Menuju konten utama

Mengenal Tenun Baduy yang Penuh Nilai Historis dan Mendunia

Mengenal tenun adat Baduy, proses pembuatan serta makna motifnya. 

Mengenal Tenun Baduy yang Penuh Nilai Historis dan Mendunia
Ilustrasi Tenun Baduy. foto/istockphoto

tirto.id - Kain tenun merupakan salah satu kain tradisional khas yang bisa ditemukan seluruh daerah di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa, Banten, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Papua, dengan ciri khas masing-masing.

Di setiap daerahnya, tenun memiliki makna, nilai sejarah, dan teknik yang tinggi dari segi warna, motif, jenis bahan, serta benang yang digunakan.

Menurut kepercayaan masyarakat Baduy, menenun merupakan wujud dari ketaatan yang dilakukan perempuan Baduy terhadap adat yang dijunjung.

Prosesnya dimulai dengan pembuatan benang. Bahan pembuat benang terdiri dari dua jenis, yaitu daun pelah dan kapas.

Masyarakat Baduy menggunakan alat yang mereka ciptakan sendiri sejak ratusan tahun lalu untuk memintal kapas yang disebut dengan gedogan atau raraga.

Proses pembuatan benang dengan bahan kapas dimulai dengan memilih buah kapas yang sudah matang kemudian dijemur agar buah kapas pecah.

Langkah selanjutnya adalah memisahkan antara kulit dari isinya. Isi kapas yang sudah terpisah dari kulitnya kemudian ditarik-tarik agar mengembang dan lembut saat dibuat benang.

Kemudian dilanjutkan dengan proses nyikat (penyampuran isi kapas dengan air bubur nasi), ngilak (penggulungan isi kapas), dan nganteh (pemintalan kapas menjadi benang).

Dilansir dari laman Kemendikbud, terdapat 6 tahap yang harus dilalui dalam menun, yaitu nganjingjing, nalimbuhan, ngasupkeun pakan, nyisir, ngajingjing, dan keteg.

Proses tersebut diulang-ulang dari tahap pertama ke selanjutnya sampai dengan selesai.

Tenun Baduy memiliki khas bahannya yang agak kasar dan warnanya cenderung dominan. Bintik-bintik kapas dari proses pemintalan tradisional telah menghasilkan tekstur khas tenun Baduy.

Masyarakat Baduy awalnya menghasilkan kain tenun untuk memenuhi kebutuhan sandang. Motif yang umum dibuat oleh masyarakat Baduy adalah motif geometris, seperti garis berbentuk kait, spiral atau disebut juga pilin, garis lurus, segi tiga, segi empat, dan bulatan.

Suku Baduy menggunakan kain tenun ini sebagai bahan utama pembuatan baju adat. Terlebih lagi jika menyangkut dengan Suku Baduy Dalam yang masih memegang teguh aturan adat.

Pakaian harus terbuat dari kapas dan tidak boleh menggunakan mesin jahit dalam pembuatannya.

Menurut masyarakat Suku Baduy Dalam, kain tenun yang didominasi dengan warna putih diartikan dengan suci dan aturan yang belum terpengaruh dengan budaya luar.

Sedangkan untuk masyarakat Baduy Luar, kain tenun akan didominasi warna hitam dan biru tua menjadi warna yang sering dipakai. Untuk kaum perempuan kain digunakan dalam membuat baju adat yang memiliki bentuk menyerupai kebaya.

Seiring berkembangnya zaman, masyarakat Baduy Luar kemudian menambahkan warna merah muda, kuning, dan kuning emas. Alasan penggunaan lebih banyak variasi warna adalah seperti yang diungkapkan dalam pepatah “moal aya putih mun teu aya hideung, moal rame dunia mun eweuh warna” (Tidak ada warna putih kalau tidak ada warna hitam, Tidak akan ramai dunia kalau tidak ada warna).

Dikutip dari penelitian yang diunggah dalam Journal ITB, Masyarakat Baduy Luar menggunakan selendang sebagai pelengkap dari pola tata rias masyarakat.

Beberapa motif yang digunakan adalah motif poleng kacang herang, adu mancung, dan lamak putih (motif putih polos).

Pada masyarakat Baduy, selendang dapat dikatakan memiliki multi fungsi. Selendang dipergunakan untuk keperluan fungsional seperti menggendong anak, ikat pinggang, sabuk, kerudung, kemben, dan ikat kepala.

Selain itu, dalam upacara tradisional, masyarakat Baduy juga mengenakan selendang untuk upacara kawalu, ngalaksa, seba, upacara menanam padi, dan upacara kelahiran.

Saat bulan purnama atau tanggal 16 setiap bulannya pada saat ritual 3 bulan kawaluh merupakan bulan suci bagi masyarakat Baduy, dimana kegiatan menenun dilarang.

Mereka meyakini bahwa di masa ini para dewa-dewi sedang menenun sehingga manusia dilarang untuk melakukan kegiatan yang sama. Kepercayaan ini dikenal dengan Pantang Geneup Belas.

Kini, keberadaan kain tenun tak hanya di Indonesia namun telah merambah dunia luar. Permintaan kain tenun datang dari beberapa negara seperti Jepang, Vietnam, dan Korea Selatan. Tak hanya itu, kain tenun juga pernah di pamerkan di Eropa dalam ajang Paris Fashion Week.

Baca juga artikel terkait SUKU BADUY atau tulisan lainnya dari Ninda Fitria

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ninda Fitria
Penulis: Ninda Fitria
Editor: Yandri Daniel Damaledo