Menuju konten utama

Mengejar Untung di Balik Akulturasi Busana Muslim Dunia

Desainer dunia yang melirik pasar baju muslim semakin banyak, termasuk dari negara yang minoritas muslim seperti Jepang atau Australia. Desainnya mengalami akulturasi agar sesuai dengan selera konsumen di negara tujuan impor serta menyediakan lebih banyak pilihan. Kompetisi makin ketat, dan realisasi cita-cita Indonesia sebagai penguasa fashion muslim dunia di tahun 2020 juga makin berat.

Mengejar Untung di Balik Akulturasi Busana Muslim Dunia
Model mengenakan pakaian bertema Ethnocentrism rancangan Ria Miranda berjalan di atas "catwalk" dalam Indonesia Fashion Week 2016 di Jakarta Convention Center, Jakarta. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Usai mengunjungi Jepang selama 10 hari, desainer Restu Anggraini mendapat ide cemerlang. Ia mencoba untuk memasukkan unsur seni metalworking Mokume-Gane ke dalam desain baju muslimahnya. Karya-karyanya kemudian dimasukkan dalam koleksi busana Ramadan terbaru dengan tema “Momuke” dan dipamerkan di ajang Fashion Muslim Wardah di Jakarta, Minggu (29/5/2016).

Kesempatan berkunjung ke Negeri Matahari Terbit sebelumnya didapatkan oleh Restu atas undangan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang inovasi bahan kain. Kesempatan emas itu tak disia-siakan oleh Restu. Ia lalu belajar bagaimana cara memanipulasi kain. Hasilnya, koleksi Momuke Etu, panggilan akrab Restu, mengombinasikan desain kimono dan abaya. Ia memilih warna silver, nude, gold, dan putih karena cocok untuk nuansa Ramadan.

Etu tak hanya berkreasi demi memenuhi hasrat berkesenian, tetapi juga berusaha memasarkan baju-baju karyanya secara serius ke khalayak luas. "Aku enggak pengen jual mahal-mahal, sekitar Rp300 ribu sampai Rp400 ribu, karena aku pengen ini sebagai basic item atau item wajib kalau mau traveling," tuturnya kepada Antara.

Harapan Etu tak muluk-muluk. Busana muslim kini sedang menggeliat sebab permintaannya di masyarakat juga terus menanjak. Sebagaimana hukum pasar pada umumnya, strategi bertahan produsen baju-baju muslimah dalam negeri mesti didasari pemahaman yang memadai atas pangsa pasar seperti apa yang akan ia jajaki.

Etu termasuk yang berhasil melihat bahwa antusiasme masyarakat Indonesia terhadap hal-hal berbau Jepang sejak dulu cukup besar. Maka ia pun berusaha untuk membawa selera itu ke kampung halaman untuk dipadukan dengan pakaian sehari-hari para muslimah Indonesia.

Produsen asal Jepang tak mau pasif saja dengan ceruk alternatif ini. Beberapa bulan sebelum Etu memamerkan karya-karyanya, sebuah brand bernama Fukusa: Chicaru Collection diluncurkan untuk menyediakan baju muslimah yang berpadu dengan kimono. Sang desainer, Chicharu Horiuchi, dengan bangga memamerkan karyanya di Indonesia Fashion Week (IFW) bulan Maret lalu.

Dalam peragaannya, Chiharu Collection memamerkan dua tampilan busana longgar yang potongannya terinspirasi dari kimono. Motifnya bunga-bunga berwarna pastel yang kental nuansa Jepang. Kimono yang berpotongan longgar dan menutup sebagian besar anggota tubuh—hanya menyisakan tangan dan kepala, dinilai sang desainer mirip dengan baju muslimah kekinian. Tinggal dipadukan dengan kerudung yang sesuai, tampilan si pemakai akan terlihat berbeda.

Hasil observasi Chicaru kebanyakan dituangkan dalam bentuk kimono, rok-rok lebar, mantel, blus longgar dan kerudung. Perempuan paruh baya yang baru pertama kali ke Indonesia itu terpukau dengan gaya berbusana muslimah Tanah Air yang dinilai modis dan berani memadu padan warna serta motif.

Sementara itu, desainer Jepang lain, Koshi Kubo, membawa koleksi blus-blus berlengan panjang dari bahan sutra yang bisa dipakai oleh muslimah. Khusus untuk Indonesia, ia membuat dalaman kerudung (inner ninja), syal, manset tangan, dan kaos dalam tangan panjang dari bahan yang sama.

"Orang muslim di Indonesia jauh lebih modis dari bayangan saya," komentar Kubo.

Akulturasi kebudayaan terlihat pada desain baju muslimah karya Chicaru, Kubo, dan desainer Jepang lain. Menariknya, akulturasi itu terjadi Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan Jepang, negara di Timur Asia yang selama ini dikenal tak lekat dengan hal-hal berbau Islami. Maklum, penduduk muslim di Jepang juga sangat minoritas. Namun untuk urusan perluasan pangsa pasar dan pencarian laba, akulturasi langka itu pun kemudian dilakoni: Jepang kembali berekspansi ke Indonesia.

Akulturasi seperti ini lazim dilakukan oleh desainer-desainer baju dari berbagai negara, tak ketinggalan juga para desainer dari Indonesia. Vivi Zubedi misalnya. Menampilkan baju-baju muslimah yang berasal dari akulturasi tiga kawasan yakni Arab Saudi, Maroko, dan Afrika di IFW 2016. Ia mencoba mengangkat budaya etnik dan karena dirinya orang keturunan Arab, ia memasukkan sentuhan negeri-negeri padang pasir. Ia yakin selera padang pasir ini juga disukai oleh banyak muslimah Indonesia.

Demi Pundi-pundi Keuntungan

Gelombang akulturasi dalam fashion muslimah melanda dunia. Fenomena pemakaian hijab dan busana muslim di ruang publik juga akhirnya makin beragam alias menunjukkan sisi diversifikasinya. Tak hanya di negara mayoritas muslim, kondisi ini juga terlihat di kawasan yang didominasi kaum non-muslim.

Di Eropa misalnya, perempuan-perempuan muslim makin percaya diri menunjukkan identitas pakaiannya. Antusiasme ini bukannya tak menuai polemik. Kurang lebih sebulan yang lalu publik di dunia dihebohkan dengan kasus pelarangan burkini di Prancis. Namun tak butuh waktu lama bagi warga seluruh dunia untuk bersolidaritas membela si korban kebijakan itu. Bahkan Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia turut mendukung pencabutan larangan tersebut.

Dalam sebuah pameran foto bertajuk “Faith Fashion Fushion” yang digelar sejak akhir Mei 2016 di National Archives of Australia, Canberra, Australia, satu foto unik dipajang di ruang tengah. Sebuah foto yang menunjukkan pose Mecca Laalaa Hadid, perempuan penjaga pantai muslim pertama Australia, bersama rekan-rekan penjaga pantai laki-laki lain.

Mecca dihargai publik Australia sebagai sosok inspratif baik sebagai pejuang kemanusiaan maupun sebagai perempuan muslim sebab terlibat dalam kampanye “On The Same Wave”. Sebuah kampanye untuk merespon kerusuhan antar-komunitas di Cronulla tahun 2005 silam.

Glynis Jones selaku kurator pameran berkata bahwa kini semakin banyak desainer yang berkarya untuk para perempuan muslim, meski karya-karya itu belum banyak ditemukan di pusat-pusat perbelanjaan. Pameran yang ia kuratori diharapkan bisa menjadi wadah konsumen muslim Australia untuk memiliki baju-baju muslimah yang selama ini agak susah dicari di Negara Kanguru itu.

Glynis menambahkan bahwa pemerintah Australia juga menunjukkan dukungan kepada para desainer dan pelaku bisnis fashion muslim. Faktor utama yang melatar-belakangi dukungan tersebut dalam pandangannya adalah wujud semangat toleransi, namun di sisi lain pemerintah juga paham bahwa perputaran uang dalam industri baju muslimah juga besar. Apalagi prospek ke depan juga cerah.

Menurut catatan Global Islamic Report 2015-2016, pada 2014 nilai belanja muslim fashion sebesar $230 miliar dan kontribusi fashion muslim terhadap dunia adalah 11 persen. Diestimasi, pada 2020, nilai belanja muslim fashion akan mencapai $327 miliar, dan berkontribusi sebesar 13 persen terhadap belanja fashion dunia.

Berangkat dari prospek yang serupa, Indonesia sendiri sudah sejak lama menggaungkan niatnya untuk menjadi pusat fashion muslim dunia. Sebagai negara berpenduduk muslim terpadat di dunia, potensi konsumennya besar, begitupun produksinya dalam bentuk usaha kelas kecil, menengah, dan yang besar. Tinggal melebarkan sayapnya ke luar negeri, cita-cita mulia itu diharapkan akan terwujud pada tahun 2020 nanti.

Berbagai usaha telah dilakukan oleh pelaku bisnis dan dibantu dengan usaha pemerintah. Tenggat pemenuhan target tinggal empat tahun lagi. Namun angka statistik dari catatan Global Islamic Report 2015 menunjukkan jalan menuju pemenuhan cita-cita itu masih cukup terjal. Indonesia bahkan tak masuk tiga besar negara muslim yang diprediksi memiliki pertumbuhan belanja fashion tertinggi pada tahun 2019 (ketiganya adalah Sudan, Iran, dan Ghana).

Untuk konsumsi baju muslim, Indonesia dengan nilai konsumsi muslim fashion sebesar $12,69 miliar. Di tempat pertama masih ditempati Turki dengan nilai $ 24,84 miliar, lalu berturut-turut di bawahnya ada Uni Emirat Arab (UEA), Nigeria, dan Arab Saudi.

Indonesia bahkan tak masuk ke daftar 10 negara pengembang fashion muslim terbaik 2014. Tempat pertama justru ditempati oleh negara yang kadang bersikap tak ramah kepada minoritas muslim: Cina. Di posisi berikutnya berturut-turut ditempati oleh UEA, Italia, Burkina Faso, Sri Lanka, Singapura, Turki, Togo, Senegal dan Perancis.

Indonesia juga masih kalah dalam soal impor baju muslim. Tiga negara importir fashion terbesar bagi negara muslim adalah (1) Cina, dengan nilai impor 2014 sebesar $28.629 juta, (2) India, dengan nilai impor sebesar $3.872 juta, dan (3) Turki, dengan nilai impor 2014 sebesar $2.338 juta.

Di tengah menguatnya pasar e-commerce, lagi-lagi sangat disayangkan karena Indonesia tak mampu mencapai posisi 10 besar. Daftar 15 negara dengan nilai belanja online tertinggi untuk muslim fashion pada 2013 dipuncaki oleh Turki dengan nilai belanja sebesar $474 juta. Indonesia bertengger di posisi ke 13 dengan nilai belanja online sebesar $110 juta.

Pekerjaan rumah Indonesia masih banyak dan menumpuk jika tetap berambisi untuk menjadi penguasa pasar baju muslim dunia. Dengan kekayaan budaya berupa kain dan motif tradisional, Indonesia memiliki potensi atas akulturasi produk yang luar biasa kaya. Secara hitam di atas putih, lagi-lagi Indonesia lebih unggul dibanding negara lain. Namun, apalah arti teori tanpa praktik?

Baca juga artikel terkait FASHION MUSLIM atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Bisnis
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti