Menuju konten utama

Mengapa Warga Brazil Terobsesi dengan Sperma Impor dari AS?

Berkulit putih dan bermata biru ala 'bule' bikin masa depan karier serta keamanan diri anak di Brazil lebih terjamin.

Mengapa Warga Brazil Terobsesi dengan Sperma Impor dari AS?
Pengunjung menikmati pemandangan cakrawala kota setelah mendaki ke Puncak Dois Irmaos dan menghadap Pantai Ipanema, Brazil.[foto/shutterstock]

tirto.id - Joao Carlos Holland de Barcellos adalah ahli komputer berusia 61 tahun asal Brazil dengan rambut pirang keperak-perakan serta mata berwarna biru. Moyangnya berasal dari Inggris dan Jerman. Keistimewaan ini membuatnya jadi favorit di kalangan perempuan Brazil yang ingin punya anak dengan membawa ciri-ciri fisik khas Kaukasia.

Joao tak keberatan menyumbangkan spermanya, secara berkala, kepada orang-orang yang hampir setiap hari memadati rumahnya di Sao Paulo. Istrinya membantu mengurus itu semua bak seorang asisten kantoran. Pekerjaan yang terbilang kontroversial. Namun Joao justru melihatnya sebagai salah satu cara mempertahankan eksistensi diri usai dirinya meninggal.

“Ini adalah cara yang ateistik untuk mencapai keabadian,” ujarnya kepada Samantha Pearson dari Wall Street Journal, Kamis (22/3).

Sayangnya jumlah orang seperti Joao lainnya terlampau sedikit jika dihadapkan pada permintaan yang sedang tinggi-tingginya. Warga Brazil juga selama ini lebih banyak memanfaatkan sperma impor dari Amerika Serikat.

Michelle Ottey, direktur laboratorium Fairfax Cryobank, berkata pada Samantha bahwa Brazil adalah salah satu pasar bisnis sperma dalam beberapa tahun terakhir. Merujuk data Fairfax Cryobank, sebagai distributor dan eksportir sperma terbesar ke Brazil, pada 2011 jumlah impor yang masuk ke Brazil hanya 16 tabung sperma beku. Namun, pada 2016 jumlahnya meroket hingga lebih dari 500 tabung.

Mayoritas yang dipesan adalah sperma untuk menghasilkan bayi dengan ciri-ciri fisik khas ras Kaukasia. Dengan demikian, konsep rupawan yang dianut para calon orang tua ini tak hanya ditunjang dari busana, selera seni, atau gaya hidup, tapi juga kulit yang terang (putih), rambut pirang, serta mata yang memancarkan warna biru atau kehijau-hijauan.

Kesimpulan ini didapat dari data impor semen dari AS periode 2014-2016 yang dicatat oleh badan pengawas kesehatan nasional Brazil, Avinsa. Berdasarkan ras dan etnis si pendonor, 95,4 persen adalah orang kulit putih. Kurang dari lima persennya berasal dari orang keturunan latin, campuran, Asia, atau kulit hitam.

Sementara itu berdasarkan warna mata pendonor, 51 persen berwarna biru. Sisanya cokelat (23,7 persen), hijau (12,8 persen), merah tua/kecokelatan (11,6 persen), dan hitam (0.1 persen). Terakhir berdasarkan warna rambut pendonor, 63,5 persen di antaranya rambut cokelat, 27,2 persen pirang, 7,2 persen hitam, dan 2,1 persennya merah.

Tren ini menunjukkan perubahan sosial masyarakat Brazil khususnya keberhasilan mengelola isu kesetaraan gender. Banyak perempuan yang mengejar karier profesional sekaligus menunda kelahiran. Ada yang punya sedikit waktu saja untuk mencari serta mengurus hubungan dengan pasangan, baik pacaran maupun menikah, sehingga sebagian dari mereka memilih untuk melajang.

Perempuan lajang ini menempati kelompok terbesar kedua yang memesan “sperma Kaukasia” dari AS, yakni 38 persen. Di tempat ketiga ada kelompok pasangan lesbian dengan 21 persen. Uniknya, meski pasangan heteroseksual berada di tempat pertama dengan 41 persen, pertumbuhan permintaan tertinggi ada di kelompok perempuan lajang dan pasangan lesbian.

Demi Karier Bagus

Para perempuan yang melakoni praktik pembuahan dari donor sperma berkata pada Samantha bahwa motivasi mereka adalah demi masa depan si anak. Di dalam masyarakat yang majemuk berbagi dan secara ras, orang kulit hitam maupun campuran masih terkena praktik diskriminasi di bidang pekerjaan maupun perlakukan dari otoritas keamanan.

Orang-orang kulit hitam atau campuran sesungguhnya mayoritas dari segi jumlah, yakni mencapai 53 persen, tetapi punya posisi yang paling rawan dalam beragam dimensi kehidupan.

Kasus kekerasan hingga pembunuhan terhadap orang kulit hitam atau campuran oleh aparat kepolisian atau militer masih tinggi, demikian menurut laporan New York Times. Mengutip sebuah riset yang dijalankan University of Sao Carlos, 58 persen orang yang terbunuh oleh prajurit militer di Sao Paulo berkulit hitam.

Orang kulit hitam atau campuran masih mengalami ketidakadilan dalam mengakses pendidikan, demikian kesimpulan riset Leticia J. Marteloto. Marteloto menganalisisnya dari data pendidikan nasional Brazil periode 1982-2007. Jika dulu yang paling mengalami kesusahan dalam mengakses ilmu adalah orang kulit hitam, namun sejak 2000-an korban terparahnya adalah generasi muda berkulit campuran (cokelat atau sawo matang).

Kalah dari segi edukasi, mereka kemudian keok di bidang ekonomi. Kembali mengutip Wall Street Journal, dalam golongan satu persen orang terkaya di Brazil, 80 persennya adalah orang kulit putih. Orang kulit putih Brazil mendominasi posisi-posisi kepala perusahaan, CEO, dan orang-orang yang punya pengaruh di negara tersebut.

Khusus terkait karier di industri hiburan, diskriminasi langgeng sebab muncul peraturan tak tertulis bahwa berkulit terang juga jadi salah satu syarat utama. Contohnya, lima tahun lalu pernah muncul kontroversi dari seorang penyanyi pop Brazil bernama Anitta. Di awal karier ia berkulit campuran (sawo matang-kekuningan) dan berambut keriting.

Namun, saat mulai terkenal usai dikontrak oleh sebuah major label, ia meluruskan rambutnya dan merawat kulitnya agar terlihat lebih terang. Sebagaimana dikutip dari opini Teresa Wiltz untuk Guardian, Annita adalah salah satu dari sekian banyak warga Brazil yang menjadi korban industri hiburan yang rasis. Sayangnya, tipe yang demikianlah yang menjadi selera warga Brazil secara umum.

infografik berburu sperma bermata biru

Inferioritas Warisan Kolonial

Amika Wardhana, pengajar Sosiologi dari Universitas Negeri Yogyakarta, berkata wajar jika orang-orang di negara dunia ketiga berusaha menjadi “putih” untuk bertahan hidup. Mereka membuat batas sosial yang bersifat fisik namun sekaligus mengandung makna budaya.

“Ini soal proteksi ekonomi. Soal garansi agar gampang memperoleh kue-kue ekonomi di masyarakat era kekinian. Kalau punya unsur Kaukasia, kesempatan jadi artis makin terbuka. Sebagian orang menganggap hal ini adalah perjuangan yang layak untuk dilakukan,” kata dosen yang akrab disapa Miko ini saat dihubungi Tirto, Senin (26/3/2018).

Pengajar bidang multikulturalisme di program pasca sarjana UNY ini menanggapi perburuan sperma orang AS di Brazil sebagai representasi dari dua fenomena sosiologis. Pertama, warisan poskolonial. Hal ini berkaitan dengan status Brazil yang dulu dijajah bangsa kulit putih (Portugis). Proses dominasi selama bertahun-tahun melahirkan superioritas atas dasar fisik.

Kedua, kolonialiasi juga otomatis menciptakan rasa inferior pada orang-orang asli berkulit hitam atau campuran. Istilahnya inferiority complex. Tidak hanya di Brazil, fenomena ini juga terjadi di negara-negara bekas jajahan lain, termasuk Indonesia.

Orang-orang negara dunia ketiga terobsesi memutihkan kulit sebab dengan kulit itu ia merasa lebih rupawan. Ia memakai standar ala Barat, yang menurut Amika unik sebab orang-orang kulit putih di Barat justru banyak yang mencari pasangan berkulit hitam, cokelat, kuning langsat atau sawo matang.

Di Pakistan, misalnya, memutihkan kulit melalui pemakaian kosmetik, perawatan sederhana, hingga operasi berbiaya mahal sudah jadi fenomena umum. Merujuk riset Saman Ismail dkk yang dimuat di Jurnal IJIRES tiga tahun lalu, diketahui perilaku tersebut didorong oleh beberapa faktor, yakni inferiority complex, tekanan sosial, dan terpapar iklan produk pemutih yang bikin si pelaku obsesif.

Dalam laporan Times of India lima tahun lalu, keinginan dibuahi sperma pendonor berkulit terang hingga putih juga menggejala di India, negara bekas jajahan Inggris. Penggemarnya adalah pasangan yang tak subur, yang menurut data Badan Kesehatan Dunia berjumlah hampir 19 juta pasangan. Banyak yang berpikir: sebab pakai sperma donor, sekalian saja pakai dari sumbangan orang kulit putih.

“Pasangan datang untuk pembuahan in-vitro (in-vitro fertilization/IVF) datang dengan mengajukan permintaan yang spesifik: telur atau sperma pendonor harus dari latar belakang orang berpendidikan, berkulit terang, dan bermata biru,” kata Dr. Rita Bakshi, ahli IVF saat dimintai keterangan oleh Times of India.

Bakhsi menyatakan para peminta sperma pendonor kulit putih itu mencapai 70 persen dari total pengunjung kliniknya. Pendonor biasanya berasal dari Spanyol dan negara-negara di Eropa Timur. Sebagaimana Brazil, India membolehkan impor sperma. Biaya IVF tentu lebih tinggi karena dikenai pajak impor. Tak heran, mayoritas peminat berasal dari kalangan kelas menengah dan atas.

“Orang-orang ini (penggemar sperma dari ras Kaukasia) merasa perlu mengambil tak hanya budayanya, tapi juga genetiknya. Basisnya akhirnya fisik, biologis, naturalnya. Itu sudah mengakar di alam bawah sadar, sehingga si pelaku tidak menyadari bahwa yang ia lakukan terpengaruhi warisan poskolonial serta inferiority complex. Sudah termasuk kesadaran umum,” tandas Amika.

Baca juga artikel terkait DONOR SPERMA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf