Menuju konten utama

Mengapa Turki Jadi Sarang Perdagangan Manusia dan Bisnis Seks?

Berdasarkan temuan DGMM, perdagangan manusia di Turki didominasi oleh kasus eksploitasi seksual.

Mengapa Turki Jadi Sarang Perdagangan Manusia dan Bisnis Seks?
Kerumunan orang dengan mengangkat tangan di atas bendera Turki berbaur. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Di mata orang Indonesia, Turki tampaknya belum jadi destinasi utama untuk bekerja. Sampai hari ini, KBRI Ankara memperkirakan hanya ada 4.500 WNI di Turki—30 persennya bekerja dan sekolah, sedangkan sebagian besar lainnya menikah dengan orang Turki. Sebagai perbandingan, Malaysia, Taiwan dan Hong Kong masing-masing mempekerjakan lebih dari 70 ribu WNI sepanjang tahun 2019.

Walaupun jumlahnya relatif sedikit, WNI di Turki rentan dieksploitasi. Salah satunya melalui rekrutmen Asisten Rumah Tangga (ART). Lazimnya, masyarakat Turki tidak menyewa ART dari luar negeri, sehingga pihak yang diiming-imingi posisi tersebut harus hati-hati menyikapinya. Alih-alih berkecimpung di ranah domestik, orang Indonesia di Turki utamanya bekerja di sektor perhotelan sebagai terapis spa atau juru masak.

“Tawaran untuk bekerja sebagai ART di Turki itu sudah dipastikan adalah ilegal dan itu sangat rentan menjadi korban perdagangan manusia,” tegas Dubes RI untuk Turki, Lalu Muhammad Iqbal, dilansir dari Antara pada Senin (05/04). Selama 2020, sebanyak 20 WNI terlibat dalam tindak pidana perdagangan manusia. Dalam tiga bulan pertama tahun 2021, jumlahnya sudah mencapai 19 kasus.

Perdagangan manusia, seperti didefinisikan oleh PBB, adalah tindakan merekrut, mengangkut, memindah, menyembunyikan atau menerima orang melalui paksaan atau penipuan, dengan tujuan mengeksploitasi mereka agar memperoleh keuntungan. Para pelaku biasanya menggunakan cara kekerasan, atau beroperasi sebagai agen penyalur kerja bodong.

Menurut laporan “2020 Trafficking in Persons Report” yang dirilis Departemen Luar Negeri AS, pemerintah Turki dipandang belum maksimal dalam memberantas perdagangan manusia, meskipun sudah menunjukkan usaha-usaha gigih untuk menanganinya. Direktorat Jenderal untuk Manajemen Migrasi (DGMM) yang didirkan pada 2013 misalnya, dinilai berperan penting dalam mengidentifikasi para korban.

Berdasarkan temuan DGMM, perdagangan manusia di Turki didominasi oleh kasus eksploitasi seksual. Dari 193 korban yang dapat diidentifikasi pada 2019, sebanyak 134 orang terlibat dalam perdagangan seksual. Mayoritas korban berjenis kelamin perempuan (173) dan berkewarganegaraan asing (191). Angka-angka di atas mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Sementara itu, korban-korbannya berasal dari kawasan Asia Tengah dan Selatan, Eropa Timur, Azerbaijan, Indonesia, Maroko dan Suriah.

Perdagangan Seks di Turki

Letak geografis Turki tergolong unik: diapit Eropa dan Asia, berbatasan dengan negara-negara Balkan, Timur Tengah, Laut Mediterania dan Laut Hitam. Tak lama setelah berdiri sebagai republik pada 1923, Turki mulai menerima gelombang pengungsi Muslim besar-besaran dari wilayah bekas imperium Turki Usmani, termasuk sejumlah area Balkan sampai Yunani. Sampai hari ini, Turki menjadi negara penampung pengungsi terbesar di dunia, dengan lebih dari 3,7 juta orang Suriah tertahan di sana. Singkatnya, lokasi Turki yang strategis membuatnya ideal sebagai jembatan untuk berlalu-lalang antarbenua, di samping menjadi lokasi transit dan tempat bermukim bagi orang-orang yang mencari perlindungan dan peruntungan.

Meskipun mobilitas kaum pendatang dipandang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri, berbagai kemudahan akses keluar-masuk Turki membuatnya rentan dijadikan lokasi untuk praktik-praktik migrasi menyeleweng, seperti perdagangan perempuan dan eksploitasi seksual.

Keterlibatan perempuan asing dalam perdagangan seksual sudah marak ditemui satu abad silam di kota terbesar Turki, Istanbul (Konstantinopel), seperti disampaikan Mark Wyers dalam studi berjudul “Selling Sex in Istanbul” di buku Selling Sex in the City: A Global History of Prostitution, 1600s-2000s (2017). Sampai awal abad ke-20, Istanbul telah dikenal sebagai pusat “lalu-lintas perempuan”. Berdasarkan data tahun 1919-20, dari sekitar 1 juta populasi jiwa di Istanbul, 2.000 orang di antaranya terdaftar sebagai pekerja seks. Enam puluh persennya berasal dari latar belakang non-Muslim, seperti orang Yunani, Yahudi dan Armenia. Sementara itu, di sejumlah rumah bordil berlisensi pemerintah, ada pula perempuan yang berasal dari wilayah di luar Turki Usmani, terutama dari Rusia, serta segelintir dari Jerman, Itali, Romania, Bulgaria, Perancis dan Polandia.

Masih mengutip temuan Wyers, otoritas Turki Usmani pada awalnya tidak punya aturan hukum yang kuat untuk menangkap atau menghukum pekerja seks asing dan pihak-pihak pemberi kerja. Menjelang Perang Dunia I, mereka baru mulai meregulasikannya. Pasca-1930, lisensi sebagai pekerja seks hanya diberikan pada perempuan berkewarganegaraan Turki. Warga negara asing yang ketahuan terlibat dalam perdagangan seks pun terancam dideportasi—aturan yang berlaku sampai sekarang.

Praktik prostitusi hukumnya legal di Turki, apabila dilakukan di genelevlerin atau rumah bordil berlisensi pemerintah. Kerangka hukum genelevlerin diatur dalam undang-undang (PDF) tahun 1930, yang dimodifikasi pada 1961 dan 1973. Komisi Pemberantasan Penyakit Kelamin dan Prostitusi (Zührevi Hastalıklar ve Fuhuşla Mücadele Komisyonları) adalah badan yang ditunjuk pemerintah untuk menginvestigasi kasus-kasus prostitusi dan mencegah penularan penyakit seksual di kalangan pekerja seks.

Asli Zengin dalam studi berjudul “A Field of Silence: Secrecy, Intimacy, and Sex Work in Turkey” (2020), mengaku kesulitan untuk menjangkau pekerja seks berlisensi dalam rangka kepentingan riset. Pasalnya, mereka dikondisikan dalam struktur birokrasi dan institusional yang sangat tertutup dan privat, sebagaimana diatur oleh Komisi Pemberantasan Penyakit Kelamin dan Prostitusi yang membawahi urusan manajemen, kesehatan dan penegakan hukum terkait praktik kerja seks.

Masih dilansir dari tulisan Zengin, pekerja seks berlisensi di Istanbul diwajibkan datang ke rumah sakit rujukan untuk cek kesehatan rutin 2 kali seminggu dan tes darah setiap 3 bulan sekali. Jika didiagnosis dengan penyakit menular seksual, otoritas kesehatan dapat mencabut lisensi kerjanya sampai si pasien sembuh. Dari sektor penegak hukum, polisi bertugas menerbitkan lisensi (vesika) kepada perempuan yang ingin mendaftar sebagai pekerja seks legal. Polisi juga menunjuk petugas keamanan (vekil) untuk berjaga di gerbang kompleks rumah bordil berlisensi dan mengawasi situasi di sana.

Pendatang dari Negeri Jiran

Dikutip dari tulisan Anna Sussman berjudul “The Brothel Next Doordi Foreign Policy yang terbit pada 2012, Departemen Kesehatan Turki pernah mendata 3.000 pekerja seks berlisensi di 56 rumah bordil genelevlerin yang diregulasi pemerintah. Pada waktu bersamaan, diperkirakan terdapat 100 ribu pekerja seks yang tidak resmi alias ilegal. Sebagian dari mereka adalah warga negara asing.

Di bawah pemerintahan konservatif Turki sekarang, disinyalir sudah tidak ada lagi perempuan yang didaftarkan sebagai pekerja seks berlisensi. Pada 2009, pengajuan izin seorang perempuan Turki pernah ditolak karena rumah bordil yang ditujunya sudah tidak bisa menampung staf lagi. Setelah naik banding ke Pengadilan Konstitusional pada 2018, pengajuannya kembali ditolak. Pengadilan menegaskan, perlindungan legal pada hak-hak pribadi tidak berlaku pada pekerja seks, karena “menerima prostitusi sebagai sebuah profesi bertentangan dengan martabat manusia”. Namun demikian, dikutip dari “Selling Sex in Istanbul” karya Mark Wyers, diperkirakan masih ada 6.000 berkas pendaftaran calon pekerja seks yang statusnya ditangguhkan.

Di balik regulasi ketat dan berbagai kontroversi tentang praktik prostitusi di Turki, perdagangan seks di sana selama ini tidak bisa dilepaskan dari peran-serta imigran perempuan. Setelah blok Uni Soviet mulai runtuh (1989-91), Turki semakin dikenal sebagai destinasi sekaligus lokasi transit untuk perdagangan seks. Praktik ini marak ditemui di kalangan perempuan dari kawasan eks- Soviet, yang dihadapkan pada kesulitan ekonomi di daerah asalnya. Khalayak Turki sampai menggeneralisasi semua perempuan Soviet yang berkulit putih dan berambut pirang sebagai pekerja seks, atau populer dengan nama panggilan “Natasha”.

Infografik Perdagangan Turki

Infografik Perdagangan Turki. tirto.id/Quita

Pada 1993, The New York Times sempat mengulas kehebohan “sindrom Natasha” di Turki, fenomena praktik menjajakan seks oleh ribuan perempuan Romania dan Rusia. Tujuannya semata-mata demi mendapatkan uang untuk modal bisnis di kampung halaman mereka di Bukares, Brasov atau Moskow.

Dalam penelitian berjudul “The ‘Natasha’ experience: migrant sex workers from the former Soviet Union and Eastern Europe in Turkey” (2002), Leyla Gulcur dan Pinar Ilkkaracan mencoba menangkap pengalaman sejumlah perempuan pekerja seks dari kawasan Soviet dan Eropa Timur di Turki.

Berdasarkan penuturan para informan, pada awal dekade 1990-an, perempuan dalam grup-grup kecil dibawa ke Turki melalui kerjasama mafia Turki dan Rusia. Setelah selesai dipekerjakan di sana, mereka dipulangkan ke tempat asalnya. Keuntungan bisnis dibagi antara pihak pekerja dan muncikari. Akan tetapi, seiring waktu, praktik ini mulai berkurang. Alasannya, semakin banyak perempuan yang pergi bekerja sebagai pribadi bebas, alih-alih dijebak dalam jaringan perdagangan atau disetir kepentingan mafia.

Terlepas dari itu, sampai awal tahun 2000-an, Turki masih disorot karena kuatnya rantai perdagangan yang melibatkan perempuan-perempuan Slavia di sana. Pada 2005 Allan Freedman, koordinator program anti-perdagangan manusia dari International Organization for Migration di Ankara, pernah menyampaikan kepada New York Times bahwa para perempuan direkrut di kampung halamannya dengan iming-iming pekerjaan. “Tapi, begitu mereka tiba di perbatasan negara, paspornya disita dan mereka dipukul, diperkosa, dipaksa masuk prostitusi,” ujar Freedman.

Masih dikutip dari New York Times, pada 2004, lebih dari 200 perempuan diperdagangkan ke Turki. Jumlah tersebut diperkirakan tak sampai 10 persen dari total korban yang diperjualbelikan di sana. Menurut organisasi swadaya yang berkecimpung dalam layanan perlindungan korban, kebanyakan perempuan berasal dari Ukraina dan Moldova, meskipun ditemui pula yang datang dari Rusia, Azerbaijan, Kyrgyzstan, Romania, Georgia dan Iran. Salah satu daya tarik kerja di Turki berkaitan dengan longgarnya kebijakan visa di sana, berbeda dengan persyaratan visa di negara-negara Eropa Barat yang umumnya butuh waktu sekian minggu untuk diproses.

Selama dua dekade terakhir, pemerintah Turki menunjukkan keseriusannya untuk mengakhiri praktik perdagangan manusia. Menurut informasi dari laman Departemen Luar Negeri Turki, pada 2002 mereka mendirikan Gugus Tugas Nasional untuk memberantas perdagangan manusia. Setahun kemudian, mereka meratifikasi Konvensi PBB untuk melawan kejahatan terorganisir transnasional (Konvensi Palermo). Pada 2009, Turki juga menandatangani piagam anti-perdagangan manusia dalam Konvensi Dewan Eropa.

Pada 2013, pemerintah Turki mengesahkan UU Orang Asing dan Perlindungan Internasional. UU ini membuka jalan bagi berdirinya Direktorat Jenderal untuk Manajemen Migrasi (DGMM). Di dalam DGMM, terdapat departemen khusus untuk perlindungan korban perdagangan. Tanggung jawab utamanya adalah mengimplementasikan program-program pemberantasan perdagangan manusia, di samping memberikan bantuan dan pendampingan untuk para korban sesuai dengan praktik terbaik berstandar internasional.

Baca juga artikel terkait PERDAGANGAN MANUSIA atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf