Menuju konten utama

Mengenal Soda Tradisional dari Jawa

Mereka pernah berjaya di era 1960 dan 1970-an. Namun mulai terdesak saat minuman soda dari Amerika Serikat masuk Indonesia.

Mengenal Soda Tradisional dari Jawa
Ilustrasi minuman soda Cap Badak. tirto.id/gery

tirto.id - Minuman berkarbonasi, populer dikenal sebagai soda, adalah salah satu minuman paling populer sejagat. Di kategori minuman ini, ada Coca-Cola yang amat termasyhur. Indonesia sebenarnya punya produk soda lokal yang sempat berjaya. Masa keemasan ini memang tidak lama, hanya berlangsung sekitar tiga dekade. Salah satu merek minuman soda yang kala itu mengecap manisnya pasaran adalah limun Oriental Cap Nyonya asal Pekalongan, Jawa Tengah.

Nama minuman limun Oriental Cap Nyonya digunakan sejak 1950 oleh pendirinya Njoo Giok Lien. Sebelumnya, limun yang dirintis tahun 1920 itu bernama Fabriek Lemonade en Mineral Water Njoo Giok Lien. Oriental Cap Nyonya dikenal dengan sebutan banyu Londo (air Belanda). Pada masa itu, minuman ini menjadi primadona dan gaya hidup bagi priyayi Jawa.

Bisnis limun Oriental Cap Nyonya itu kini dijalankan oleh generasi kelimanya, Bernardi Sanyoto, sejak tahun 2017. Dengan menggunakan bendera PT Oriental Langgeng Sentosa, Bernardi bilang bahwa melanjutkan bisnis keluarga ini tak mudah. Ia harus memutar akal untuk terus mengembangkan layar bisnis yang didirikan sang kakek buyut.

Menurut penuturan Bernardi, surutnya bisnis limun terjadi ketika memasuki periode 2000. Indikasinya adalah angka produksi yang terus menurun. Sebelum masuk era 2000, mereka biasanya menjual 20.000 botol per bulan. Jumlah itu terus merangkak turun hingga jadi 2.000-an botol per bulan. Dulu, karyawan kerap lembur hingga pukul 8 malam untuk memenuhi permintaan pasar. Sekarang, hal itu tinggal kenangan.

Agar tetap bisa bertahan, Bernardi membuat konsep baru. Pada Februari 2018, ia menambahkan konsep wisata ke pabrik limunnya. Ide ini sebenarnya bukan hal yang muncul begitu saja. Pabrik limunnya memang banyak dikunjungi masyarakat yang penasaran cara pembuatan limun klasik ini.

"Pabrik kami sering menjadi tujuan kunjungan edukasi, dari anak sekolah hingga masyarakat umum. Dari sanalah saya memiliki tekad mengubah desain pabrik konvensional," kata Bernardi saat dihubungi Tirto, Jakarta, Selasa (19/6/2018).

Untuk tujuan itu, Bernardi menggunakan dekorasi bercitarasa vintage. Dari bangku, radio, hiasan rumah, hingga alat produksi limun. Rumah kuno yang dulu hanya difungsikan untuk kantor dan produksi, kini jadi tempat yang asyik dikunjungi. Pengunjung bisa langsung melihat proses pembuatan limun. Mereka juga bisa mengecap segarnya minuman soda tradisional ini, langsung dari pabriknya, dengan harga Rp6 ribu per botol.

Infografik Selera Prijaji Djawa

Mampukah Bertahan Hidup?

Limun Oriental Cap Nyonya, bukan satu-satunya minuman soda lokal yang mengalami kesulitan. Ada beberapa minuman soda lokal lain dengan nasib serupa. Antara lain: limun cap Badak dari Sumatera Utara, limun cap Ay Hwa dari Yogyakarta, dan limun Darnilla 66 dari Aceh.

Dalam skripsi berjudul "PT Pabrik Es Siantar di Pematang Siantar 1959-1990" (2013), Kuasa Agustino Saragih menjelaskan bahwa bahan baku Limun Cap Badak yang berbeda-beda menyebabkan perusahaan sulit mendapatkannya. Apalagi bahan baku itu harus dipesan dari Jakarta maupun Eropa.

"Globalisasi, dana, serta banyaknya kendala yang dihadapi perusahaan tersebut menyebabkan pengurangan produksi. Pada awalnya ada delapan jenis minuman yang diproduksi, lalu berubah menjadi dua jenis minuman yaitu sarsaparilla dan soda water dan tentu saja es batangan," tulis Saragih.

Pada masa kejayaan, produksi Cap Badak bisa mencapai 35 ribu krat per bulan. Sekarang, produksinya diperkirakan hanya separuhnya. Jenis rasa pun berkurang. Dari yang awalnya delapan, kini hanya tinggal dua: sarsaparila dan air soda.

Perjuangan untuk bertahan juga makin susah karena pemerintah sempat mengenakan cukai untuk minuman soda. Kebijakan ini berlangsung pada 2001-2002. Namun setelah mendapat protes keras dan pengkajian ulang, kebijakan ini akhirnya dicabut. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) pernah melakukan riset tentang kebijakan cukai itu. Temuannya adalah: ada penurunan permintaan dan produksi.

Pada 2017, isu pengenaan cukai terhadap minuman soda dan bahan penyedap kembali mengemuka. Wacana ini kembali dikritik. Asosiasi Minuman Ringan (Asrim) mengatakan bahwa jika minuman soda dikenakan cukai, harga sudah pasti akan naik. Dan, ujar Sekretaris Jenderal Asrim Suroso Natakusumah, setiap harga naik 10 persen, permintaan akan turun 17 persen.

Produk soda lokal seperti Indo Saparella dan Ay-Hwa juga terus terdesak karena ekspansi minuman soda impor yang cepat dan merambah ke semua tempat: pasar tradisional, mini market, hingga supermarket. Selain itu, ada faktor-faktor lain semisal sulitnya mempertahankan keaslian kemasan berupa botol dengan pengait kawat. Belum lagi jika bicara pasokan essence yang sukar didapat.

Hal ini juga diungkapkan oleh Bernardi. Pihaknya mengaku susah mendapat botol kaca. Apalagi perusahaan botol kaca langganannya di Surabaya dalam proses pemeliharaan mesin sehingga belum bisa meningkatkan produksi. Kendala lain mulai dari biaya promosi, pembuatan botol plastik, pembelian mesin baru, dan renovasi bangunan berstandar SNI.

"Untuk pengembangan produk Oriental Cap Nyonya diperkirakan membutuhkan biaya Rp2 miliar," kata Burnardi.

Baca juga artikel terkait MINUMAN BERKARBONASI atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nuran Wibisono