Menuju konten utama

Mengenal Rezim Ebtanas yang Dilahirkan oleh Rezim Soeharto

Sekolah-sekolah yang diisi oleh murid dengan NEM tinggi akhirnya terus menjadi "sekolah favorit."

Mengenal Rezim Ebtanas yang Dilahirkan oleh Rezim Soeharto
Seorang siswa mengumpulkan telepon pintar miliknya di meja pengawas saat akan dimulainya Ujian Nasional Berbasis Komputer di SMA Negeri 1 Salatiga, Jawa Tengah, Senin (1/4/2019). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.

tirto.id - Filsuf Spanyol José Ortega y Gasset mengatakan pendidikan adalah penyebaran gagasan. Ujung dari pendidikan adalah dapat membuat pilihan dalam hidupnya.

“Tapi kenyataannya, ketika orang mencapai tingkat pendidikan tertentu justru makin terkurung pada satu pilihan sehingga hidupnya sengsara,” tulis Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004: 27).

Sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 51 tahun 2018, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2019 ditetapkan menggunakan sistem zonasi. Sistem ini mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat. Seleksi penerimaan siswa baru pun tidak lagi didasarkan pada nilai atau prestasi, melainkan dilakukan dengan memprioritaskan jarak dari domisili ke sekolah.

Pilihan sekolah bagi para orangtua calon peserta didik pun menjadi sangat terbatas. Kebijakan zonasi secara tidak langsung membuat para orangtua yang ingin anaknya dapat bersekolah di sekolah favorit menjadi kerepotan.

“SMAN 12 itu, kan, baru [berdiri] soalnya. Kalau di sini [SMAN 1 Depok] sudah ketahuanlah, favorit,” kata Edy Rusmanto, salah seorang calon peserta didik baru, seperti dilaporkan Tirto.

Kerepotan orangtua calon siswa baru yang disebabkan label “sekolah favorit” sebenarnya adalah efek sistem evaluasi sekolah masa Orde Baru. Untuk meningkatkan kuantitas peserta didik, rezim Soeharto pernah menerapkan kebijakan untuk menggusur sistem ujian masuk sekolah. menempatkan Nilai Ebtanas Murni (NEM) menjadi satu-satunya patokan untuk melanjutkan sekolah.

Lahirnya EBTA dan Ebtanas

Ujian negara untuk anak-anak sekolah menengah sempat mengalami perombakan besar-besaran sepanjang periode Orde Baru. Tepat pada 1975, menteri pendidikan yang juga seorang Letnan Jenderal TNI Syarief Thayeb mengesahkan pergantian Kurikulum 1968 menjadi Kurikulum 1975. Perubahan kurikulum kemudian diikuti perubahan sistem evaluasi dari ujian negara menjadi ujian sekolah.

Menurut penuturan Darmaningtyas, perubahan sistem evaluasi saat itu besar dipengaruhi oleh keinginan pemerintah untuk meningkatkan kuantitas peserta didik. Ujian negara sering kali dianggap biang kerok kegagalan siswa melanjutkan jenjang pendidikan sehingga mengurangi minat masyarakat untuk melanjutkan sekolah. Padahal, pemerintah pada saat itu membutuhkan banyak sekali sumber daya manusia untuk mengisi posisi di instansi pemerintahan dan sektor industri.

Dengan adanya sistem ujian sekolah, lanjut Darmaningtyas, para siswa dapat diselamatkan dari ketidaklulusan oleh guru-guru mereka sendiri. Lain halnya dengan ujian negara yang standar kelulusannya ditentukan oleh pusat atau dalam satu rayon, keputusan lulus dalam ujian sekolah secara khusus dipegang oleh guru. Dari sinilah praktik manipulasi dalam pendidikan nasional mulai terlembaga.

Pejabat-pejabat pemerintahan sendiri bukannya tidak mengetahui praktik yang demikian. Namun, sistem yang sentralistik dalam birokrasi Orde Baru belum mengizinkan adanya perubahan rumus dan standar kelulusan lama yang dinilai dapat mendukung pembangunan.

“Apabila pada masa Orde Lama pendidikan telah mulai dijadikan sebagai kendaraan politik maka di dalam Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan,” tulis Henry Alexis Rudolf Tilaar dalam Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis (2006: 72).

Barulah pada 1978, Doed Joesoef yang baru menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan (1978-1983) mencetuskan tes diagnosis untuk mengetahui efektivitas ujian sekolah tingkat SMP dan SMA. Hasilnya, baik ujian negara maupun ujian sekolah memiliki kedudukan yang seimbang. Di saat yang bersamaan, pemerintah melaksanakan pengunduran tahun ajaran baru yang seharusnya berakhir Desember 1978 menjadi Juni 1979.

Menindaklanjuti hasil tes, sejak 1982, pemerintah mulai menerapkan sistem evaluasi campuran yang terdiri dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). EBTA adalah sistem evaluasi yang soal-soalnya dibuat oleh sekolah. Sementara itu, Ebtanas menguji dua mata pelajaran (Pendidikan Moral Pancasila dan Bahasa Indonesia) yang soalnya berasal dari pemerintah.

Model ujian EBTA dan Ebtanas terus dievaluasi dan mengalami perombakan seiring waktu. Pada 1985, mata pelajaran Ebtanas untuk tingkat SMP ditambah dari dua menjadi enam mata pelajaran. Kemudian, untuk jenjang SMA baik IPA maupun IPS menguji sebanyak tujuh mata pelajaran. Sementara itu, jurusan bahasa hanya lima mata pelajaran.

Nilai Tinggi Jadi Prioritas

Sebelum evaluasi EBTA dan Ebtanas diimplementasikan, sistem penerimaan peserta didik baru masih menggunakan ujian masuk yang sifatnya tertutup. Menurut Darmaningtyas, sistem seperti ini memiliki kelemahan karena membuka peluang bagi sekolah-sekolah negeri untuk melakukan kolusi dan nepotisme. Jual beli kursi sekolah pun menjadi hal yang lumrah.

Seiring penambahan mata pelajaran Ebtanas pada 1985, lulusan SD, SMP, dan SMA sebelum tahun ajaran 1984/1985 yang hendak melanjutkan sekolah diharapkan untuk mengikuti Ebtanas lagi. Alasannya, pemerintah menginginkan sebuah proses penerimaan peserta didik yang adil. Kebetulan, di tahun yang sama, pemerintah berangsur menghapus kebijakan ujian masuk dan menggantinya dengan standar nilai Ebtanas.

“Dan nilai Ebtanas murni itu akan digunakan sebagai alat penentu ranking untuk mendaftar diri di sekolah yang dituju. […] Buat apa kita harus buang-buang waktu, tenaga, dan uang. Dengan Ebtanas kita tentukan sekalian ranking-nya lewat nilai murni,” kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Darji Darmodihardjo seperti dikutip dari Kompas (19/1/1985).

Nilai Ebtanas murni para calon siswa kemudian akan diurutkan ke dalam Daftar Nilai Ebtanas Murni (DANEM). DANEM sengaja dibuat terbuka dan diperbaharui secara berkala agar orangtua siswa dapat memantau peringkat anaknya. Adapun pihak yang bertugas menyusun peringkat nilai Ebtanas murni ialah ketua rayon atau kepala sekolah. Cara ini dinilai mujarab mengatasi kecurangan sekaligus mengatasi siswa titipan yang meminta prioritas, belum lagi memudahkan pekerjaan guru-guru sekolah.

Infografik Sejarah Ujian Sekolah Masa Orba

Infografik Sejarah Ujian Sekolah Masa Orba

Munculnya Sekolah Favorit

Berkat berlakunya standar NEM dalam sistem penerimaan peserta didik baru, maka dimulailah saat di mana Ebtanas seolah menjadi momen penentu keseluruhan hidup para siswa dan siswi di Indonesia. Mereka yang gagal bakal menganggap momen ini sebagai aib, sebaliknya yang berhasil merayakan diri.

“Orientasi proses belajar pun kemudian lebih diarahkan untuk pencapaian DANEM yang tinggi karena muncul persepsi dalam masyarakat bahwa sekolah yang bermutu adalah sekolah yang mampu mengantarkan anak-anaknya meraih DANEM setinggi-tingginya,” tulis Darmaningtyas dalam bukunya (hlm. 46).

Kendati demikian, lanjut Darmaningtyas, sistem ini cukup membantu anak-anak dari keluarga miskin. Mereka yang berotak encer tetapi tidak memiliki relasi dengan guru-guru tetap dapat mengenyam bangku sekolah negeri.

Setelah kurang lebih sepuluh tahun berjalan, sistem penerimaan peserta didik baru berdasarkan NEM mulai dipertanyakan kembali. Tulisan seorang dosen Fakultas Keguruan Universitas Jember yang dimuat di Kompas (2/5/1995) blak-blakan merinci kebocoran jawaban Ebtanas SD pada musim ujian setiap tahunnya.

Catatan yang dibuat oleh Mutrofin itu juga menyebut kecurangan-kecurangan dalam Ebtanas tercipta akibat adanya kompetisi antar-sekolah. Para guru seolah berkewajiban mempertahankan penilaian masyarakat terhadap sekolah yang bersangkutan melalui berbagai cara.

“Akibatnya terjadi kompetisi negatif antar-sekolah dengan "menyulap" nilai; muncul kejahatan intelektual berupa joki dan pembocoran naskah; bimbingan belajar yang dengan sendirinya "melecehkan" pembelajaran dan fungsi guru di sekolah merebak,” tulis Mutrofin.

Baca juga artikel terkait UNBK atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Maulida Sri Handayani