Menuju konten utama

Mengenal Tipe Adopsi, Mitos dan Fakta Seputar Anak Angkat

Mengenal tipe adopsi anak, mitos dan fakta yang berkembang seputar anak angkat.

Mengenal Tipe Adopsi, Mitos dan Fakta Seputar Anak Angkat
Ilustrasi adopsi anak. foto/istockphoto

tirto.id - Orang dewasa yang memutuskan untuk mengadopsi seorang anak, memiliki hak dan tanggung jawab sebagai orang tua kandung terhadap anak yang diadopsinya.

Adopsi merupakan tindakan mengangkat anak orang lain sebagai anaknya sendiri.

Dilansir dari laman resmi Parents, terdapat sebanyak 2,3 persen anak di bawah umur yang diadopsi atau tinggal bersama orang tua angkat.

Menurut Biro Sensus Amerika Serikat tahun 2010, angka tersebut sama halnya dengan terdapat 2.072.312 anak di bawah 18 tahun yang diadopsi.

Namun begitu, tidak sedikit anak-anak yang masih membutuhkan dukungan agar dapat menemukan keluarga yang mereka inginkan.

Dua tipe adopsi

Terdapat 2 tipe adopsi anak seperti yang diwartakan oleh Planned Parenthood:

1. Adopsi tertutup

Tipe adopsi ini merupakan situasi ketika orang tua angkat tidak banyak berhubungan dengan orang tua kandung anak yang diadopsi.

Situasi tersebut dikenal juga dengan adanya keterbatasan informasi di antara keduanya, sehingga tipe ini dapat menjadi pilihan ketika orang tua angkat menginginkan privasi yang lebih luas.

2. Adopsi terbuka

Tipe adopsi ini, biasanya terjadi ketika hubungan antara orang tua angkat dan orang tua kandung sudah terjalin sebelum proses adopsi, bahkan anak yang akan diadopsi nantinya sudah mengetahui hal ini sebelumnya.

Amerika Serikat merupakan negara yang paling sering menjalani tipe adopsi ini.

Tidak jarang ke dua belah pihak, masih terus menjalin hubungan hingga anak beranjak dewasa.

Tipe adopsi terbuka, akan memberikan lebih banyak pilihan kepada orang tua angkat untuk melihat latar belakang anak yang akan diadopsinya, bahkan terdapat regulasi khusus untuk melakukan kunjungan dengan anak yang akan diadopsi.

Mitos anak adopsi

Meski begitu menurut Pijar Psikologi, terdapat stereotip ataupun stigma yang ada pada masyarakat terhadap anak adopsi, di antaranya:

1. Anak adopsi dapat dijadikan sebagai "pancingan"

Adanya tekanan sosial membuat orang tua yang belum dikaruniai anak tidak jarang memutuskan untuk mengadopsi seorang anak. Langkah ini biasanya disebut "pancingan" agar segera diberikan anak.

Padahal, cara ini belum bisa dibenarkan untuk dijadikan motivasi dalam mengadopsi seorang anak, meski memang benar akan meringankan tekanan sosial.

Orang tua yang ingin mengadopsi anak lebih baik dapat melakukannya dengan benar dan tanpa paksaan.

2. Anak yang diadopsi lebih berpotensi "bermasalah" daripada anak kandung

Kondisi psikis yang dialami anak adopsi memang beragam seperti, masalah neurologis ataupun sosial.

Biasanya hal itu terjadi karena adanya trauma, stigmatis, perubahan budaya, ataupun kondisi orang tua kandung yang tidak harmonis. Akan tetapi, hal ini jarang sekali tercatat data lengkapnya.

Padahal sebenarnya, anak yang diadopsi perlu keterbukaan dengan orang tua angkat. Keterbukaan tersebut seperti, anak adopsi memahami asal-usul keluarga kandungnya.

Orang tua angkat perlu memahami konsep adopsi dengan baik, sehingga tidak melakukan tindakan yang tidak diinginkan, termasuk menghilangkan identitas asli anak adopsi.

Hal tersebut penting karena, terdapat regulasi resmi yang mengatakan bahwa anak adopsi tetap memiliki hubungan darah dengan orang tua kandung. Tidak hanya itu, orang tua angkat juga wajib memberitahukan anak adopsinya terkait asal-usulnya.

Secara psikologis, keterbukaan antara orang tua angkat dan anak adopsi akan berdampak pada konsep dan harga dirinya ketika beranjak dewasa.

Selain itu, anak adopsi akan memahami perbedaan peran orang tua adopsi dan orang tua kandung dalam hidupnya.

3. Orang tua angkat tidak menyayangi anak adopsi

Keputusan untuk mengadopsi anak bukanlah hal yang mudah untuk dapat dilakukan, maka dari itu mereka juga harus dapat memastikan bahwa mereka adalah calon orang tua angkat yang dapat memberikan kasih sayang, dan perhatian yang cukup untuk anak adopsinya.

Walaupun orang tua kandung dipandang dapat lebih memberikan semua itu dengan baik, namun sebenarnya cinta dan keterikatan tidak bisa diukur hanya dengan faktor keturunan saja.

4. Adopsi anak hanya dapat dilakukan oleh pasangan yang menikah

Seperti yang tertulis pada Peraturan Pemerintahan (PP) nomor 54 tahun 2007 tentang kewajiban yang harus dimiliki orang orang tua kandung seperti, dukungan finansial, lingkungan, asal usul anak agar dapat meningkatkan kualitas hidup anak nantinya.

Biasanya keputusan mengadopsi anak tanpa adanya ikatan pernikahan, akan membuat orang dewasa menjadi single parent.

Sehingga orang dewasa tersebut perlu memperhatikan regulasi yang berlaku agar betul-betul siap mengembangkan kualitas anak yang lebih baik.

Baca juga artikel terkait ANAK ADOPSI atau tulisan lainnya dari Ega Krisnawati

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Ega Krisnawati
Penulis: Ega Krisnawati
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno