Menuju konten utama

Mengenal Tharid, Hidangan Favorit Nabi Muhammad SAW

Bagi Nabi Muhammad SAW, tharid adalah makanan paling enak.

Mengenal Tharid, Hidangan Favorit Nabi Muhammad SAW
Ilustrasi sup. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - "Sama seperti tharid yang lebih sedap ketimbang semua masakan, begitu pula Fatimah yang lebih hebat dibandingkan semua perempuan."

Kalimat dari Nabi Muhammad SAW itu pernah dikisahkan oleh al-Bukhari dan tercantum dalam Sahih al-Bukhari. Nabi memang sangat menggemari tharid. Bahkan dalam Medieval Cuisine of the Islamic World: A Concise History with 174 Recipes (2007), disebutkan bahwa tharid adalah hidangan paling favorit Nabi, yang ia umpamakan sama superiornya dengan Fatimah, putri kesayangannya.

Tharid adalah masakan kaldu dengan isian utama kacang chickepa, atau himmis dalam Bahasa Arab. Cara membuatnya gampang. Dalam Sugar in the Social Life of Medieval Islam (2014), resepnya ditulis sebagai berikut:

150 gram kacang chickepa direndam hingga mengembang. Lalu masukkan dua ayam yang sudah dipotong-potong, 9 gram biji jintan yang dibungkus kain bersih, serta garam, rebus. Bumbu lain adalah bawang bombay, potongan keju tajam (jubn). Setelah kaldu matang, taburkan lada hitam. Lalu masukkan 7 telur mentah, sehingga, "sup itu tampak seperti mata sapi (uyun al-baqar)." Kaldu kental itu kemudian disantap bersama roti semolina (khubz samidh) yang disiram dengan tambahan kaldu (maraq).

Masakan berbasis kaldu sudah berusia nyaris sama tua dengan peradaban manusia. Victoria R. Rumble dalam Soup Through the Ages (2009) menyebut bahwa sup adalah hidangan pertama yang benar-benar disiapkan oleh umat manusia. Sebelum itu, manusia zaman batu hanya memotong daging dan membakarnya.

Kaldu sudah ada sejak zaman batu. Bahkan saat itu belum ada panci atau kuali. Saat itu, kaldu dibuat dengan meletakkan air dalam kantung yang terbuat dari kulit hewan. Kemudian mereka membakar batu hingga merah menyala. Di kantung berisi air itu dicemplungkan aneka daging, tulang, lemak, rempah, juga bulir gandum liar. Tahap akhir: masukkan batu yang panas itu dalam kantung. Batu yang sudah dingin akan diganti dengan batu panas berikutnya. Tahapan itu terus diulang hingga air menjelma kaldu.

Sejarah kaldu kemudian memasuki babak baru ketika orang-orang Cina zaman dulu berhasil membuat kuali tanah liat pertama sekitar 22.000 tahun lalu. Kemudian panci dari perunggu dibuat sekitar 4.000 SM.

Kaldu jadi bahan dasar penting yang bisa menjelma jadi ribuan jenis masakan. Untuk sup, misalkan. Sup yang enak jelas terbuat dari kaldu yang dibuat dengan baik. Makanan ini kemudian jadi populer di seluruh dunia karena bahannya yang murah dan mudah dibuat.

Pada masa Romawi Kuno, sup adalah makanan andalan para fakir miskin dan tentara. Ketika bahan isian sudah habis, tinggal ditambahi sayuran lagi, lalu kembali direbus. Pembuatan sup lalu menyebar ke mana-mana, dengan segala versinya. Yang tak banyak disadari orang kala itu, sup adalah makanan yang amat bergizi.

"Tak ada makanan yang diterima secara universal ketimbang sup," tulis Sally Fallon Morell dan Kaayla T. Daniel dalam Nourishing Broth: An Old-Fashion Remedy for the Modern World (2014).

infografik kaldu

Ada banyak jenis makanan kuah dengan basis kaldu. Di Jepang, dashi adalah jenis kaldu paling populer. Ia terbuat dari kombu (sejenis rumput laut yang dikeringkan) dan sisiran ikan tuna kering. Dashi ini yang kemudian menghasilkan umami alias gurih, rasa terakhir yang ditemukan umat manusia selain manis, asam, pahit, asin. Dashi menjadi dasar bagi banyak makanan Jepang. Mulai dari sup miso, takoyaki, okonomiyaki, udon, dan ramen.

Di Italia ada sup bernama minestrone, sup kental yang yang terbuat dari kaldu sayuran atau kaldu daging. Ada pula gazpacho, sup asal Spanyol yang terbuat dari kaldu sayuran dan disantap dingin.

Di Indonesia, jelas ada banyak makanan berbasis kaldu. Mulai dengan yang paling umum: soto. Dari satu jenis makanan itu, jenisnya bisa amat beragam. Mulai soto Betawi yang memakai kaldu daging sapi, hingga soto Banjar yang pakai kaldu ayam kampung. Lalu ada pula sop ayam. Bakso. Gulai. Tongseng. Tengkleng. Hingga kaldu kokot khas Sumenep yang mencampur kaldu daging (bisa sapi atau ayam), dengan kacang hijau.

Pada 1735, diciptakan kaldu kering dengan berbagai bentuk, dari tablet, butiran, hingga kotak. Ini mempermudah kerja membuat kaldu. Kehadiran MSG memungkinkan produksi kaldu bubuk skala industri. Maggi, perusahaan asal Swiss, adalah yang pertama memproduksi kaldu bubuk berbentuk kubus pada 1908. Langkah itu kemudian diikuti perusahaan Inggris, Oxo, membuat produk serupa pada 1910.

Tentu saja, kaldu yang dibuat dari nol lebih superior ketimbang kaldu bubuk buatan pabrik. Sally Fallon Morell, dalam prakata untuk Nourishing Broth, menyebut bahwa banyak merek kaldu kering sama sekali tak mengandung kaldu kering. Gantinya adalah bahan penyedap tambahan. Mulai bubuk bawang bombay, sodium bicarbonate, hingga MSG.

Namun tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran kaldu bubuk membuat mudah hidup banyak orang. Seorang mahasiswa kos yang sedang demam, tak perlu repot-repot membuat kaldu dari daging atau tulang. Cukup memotong sayur, merebus air, dan menambahkan kaldu bubuk. Semangkuk sup bisa hadir dengan lekas.

Tak perlu khawatir, masih banyak masakan Indonesia yang dibuat dengan kaldu sebenar-benarnya. Mulai bakso hingga soto, dari skala buatan Ibu terkasih, warung, hingga restoran. Menyitir perkataan Nabi Muhammad SAW, makanan yang dibuat dengan kaldu dari nol jelas lebih sedap ketimbang yang memakai kaldu bubuk pabrikan.

Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono