia masih hidup kendati pesawat yang ditumpanginya mengalami celaka dan menewaskan 7 penumpang lainnya. Dan yang kedua, ia selamat dari amukan massa yang berdatangan ke lokasi kejadian tak lama setelah pesawat itu jatuh.

Masyarakat mengira, pesawat yang jatuh itu milik Belanda karena ada beberapa orang asing yang menjadi korbannya. Rakyat yang sudah muak dengan ulah Belanda pun mencari-cari apakah masih ada penumpang yang selamat. Dan ternyata ada, yakni Abdul Gani Handonocokro.

Abdul Gani pun tidak memungkiri kenyataan itu. Dengan kondisi terluka yang cukup parah, ia berusaha mencari ruang sembunyi di dalam pesawat yang sudah ringsek. Hampir saja ia ketahuan. Beruntung, sebelum itu terjadi, amuk massa bisa dihentikan oleh sejumlah orang yang memang berniat melakukan evakuasi (Kompas, 8 September 1979).

Tim itu terdiri dari beberapa anggota Kepanduan (kini Pramuka), dipimpin Tino Sidin, yang melihat langsung pesawat tersebut terbakar di udara sebelum akhirnya menukik ke bawah. Tino Sidin segera menggerakkan anggotanya ke lokasi jatuhnya pesawat (Daoed Joesoef, Tino Sidin Guru Gambar dan Pribadi Multi Dimensional, 2014:55). Kelak, Tino Sidin dikenal sebagai pelukis yang sangat populer pada era 1980-an.

Peristiwa penembakan pesawat oleh Belanda pada 29 Juli 1947, tepat 72 tahun itu menyisakan duka mendalam bagi AURI dan rakyat Indonesia. Ketiga anggota AURI yang menjadi korban pun diabadikan sebagai nama bandar udara: Adisucipto di Yogyakarta, Abdulrahman Saleh di Malang, dan Adisumarmo di Solo.

Adisucipto, Abdulrahman Saleh, dan Adisumarmo kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI sebagai bentuk penghargaan atas pengorbanan mereka ketika melaksanakan tugas kemanusiaan sekaligus tugas negara. Tanggal 29 Juli pun diperingati sebagai Hari Bhakti Angkatan Udara.

====

Artikel ini pertama kali terbit di Tirto pada 29 Juli 2017. Naskah mengalami editing minor untuk ditayangkan ulang pada rubrik Mozaik Tirto.id.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti