Menuju konten utama

Mengenal Snapchat Dysmorphia, Keinginan Operasi Plastik Sesuai Foto

Snapchat Dysmorphia merupakan kondisi kelainan psikis yang dialami orang seseorang untuk mengganti wajahnya sama persis dengan hasil swafotonya.

Mengenal Snapchat Dysmorphia, Keinginan Operasi Plastik Sesuai Foto
Dokter menandai bagian wajah pasien saat melaksanakan operasi plastik. SHUTTERSTOCK

tirto.id - Kehadiran ponsel pintar membuat orang dengan gampang mengedit dan mengubah foto sesuai dengan keinginannya. Seperti memutihkan kulit, membuat mata lebih lebar, hingga meniruskan pipi.

Tak hanya sekadar mengedit saja, bahkan dalam beberapa kasus, ada beberapa orang yang nekad melakukan operasi plastik bentuk wajahnya sesuai dengan foto itu. Istilah ini dikenal dengan snapchat dysmorphia.

Snapchat Dysmorphia merupakan kondisi kelainan psikis yang dialami orang seseorang untuk mengganti wajahnya sama persis dengan hasil swafotonya.

Seperti dilansir American Psychiatric Association, 55 persen dari pekerja operasi plastik melaporkan bahwa mereka didatangi pasien yang menginginkan wajah seperti swafotonya.

Jumlah tersebut menunjukkan peningkatan yang tajam karena pada tahun-tahun sebelumnya, hanya 42 persen dari responden yang melaporkannya.

Kini, orang yang hendak melakukan operasi plastik tidak lagi membawa foto selebritis yang mereka inginkan.

Sebab, dalam artikel yang dimuat di laman resmi Boston University, Anggota Departemen Dermatologi di Boston Medical Center, Neelam Vashi mengatakan, banyak pasien yang datang hanya dengan membawa foto selfie mereka dan berkata ingin terlihat seperti itu.

Beberapa pasien yang lain, Neelam mengatakan, membawa foto dengan filter dan ingin merubah bentuk wajah mereka, membuat gigi lebih cerah, dan menghilangkan noda pada wajah.

Snapchat Dysmorphia dapat digolongkan dalam Body Dysmorphic Disorder (BDD) atau gangguan dysmorphic tubuh. Orang yang menderita gangguan ini dapat menghabiskan waktu berjam-jam memperbaiki penampilan mereka dan merawat diri.

Kepedulian dengan penampilan adalah hal yang normal, tetapi tidak dengan individu yang memiliki riwayat BBD tersebut. Para profesional kesehatan mental mengelompokkan BBD pada spektrum obsesif-kompulsif yang terpaku pada penampilan mereka. Lebih lanjut, mereka tidak akan pernah puas dengan apa yang mereka miliki.

Profesor psikiatri di Weill Cornell Medical College Katharine Phillips, M.D., berpendapat bahwa Snapchat Dysmorphia dapat digolongkan sebagai fenomena sosiokultural baru dan berpotensi memperburuk gangguan kejiwaan seperti BDD.

“Snapchat Dysmorphia bukanlah gangguan kejiwaan baru, ia merupakan cara baru bagi orang untuk memeriksa penampilan mereka dan kemudian mengajukan permintaan mereka untuk dioperasi kepada ahli bedah,” ucap Phillips seperti dilansir American Psychiatric Association.

Kecenderungan untuk melakukan operasi plastik sesuai dengan hasil swafoto disebut Neelam Vashi sebagai fenomena yang mengkhawatirkan. Ia menambahkan tampilan yang ada pada foto yang difilter tidak dapat dicapai dan mengaburkan garis realitas dan fantasi untuk pasien.

Neelam mengatakan, pasien dengan gejala BDD dan merujuk Snapchat Dysmorphia akan direkomendasikan untuk melakukan terapi, mengonsumsi obat, dan pendekatan empati yang tidak menghakimi.

Hillary Weingarden, Ph.D., seorang psikolog klinis di Massachusetts General Hospital dan juga penulis berbagai artikel tentang BDD menyebutkan bahwa teknologi telah menyediakan cara baru untuk ritual obsesi tentang penampilan.

Seperti dilansir American Psychiatric Association, orang-orang terus mengambil foto selfie mereka dan mengunggahnya di media sosial untuk memperkuat ritualisasi. Ritualisasi tidak hanya untuk melihat bagaimana respons orang lain terhadapnya, melainkan bagaimana gambaran rekan-rekan sebaya yang diidealkan di media sosial.

Hasil ritualisasi seringkali dijadikan solusi jangka pendek untuk menurunkan kecemasan, tetapi justru dapat melanggengkan kecemasan tersebut. Weingarden mengatakan para psikiater dapat membantu orang menguji ketakutan orang tersebut terhadap penolakan sosial.

Jika didapati bahwa ketakutan yang dimiliki bukan hal yang nyata, seseorang tersebut bukanlah orang dengan perilaku kompulsif, tambah Weingarden.

Baca juga artikel terkait OPERASI PLASTIK atau tulisan lainnya dari Dinda Silviana Dewi

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Dinda Silviana Dewi
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Alexander Haryanto