Menuju konten utama

Mengebiri Binatang, Bukan Berarti Manusia Tak Sayang

Beranak-pinak adalah hal alamiah. Namun, sterilisasi perlu dilakukan jika populasi hewan membludak dan mereka malah terlantar.

Mengebiri Binatang, Bukan Berarti Manusia Tak Sayang
Ilustrasi sterilisasi hewan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Manusia hanya bisa hamil satu kali dalam jangka waktu sembilan bulan. Namun, anjing dan kucing betina dapat bunting lebih dari sekali dalam setahun.

Kedua hewan itu termasuk dalam kelompok hewan tipe monoestrus serta diestrus. Hewan monoestrus seperti anjing mengalami siklus berahi satu sampai dua kali setahun. Sementara itu, kucing yang tergolong hewan diestrus menampakkan hasrat seksual terhadap lawan jenis dua sampai tiga kali setahun.

Menurut North Shore Animal League America, satu pasangan kucing jantan dan betina dapat menghasilkan 12 anak kucing setahun. Apabila sel telur hewan betina dibuahi oleh jantan setiap tahunnya, angka jumlah anak kucing tersebut bisa membengkak menjadi 2.072.514 ekor di tahun kedelapan.

Hal serupa juga terjadi pada anjing. Satu ekor anjing betina yang produktif melahirkan mampu menurunkan 16 ekor anak anjing setahun. Dengan demikian, sebanyak 67.000 ekor anak anjing bisa dilahirkan induk betina di tahun kedelapan.

Pesatnya perkembangan populasi kucing dan anjing kemudian mendorong upaya kontrol lewat operasi. Dalam terminologi medis, tindakan bedah sterilisasi dengan mengangkat kelenjar kelamin hewan betina dan jantan secara umum dinamakan gonadektomi.

Hewan betina yang akan disterilisasi lewat ovariohisterektomi atau ovariektomi, yakni operasi pengambilan rahim dan indung telur. Pada hewan jantan, bagian testis serta spermatic cord—struktur tubular pendukung testis dan skrotum—diangkat lewat operasi orkiektomi. Kebanyakan orang mengenal dua tindakan bedah untuk hewan betina dan jantan ini dengan istilah spay dan neutering.

Menurut laporan Alliance for Contraception in Cats & Dogs, kucing atau anjing jantan yang menjalani orkiektomi akan dibius terlebih dahulu sebelum dibedah. Setelah tidak sadarkan diri, dokter hewan akan membuat sayatan di bagian skrotum untuk mengeluarkan testikel.

Ia juga bakal menghentikan aliran darah dan mengikat spermatic cord. Jika prosedur itu selesai, dokter hewan akan menjahit luka tersebut tapi irisan ini dibiarkan terbuka pada kucing. Proses operasi berlangsung cepat dan minim infeksi.

Bedah ovariohisterektomi, sebaliknya, merupakan operasi besar sehingga membutuhkan waktu lebih lama. Masih menurut Alliance for Contraception in Cats & Dogs, prosesnya dimulai dengan pemberian anestesi pada kucing atau anjing betina.

Dokter hewan kemudian mencukur bulu bagian perut kemudian membuat sayatan di sepanjang garis tengah perut atau panggul untuk mengeluarkan rahim dan kedua indung telur. Di tengah proses tersebut, dokter hewan turut mengikat pembuluh darah utama dan sisa bagian rahim. Setelah selesai, sayatan selanjutnya dijahit kembali.

Pro-Kontra

Meski begitu, pro dan kontra mewarnai usaha pengendalian jumlah kucing dan anjing. Berdasarkan laporan Alliance for Contraception in Cats & Dogs, kesehatan hewan menjadi alasan dilakukan atau tidaknya tindakan sterilisasi.

Bagi kelompok pro sterilisasi, sterilisasi lewat operasi menjadi cara efektif untuk membendung kelahiran, mengurangi risiko kesulitan melahirkan (dystocia) dan penyakit sistem reproduksi, mencegah tumor payudara, dan menambah usia hewan. Di sisi seberang, golongan kontra merasa tindakan pengebirian mengundang sejumlah penyakit, misalnya komplikasi pasca-operasi, obesitas, diabetes, cedera lutut, dan tumor.

Femke Den Haas, pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN), bercerita JAAN pernah ditolak warga Kepulauan Seribu ketika hendak melakukan sterilisasi. “Mereka belum mengerti. Mereka bilang kasihan,” jelasnya.

Femke sendiri memandang penting sterilisasi, sebab hewan mempunyai hak untuk hidup dengan tenang. Jika ada yang menolak dengan alasan hewan memiliki hak untuk bereproduksi, ia biasanya mengatakan agar tidak menyamakan hewan dengan manusia.

“Hewan bereproduksi itu insting saja. Kalau setuju dengan hak bereproduksi, tapi nanti [hewannya] ditaruh di jalan, ya, sama saja. Satwa jadi bahagia bukan karena banyak anak, melainkan karena ada yang sayang,” katanya.

Infografik Sterilisasi hewan

Kisah keberatan masyarakat akan kegiatan sterilisasi juga dialami Fanny Wiriaatmadja, pegiat Masyarakat Peduli Satwa. Ia dan rekan-rekannya pernah berencana melakukan sterilisasi massal kucing jalanan dan milik penduduk di daerah di pinggiran Jakarta hampir setahun yang lalu.

“Saya bicara dengan pengurus RT setempat, tapi ditentang dengan alasan haram. Di satu sisi, mereka keberatan dengan keberadaan kucing-kucing itu. Di sisi lain, mereka menolak pemandulan dengan alasan larangan agama,” ujarnya.

Fanny mengatakan warga daerah tersebut lebih suka kucing-kucing itu dibuang di pasar atau meminta tolong Suku Dinas Peternakan dan Satpol PP untuk membawanya ke Balai Kesehatan Hewan dan Ikan (BKHI). Akhirnya, sesuai dengan permintaan warga, kucing-kucing di daerah tersebut dibawa oleh petugas yang berwenang.

Menurutnya, saat ini masyarakat hidup di jaman yang berbeda sehingga sterilisasi diperlukan. “Sekarang kita paham bahaya zoonosis. Membatasi populasi hewan berarti menghindari manusia dari kerugian yang timbul akibat banyaknya hewan jalanan yang berkeliaran,” ujarnya.

Nana, pendiri Animal Friends Jogja (AFJ), mengatakan alasan populasi dan kesejahteraan hewan menjadi dasar orang tidak menyetujui kastrasi selain karena agama.

“Orang menganggap sterilisasi bisa menghabiskan populasi. Menurut saya ini berlebihan. Kami melakukan sterilisasi pada 150 ekor kucing setiap bulan. Belum komunitas lain. Tapi jumlah kucing masih banyak,” katanya.

Ia lalu bercerita soal pengalamannya saat ditolak melakukan kastrasi sebab dianggap melanggar kesejahteraan hewan. “Lalu saya tanya buat kontrol kalau ingin kawin bagaimana? Ia jawab [hewannya] dimasukkan kandang. Nah, kalau berahi di kandang kan bikin stres. Jadi sama saja,” katanya.

Pemerintah Harus Memberi Perhatian

Drh. R.D. Wiwiek Bagdja, Ketua Dewan Penasehat dan Ketua Majelis Kehormatan PB Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, mengatakan sterilisasi menjadi jalan paling baik untuk mengontrol populasi kucing dan anjing. “Masa ovulasi kucing dan anjing bersifat spontan, tidak berkala setiap bulan seperti manusia,” ujarnya.

Hal ini menyebabkan kontrasepsi macam KB yang berlaku pada manusia tidak berpengaruh pada hewan. “Apalagi kucing mengalami masa kawin sebanyak tiga kali setahun. Sementara anjing berjumlah satu sampai dua kali masa kawin dalam setahun,” kata Wiwiek.

Menurutnya, sterilisasi selama ini belum menjadi hal prioritas bagi pemerintah. Padahal, pemerintah harus tahu apakah populasi binatang sudah menjadi gangguan bagi masyarakat atau tidak. Populasi binatang yang membludak bisa mempengaruhi kondisi kesehatan dan keamanan lingkungan.

Meski menggarisbawahi pengaruh populasi binatang terhadap masyarakat sekitarnya, ia tetap menekankan bahwa pelaksanaan sterilisasi harus mengikuti asas kesejahteraan hewan.

“Dari segi ilmiah, hukum, dan etika, kontrol kucing dan anjing harus berdasarkan prinsip kesejahteraan hewan, yakni bebas lapar dan haus, bebas dari ketakutan dan stres, bebas untuk tampil dan bersikap normal, bebas dari penderitaan, luka dan penyakit, serta bebas gangguan,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait ANJING atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nindias Nur Khalika
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Maulida Sri Handayani