Menuju konten utama

Mengenal Online Resilience, Cara Pertahanan Diri di Dunia Maya

Online resilience merupakan konsep bagaimana seseorang bertahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berbahaya dan berisiko di dunia online.

Mengenal Online Resilience, Cara Pertahanan Diri di Dunia Maya
Ilustrasi cyberbullying. FOTO/Istock

tirto.id - Ancaman kejahatan di dunia online kini menjadi hal yang semakin umum. Tindakan saling cibir, bullying dan perundungan banyak ditemui pada kolom komentar media sosial. Selain itu pornografi juga menjadi hal yang lumrah dilihat siapa saja karena mudah diakses. Media sosial pun sekaligus menyajikan contoh-contoh cara orang berpikir dan merespons berbagai situasi dengan sikap reaktif dan emosional.

Aspek-aspek negatif di internet tersebut kini menjadi ancaman baru bagi tumbuh kembang anak. Orang-orang dewasa juga bisa menerima dampak buruknya.

Bullying dan kejahatan online lainnya akan membuat korban merasa diserang di manapun korban berada. Selain perasaan tidak nyaman dan tertekan, bullying pun bisa berpengaruh pada mental, emosional dan fisik.

Menurut Unicef, korban bullying secara mental akan merasa marah, kesal, malu, bahkan bodoh. Secara emosional, korban bullying bisa merasa malu dan kehilangan minat untuk melakukan hal-hal yang disukai. Sedangkan secara fisik, korban bullying dapat mengalami kelelahan sebab kurang tidur, gejala sakit perut dan sakit kepala.

Perasaan ditertawakan atau dilecehkan oleh orang lain dapat membuat korban bullying tidak ingin membicarakan atau mengatasi masalah tersebut. Dalam kasus ekstrim, cyberbullying bahkan bisa menyebabkan seseorang mengakhiri nyawanya sendiri.

Oleh karena itu, penting bagi para orang tua membantu anak menumbuhkan pertahanan diri saat beraktivitas di dunia online. Istilah untuk konsep ini adalah Online Resilience.

Apa Itu Online Resilience?

Psikolog mendefinisikan ketahanan ini sebagai proses beradaptasi dengan baik dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, ancaman atau sumber stres yang signifikan. Seperti masalah keluarga dan hubungan, masalah kesehatan yang serius, tekanan kerja dan keuangan.

Online resilience merupakan sebuah konsep bagaimana seseorang bertahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berbahaya dan berisiko pada dunia online.

Bagaimana sesesorang bisa beradaptasi secara akurat dengan berbagai kondisi lingkungan dengan kemampuan menyaring dan merespons berbagai hal yang ditemui pada saat berinteraksi dengan teknologi digital.

Peran orang tua dalam membangun Resilience Online pada anak sangat dibutuhkan karena sebagai lingkungan utama dalam perkembangan anak. Pengasuhan yang tepat akan membentuk resilience pada anak.

Menurut laman Parentzone, berkomunikasi dengan anak menjadi kunci utama keberhasilan orang tua dalam mengatur aktivitas buah hatinya di internet. Ada tiga tips yang bisa diterapkan orang tua di rumah, untuk menumbuhkan Online Resilience pada anak.

Pertama, aktif berkomunikasi dengan anak. Membuat aturan yang tak fleksibel akan sulit diterima anak, sebaiknya bicarakan hal itu dengan santai.

Melarang anak mengakses web tertentu justru akan membuat si kecil penasaran dan membuatnya melawan larangan itu ketika tidak dipantau orang tua. Pendekatan terbaik adalah menjelaskan ke anak dengan alasan yang rasional, saat membahas risiko aktivitas online.

Kedua, menciptakan lingkungan yang mendukung eksplorasi dan pembelajaran bagi anak. Apabila digunakan dengan tepat, internet sangat membantu dan mendukung anak mendapatkan peluang baru dalam mengembangkan minatnya.

Dorong anak untuk meneliti topik yang menarik minat mereka dengan menggunakan internet dan pekerjaan rumah dari sekolah, atau terhubung secara positif dengan teman dan keluarga.

Ketiga, jangan terlalu membebaskan anak. Bertindak secara fleksibel bukan berarti membebaskan anak tanpa batasan. Penelitian menunjukkan bahwa minat dan keterlibatan orang tua berkorelasi positif dengan ketahanan online. Minta mereka untuk menunjukkan kepada Anda situs web, video, dan aplikasi favorit mereka, dan berbicara kepada mereka tentang bagaimana mereka berinteraksi secara online.

Menurut Wiwin Hendriani, Ketua ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (IPPI), menumbuhkan Online Resilience pada anak perlu pendekatan yang tepat. Berikut rinciannya.

1. Prinsip konstruksionis

Prinsip ini menekankan pentingnya apresiasi dan pemilihan kata-kata positif untuk memberikan stimulasi sekaligus penguatan terhadap munculnya perilaku positif.

2. Prinsip positif

Prinsip ini meyakini bahwa percakapan positif, dialog yang konstruktif dan terarah pada tujuan yang jelas akan mendorong munculnya perubahan positif.

3. Prinsip antisipatorik

Prinsip ini mengajarkan bahwa kekuatan imaji individu dapat memberikan inspirasi yang semakin mendorong berperilaku tertentu.

4. Prinsip keberlanjutan

Prinsip ini menghendaki komitmen dan konsistensi orang tua dalam menerapkan pengasuhan yang apresiatif pada anak. Keutamaan pengasuhan apresiatif adalah bahwa pesan baik dari orang tua yang disampaikan kepada anak melalui percakapan yang baik dan konstruktif, akan dipersepsikan secara baik pula oleh anak. Anak akan lebih mudah memahami dan menerima, sehingga muncul kesadaran dalam diri untuk berperilaku positif sebagaimana diharapkan kepadanya.

Baca juga artikel terkait MEDIA SOSIAL atau tulisan lainnya dari Meigitaria Sanita

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Meigitaria Sanita
Penulis: Meigitaria Sanita
Editor: Addi M Idhom