Menuju konten utama

Mengenal Gangguan Kesehatan Mental dan Solusinya

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut hampir 1 miliar orang hidup dengan gangguan mental.

Mengenal Gangguan Kesehatan Mental dan Solusinya
Ilustrasi seorang wanita depresi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Depresi dan kecemasan merupakan gangguan mental dengan prevalensi paling tinggi di dunia. Dalam rilis peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut hampir 1 miliar orang hidup dengan gangguan mental.

Lantas, bagaimana dengan kondisi di Indonesia?

Secara umum, jumlah penderita gangguan mental di Indonesia mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018) menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur 15 tahun ke atas naik dari 6,1% pada 2013 menjadi 9,8% pada 2018. Artinya, sekitar 12 juta orang Indonesia menderita depresi. Meski begitu, riset yang sama menyebut hanya 9% penderita yang menjalani pengobatan medis ataupun mengonsumsi obat.

Angka di atas menunjukkan betapa masih banyak orang yang abai terhadap kesehatan mental dan menganggapnya kalah penting ketimbang kesehatan fisik. Bertolak dari minimnya kesadaran publik terhadap isu kesehatan mental, World Federation For Mental Health (WFMH) menginisiasi World Mental Health Day (WMHD) atau Hari Kesehatan Mental Sedunia pada 10 Oktober 1992.

Kesehatan mental tak hanya tentang terbebas dari gangguan mental. Menurut WHO, kesehatan mental merupakan suatu kondisi di mana seseorang menyadari kemampuannya, dapat mengatasi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya.

Di Indonesia, WMHD mulai diperingati sejak 1993 dengan misi meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai kesehatan mental, juga demi menghormati hak Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan memperluas program pencegahan masalah kesehatan mental. Terlebih saat ini, kala pandemi COVID-19 tak hanya berisiko mengusik kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental.

Bila risiko fisik akibat pandemi mulai turun berkat vaksin, gangguan mental justru lebih sulit diatasi. “Kita tidak memiliki vaksin untuk kesehatan mental seperti yang akan kita dapatkan untuk kesehatan fisik. Jadi, butuh waktu lebih lama untuk keluar dari tantangan itu,” kata Lisa Carlson, eks presiden American Public Health Association dan administrator eksekutif di Sekolah Kedokteran Universitas Emory, Atlanta, sebagaimana dilansir CNN.

Kemenkes mencatat, kasus kesehatan mental di Indonesia melonjak dari 197 ribu kasus pada 2019 menjadi 277 ribu kasus sejak pandemi COVID-19 hingga Juni 2020.

Pakar kesehatan jiwa UGM Dr. dr. Ronny Tri Wirasto, Sp.Kj. mengungkap tiga alasan yang membuat kasus kesehatan mental dominan pada masa pandemi. Pertama, kondisi mental yang rentan akibat berbagai pembatasan sosial. Lebih dari setahun, masyarakat terus dianjurkan untuk melakukan segala aktivitas dari rumah sehingga interaksinya dengan orang lain berkurang. Kebiasaan baru yang mesti dijalani oleh hampir semua kelompok umur jelas membuat tak nyaman hingga tertekan sehingga berpotensi meruntuhkan kesehatan mental.

Persoalan kedua dan ketiga adalah intentitas penggunaan internet yang mengakibatkan adiksi dan kecanduan gim online yang semula dimaksudkan untuk mengisi waktu selama di rumah.

“Kalau ini berlangsung terus-menerus bisa mengakibatkan kelelahan, over-atensi atau perhatian berlebihan terhadap sesuatu, dan menurunnya kesadaran terhadap stimulasi sekitar,” terang Ronny, dikutip dari laman resmi UGM.

Sementara menurut WHO, gangguan kesehatan mental bisa menghinggapi siapa saja. Mulai dari petugas kesehatan, pekerja yang berisiko terpapar virus dan terancam PHK, masyarakat yang kondisi ekonominya terganggu, peserta didik yang menjalani sekolah online, sampai mereka yang menjalani isolasi mandiri. Sedangkan bagi para penyintas, gangguan mental bisa juga muncul dari efek jangka panjang COVID-19.

Hasil survei (2020) Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) terkait kesehatan jiwa memperlihatkan 64,8% dari 4.010 pengguna swaperiksa PDSKJI mengalami masalah psikologis setelah lima bulan hidup dalam situasi pandemi. Sebanyak 65% responden mengaku cemas, 62% depresi, dan 75%-nya mengalami trauma. Masalah psikologis terbanyak ditemukan pada kelompok umur 17 sampai 29 tahun dan 60 tahun ke atas.

Gejala kecemasan yang dirasakan responden, antara lain, sulit relaks, mudah marah (sensitif), dan membayangkan hal buruk bakal terjadi. Gejala depresi: kurang percaya diri, mudah lelah atau kehilangan tenaga, dan gangguan tidur. Sedangkan trauma psikologis rerata dirasakan oleh responden yang mengalami atau menyaksikan peristiwa tak menyenangkan terkait COVID-19. Gejalanya pun beragam, mulai dari merasa berjarak dengan orang lain, terus waspada, mati rasa, hingga konsentrasi terganggu.

Infografik Advertorial Le Minerale Mental Health

Infografik Advertorial Anti Depresi & Anxiety Club. tirto.id/Mojo

Mengurangi Risiko Gangguan Mental

Setelah menerapkan protokol kesehatan ketat, kini menjaga kesehatan mental juga menjadi “pekerjaan rumah” kita bersama. Lalu, upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko gangguan kesehatan mental di tengah pandemi?

Mengutip kata Audrey Maximillian, CEO Riliv (platform konseling daring dan kesehatan mental), tiap orang sesungguhnya punya kapabilitas untuk menciptakan kebahagiaan.

“Mungkin awalnya terasa sulit karena kita sudah menemukan pola bahagia yang dulu dibantu oleh kehadiran orang lain. Tetapi sekarang kondisinya berbeda, dan kita harus menemukan aktivitas agar bisa berdamai dengan situasi yang sedang dihadapi,” jelas Audrey.

Ada begitu banyak aktivitas positif untuk memulai langkah mengatasi gangguan mental, antara lain: mencari bantuan pakar (bisa melalui daring); menjalani hobi; menjaga koneksi dengan orang terdekat melalui teknologi yang ada; serta memperbaiki gaya hidup, misal dengan rutin olahraga sederhana, tidur cukup, makan makanan yang bergizi, dan memperhatikan asupan cairan dalam tubuh.

Kebiasaan minum air melancarkan metabolisme sehingga membantu tubuh menyerap nutrisi secara optimal, memudahkan gerak sendi, serta membantu pencernaan dan penurunan berat badan. Mayoritas otak manusia pun terdiri atas air, maka kekurangan asupan air dapat mempengaruhi kemampuan kognitif.

Lebih dari itu, dikutip dari Healthline, sejumlah studi menemukan kaitan antara kebiasaan minum air dan suasana hati. Hasil studi melibatkan 3.327 responden yang diterbitkan oleh World Journal of Psychiatry (2018), salah satunya, mengungkap bahwa dehidrasi bisa menimbulkan perasaan cemas dan tertekan. Kecemasan, kepenatan, depresi, kekalutan, dan gangguan kesehatan mental lainnya bisa menjadi salah satu indikasi bahwa kebutuhan air minum seseorang tak terpenuhi (dehidrasi).

Bukan hanya kuantitas, kualitas air minum pun perlu diperhatikan untuk memenuhi asupan mineral dalam tubuh. Le Minerale mengandung mineral esensial yang baik untuk tubuh. Kemasan Le Mineral yang terproteksi yang ditandai dengan botol yang keras sebelum dibuka dan segel (seal cap) pada tutup botolnya menjamin kualitas mineral di dalam terjaga sampai ke tangan konsumen dan tentunya aman dari pemalsuan. Selain itu rasanya yang segar dan “enteng” di badan, membuat kita bisa lebih banyak mengonsumsi air.

Suasana hati tak mungkin selalu baik, apalagi di tengah situasi pandemi seperti sekarang ini. Ada kalanya perasaan cemas datang, kepercayaan diri menurun, atau ada banyak pertanyaan di tengah ketidakpastian hidup menghampiri. Sebelum terlarut dan berkepanjangan, baiknya segarkan pikiran dengan satu-dua teguk air mineral, dan ingat bahwa kebahagiaan sejati kita sendiri yang ciptakan.[]

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis