Menuju konten utama
Miroso

Mengenang Banyumas 90-an Lewat Aneka Jajanan Lebaran

Di Banyumas, ada beberapa jajanan yang identik dengan lebaran, seperti widaran banjar, nopia, atau bolu emprit.

Mengenang Banyumas 90-an Lewat Aneka Jajanan Lebaran
Header Miroso Jajanan Lebaran banyumas. tirto.id/Tino

tirto.id - Beberapa waktu lalu saya cukup bahagia melihat sebungkus kue widaran banjar di sebuah toko kue Tionghoa langganan mendiang budhe saya. Kue yang biasa saya nikmati semasa kecil itu cukup lama tidak pernah saya temui. Sepertinya karena memang sekarang cukup jarang dijual di toko kue pada umumnya. Entah mengapa dinamai widaran banjar, sampai sekarang saya belum menemukan jawabannya.

Kue widaran sendiri adalah salah satu kue kering jadul khas lebaran yang berbahan dasar tepung terigu dan telur; serta memiliki tekstur dan jenis kepadatan yang berbeda. Kue ini memiliki beberapa variasi, yakni widaran manis bersalut gula halus, widaran bersalut wijen, dan widaran keju atau lebih dikenal sebagai gabus keju.

Dalam Bausastra Jawa, widaran didefinisikan sebagai nama makanan dari tepung ketela yang dicetak dengan cara dipilin tangan (araning panganan sing digawe glepung ketela diglintiri). Karena dicetak dengan cara dipilin, maka ketiga bentuk kue widaran tersebut hampir mirip, yakni kedua ujungnya runcing dan bagian tengahnya menggembung.

Dapat diduga bahwa widaran adalah salah satu kudapan jadul yang cukup banyak ditemui di Jawa. Dibandingkan dengan kue widaran banjar yang saya sebutkan di awal tadi, ketiga jenis widaran tersebut lebih mudah didapatkan di toko makanan.

Widaran banjar memang berbeda. Teksturnya lebih keras ketika digigit dan terasa ulet ketika dikunyah. Bahan utamanya bukan tepung terigu seperti jenis widaran lainnya, melainkan menggunakan tepung ketan. Telur, gula, vanili, mentega, dan baking soda merupakan bahan lainnya.

Proses memasaknya pun berbeda.

Apabila ketiga jenis widaran lainnya dimasak dengan cara digoreng, widaran banjar dimasak dengan menggunakan oven. Selain itu, bentuk widaran banjar juga berbeda, yakni berbentuk bundar berlubang dengan tepian berkelopak seperti bunga, berwarna coklat muda mengkilap dengan diameter 5-6 centimeter, tebal 2 centimeter, dan lebih ringan dibandingkan ketiga widaran lainnya. Tentunya widaran banjar memerlukan stoples yang besar karena memang memerlukan lebih banyak ruang untuk menyimpannya.

Pertemuan awal saya dengan widaran banjar adalah sekitar tahun 1991, saat saya masih menjadi siswa Taman Kanak-Kanak. Saya yang biasanya berlebaran hanya dengan kue kering buatan eyang, tiba-tiba mendapat pengalaman baru bertemu kue jenis lain ketika diajak berkunjung ke rumah siwa nyai, bibinya bapak, di Purworejo.

Kue kering buatan eyang merupakan kue yang cukup lumrah hingga saat ini, yakni kastengels, nastar, dan lidah kucing. Ketika bertandang di rumah siwa nyai yang masih berupa rumah joglo, saya mencicipi widaran banjar, kue nopia, dan kue bolu emprit warna merah muda yang semuanya tersaji dalam stoples kaca berukuran besar.

Selama ini, kue nopia dan kue bolu emprit cukup mudah saya temui di pasar atau di toko oleh-oleh. Di daerah saya, kue nopia kerap disebut sebagai endhog bulus (telur penyu) karena memang bentuknya mirip telur penyu ketika ditata dalam stoples. Berwarna putih dengan bentuk setengah bulat, kue nopia memiliki tekstur bagian atas yang ulet ketika digigit atau diretakkan. Sementara itu, bagian bawahnya yang biasanya gosong akibat proses pemanggangan bertekstur tebal dan agak keras. Justru itulah yang menjadi sensasi bagi anak kecil semacam saya kala itu. Terlebih, isian manis yang pulen di dalamnya juga menjadi daya tarik.

Kala itu, isian kue nopia yang saya cicipi hanya memiliki satu rasa, yakni semacam karamel gula aren dengan aroma bawang merah. Seiring bergulir waktu, kue nopia yang saya temui rupanya memiliki aneka variasi. Ada jenis kue nopia dengan ukuran lebih besar dan lonjong mirip telur angsa. Ada juga nopia dengan warna dan aroma kulit yang berbeda, misalnya warna hijau dengan aroma pandan dan warna merah dengan aroma frambos. Isian kue nopia pada umumnya masih tetap dominan rasa gula aren, meski ada tambahan rasa dan aroma, seperti durian, cokelat, pandan, nangka, atau nanas.

Infografik Miroso Jajanan Lebaran banyumas

Infografik Miroso Jajanan Lebaran banyumas. tirto.id/Tino

Belakangan ini, saya baru tahu jika kue nopia telah tercatat menjadi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Jawa Tengah karena sejarah pembuatan dan cita rasanya yang unik. Kue nopia mulai diproduksi dan dijual oleh keluarga Tionghoa di sekitaran Banyumas pada awal abad abad 19. Pembuatannya cukup rumit dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Cara pemanggangannya pun cukup unik; tidak menggunakan loyang datar dan oven, tetapi adonan kue nopia ditempelkan langsung di bagian dalam dinding tungku.

Tungku dari tanah liat itu dipanaskan dengan cara memasukkan api dan kayu bakar yang membara ke dalamnya. Setelah terasa panas, arang dari kayu bakar dikeluarkan dari tungku. Setelah itu, barulah adonan kue nopia yang pipih ditempelkan satu persatu hingga mengembang. Pelibatan pengetahuan lokal tersebutlah yang sekiranya menjadikan kue nopia layak ditetapkan sebagai WBTb.

Selain kue nopia, kue bolu emprit juga masih kerap saya beli ketika rindu mengudapnya. Bolu emprit ini boleh dibilang mirip meringue, tetapi tekstur dan rasanya berbeda. Kemiripannya adalah sama-sama berupa kue kering yang mudah meleleh di mulut ketika dimakan. Bolu emprit yang berbentuk setengah bulat itu memiliki permukaan yang tidak rata seperti kulit jeruk purut. Biasanya bolu emprit berwarna putih, merah muda, atau hijau muda.

Kue bolu emprit mungkin menjadi satu-satunya kue bolu yang tidak empuk. Bolu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Portugis, bolo, yang berarti kue empuk berbahan dasar tepung terigu, telur, dan gula. Entah mengapa orang Yogyakarta menamai kue kering satu ini dengan sebutan bolu. Bahan utama bolu emprit juga tidak menggunakan tepung terigu dan telur, tetapi tepung tapioka, kelapa parut, baking powder, air jahe, garam, dan gula.

Ketika semua bahan utama tersebut telah dijadikan adonan, proses pemanggangan dengan oven menjadi tahap akhir pembuatan kue bolu emprit. Sementara itu, istilah emprit hanyalah kiasan yang merujuk pada burung emprit yang mungil. Bagi saya, kue bolu emprit memiliki rasa yang sangat manis sehingga lebih cocok jika diminum dengan teh tawar hangat. Kue kering ini memiliki rasa dan aroma jahe sebagai ciri khasnya.

Jajan lebaran era 90-an dapat ditentukan tuan rumah sebagai klangenan atau makanan kegemaran. Misalnya, eyang saya yang gemar membuat kue kering sendiri atau ibu saya yang gemar membeli biskuit kalengan supaya praktis. Sementara itu, siwa nyai nampaknya memilih membeli ketiga kue jadul tersebut di toko kue. Selain jajanan kering, siwa nyai juga menyediakan kudapan basah yang umumnya disajikan saat lebaran, seperti manisan belimbing wuluh, manisan ceremai, dan tapai hijau. Ketika berpamitan, saya dibekali sekantong plastik kue bolu emprit dan dua lembar uang kertas hijau bergambar orang utan.

Kira-kira apa jajan lebaranmu yang paling berkesan di masa kecil?

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Laras Aridhini

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Laras Aridhini
Editor: Nuran Wibisono