Menuju konten utama

Mengenal Bapak Kecerdasan Buatan John McCarthy

McCarthy merupakan ahli matematika AS yang membangun pondasi teknologi artificial intelligence (AI).

Mengenal Bapak Kecerdasan Buatan John McCarthy
John McCarthy. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Eliza Rambo dibuat kesal oleh R781, nama robot dari periode 2055. Eliza yang punya kebiasaan mabuk dan menelantarkan bayi, mendapat teguran dari R781.

“Nyonya, bayi Anda melakukan tindakan yang buruk. Dia butuh perhatian,” kata sang robot mengingatkan.

Eliza malah membentak sang robot pintar: “dasar robot sialan,” katanya.

R781 tak berhenti sampai di situ, sang robot kembali menegur Eliza. “Nyonya, bayi Anda tidak mau makan. Jika si bayi tidak mendapatkan cinta manusia, menurut buku pediatri yang saya akses via internet, dia akan mati.”

Percakapan singkat ini merupakan potongan kisah fiksi berjudul “Robot and Baby,” yang ditulis oleh John McCarthy. McCarthy ingin memberitahu bahwa robot dapat membantu manusia dalam banyak hal, meskipun ia dirancang dengan prinsip “bukan manusia.”

McCarthy bukanlah seorang cerpenis profesional. Robot and Baby, hanya selingan dari sekitar 233 jurnal, khususnya tentang artificial intelligence (AI), yang ditulisnya. Ia merupakan ilmuwan matematika dan komputer asal Amerika Serikat, yang lahir 4 September 1927 di Boston, Massachusetts. Saat ia mengajar di Dartmouth Collage pada 1956, untuk kali pertama mencetuskan frasa “kecerdasan buatan” atau artificial intelligence.

V Rajaraman, ilmuwan komputer asal Indian Institute of Technology Kanpur pada 1968 bertemu dengan McCarthy, melalui tulisannya berjudul “John McCarthy: Father of Artificial Intelligence” yang terbit di Asia Pacific Mathematics Newsletter menyebut bahwa hidup McCarthy diabdikan untuk membuat mesin yang bisa mempermudah hidup manusia. Salah satu karya pertamanya ialah suatu teknologi bernama time-sharing pada komputer.

Time-sharing, dalam konteks pemrosesan data, merupakan suatu metode saat beragam pengguna dengan bermacam program bisa berinteraksi dengan CPU, untuk memanfaatkan kekuatan secara berbarengan.

Lester Earnest, rekan sejawat McCarthy di Massachusetts Institute of Technology (MIT), sebagaimana dikutip dari Wired, menyebut bahwa “tanpa time-sharing, tidak ada internet modern yang kita kenal sekarang.”

Selain time-sharing, kerja keras McCarthy di dunia komputer, dan mencuatkan namanya, tidak lain ialah teknologi AI.

Infografik John Mccarthy

McCarthy merupakan anak dari pasangan John Patrick McCarthy dan Ida Glatt. Ayahnya merupakan imigran asal Irlandia, sementara sang ibu merupakan imigran Yahudi. Kedua orang tuanya merupakan anggota Partai Komunis. Kala terjadi Great Depression di AS, kedua orang tua McCarthy pernah hidup dalam kesengsaraan, tanpa punya pekerjaan.

Kesusahan yang dialami kedua orang tuanya menular pada McCarthy. Saat masih kecil, McCarthy harus mengalami sakit yang cukup parah. Hal yang membuatnya telat masuk sekolah. Namun, tak membuat McCarthy terbelakang. Menurut apa yang diungkap Rajaraman, McCarthy memiliki kemampuan intelegensia yang tinggi sejak masa kanak-kanak, terutama ihwal matematika. McCarthy pernah berujar ingin menjadi profesor di bidang matematika.

Kecerdasan McCarthy di bidang matematika, menurut laporan The Guardian, ditunjukan melalui kemampuan McCarthy remaja melahap kalkulus, tanpa guru yang membimbing. Hanya berdasarkan buku materi yang biasanya digunakan kalangan mahasiswa. Saat McCarthy akhirnya menjadi mahasiswa California Institute of Technology, bocah itu ditugasi dosen-dosennya dengan mudah mencerna materi pascasarjana.

Pada September 1948, tahun ketika McCarthy memperoleh gelar sarjana matematika dari Caltec, ia mendatangi simposium bertajuk “Hixon Symposium on Cerebral Mechanism in Behaviour.” Dari sana ketertarikan McCarthy pada mesin yang bisa meniru cara berpikir manusia bermula.

Untuk memperdalam ilmunya, selepas kuliah di Caltec, McCarthy melanjutkan program doktoral ke Princeton University dan mendapat gelar pada 1951. Mengutip pemberitaan The New York Times, McCarthy pernah berujar bahwa menciptakan AI "tak terlalu menyulitkan". AI hanya merupakan "1,8 Einsteins dan sepersepuluh kekuatan Manhattan Project, lembaga penelitian yang eksis pada Perang Dunia II".

Guna membangun hal yang “tak terlalu menyulitkan” itu, McCarthy mendirikan dua lembaga penelitian AI. Lembaga pertama ialah Stanford Artificial Intelligence Laboratory, lembaga penelitian AI yang didirikan McCarthy di awal dekade 1950-an. Lembaga kedua ialah MIT Artificial Intelligence Laboratory. Berkat kedua lembaga yang didirikannya itu, McCarthy diperceya menjadi dosen di dua universitas Ivy League tersebut.

Stanford Artificial Intelligence Laboratory, sebagai lembaga penelitian AI pertama, memiliki sumbangsih yang cukup kuat. The New York Times menyebut pencapaian lembaga itu termasuk pengembangan sistem AI di bidang human skill, vision, listening, reasoning, hingga movements of limbs. Lembaga AI ini juga pernah menerima bantuan dari Pentagon menciptakan beberapa teknologi luar angkasa.

Sementara itu, di MIT Artificial Intelligence Laboratory, McCarthy sukses melahirkan List Processing Language, bahasa pemrograman yang menjadi standar penciptaan AI.

Kelahiran istilah AI, pendirian dua lembaga pertama AI, dan penciptaan bahasa pemrograman AI, mendaulatkan diri McCarthy sebagai bapak dari teknologi AI. Ini dipertegas oleh Association of Computing Machinery dengan Turing Award pada 1971.

Tom Simonite, kolumnis teknologi pada Wired mengatakan AI merupakan sistem yang menggabungkan algoritma supercerdas dengan machine learning. Bila dipasang pada robot atau mesin, ia membuat robot atau mesin tersebut bekerja secara mandiri, tanpa campur tangan manusia, alias bekerja secara inisiatif.

Kerja inisiatif terjadi manakala teknologi AI telah diberi sekumpulan data yang super besar alias big data untuk dipelajari pola-polanya dan dilatih untuk membuat keputusan.

Secara sekilas, Simonite mengatakan bahwa kecerdasan buatan “bukanlah tentang pekerjaan yang diambil-alih robot ataupun penghapusan manusia. Melainkan tentang semakin cerdasnya perangkat.” Yang kemudian membantu manusia.

Apa yang ditulis Simonite, tak terlalu jauh dengan pemikiran McCarthy. Menurut McCarthy, sebagaimana diungkap Daphne Koller, profesor pada Stanford University, bapak artificial intelligence itu “percaya bahwa kecerdasan buatan benar-benar dapat mereplikasi kecerdasan manusia.” Yang selanjutnya dianggap akan mampu mempermudah hidup manusia.

Semoga saja, AI memang membantu manusia, bukan menciptakan kerusakan. Sehingga warisan dari McCarthy yang meninggal Oktober tujuh tahun lalu tak sia-sia.

Baca juga artikel terkait ARTIFICIAL INTELLIGENCE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra