Menuju konten utama

Mengapa THR 2021 Dilarang Dicicil & Risiko Sanksi bagi Pengusaha

Perusahaan wajib membayarkan THR 2021 tanpa dicicil paling lambat tujuh hari sebelum hari raya.

Mengapa THR 2021 Dilarang Dicicil & Risiko Sanksi bagi Pengusaha
Petugas melayani pengaduan warga lewat telepon di posko pengaduan THR di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Senin (28/5/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Perusahaan wajib membayarkan tunjangan hari raya (THR) keagamaan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya secara penuh.

Demikian bunyi Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan tertanggal 12 April 2021.

Isi SE Menaker tersebut juga mengatur jika perusahaan yang terdampak COVID-19 dapat berdialog dengan pekerja untuk mencapai kesepakatan pembayaran THR. Kalau perusahaan tidak mampu mengucurkan THR, perlu disertai bukti ketidakmampuan dan perusahaan melaporkan hasil diskusi dengan pekerja ke dinas terkait paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak rencana pembayaran THR tahun ini dicicil seperti tahun kemarin. Sementara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta pengusaha membayar THR kali ini secara penuh karena saat ini kondisi ekonomi sudah mulai pulih setelah "berbagai stimulus sudah diberikan" oleh pemerintah.

Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menilai surat edaran tersebut tidak mendedah substansi secara komprehensif; pemerintah tidak memberikan tolak ukur dampak bagi perusahaan yang dihantam efek COVID-19.

Ia khawatir surat tersebut jadi ‘tameng’ perusahaan untuk tidak memenuhi hak-hak para pekerja.

“Sedangkan perusahaan selama ini mayoritas masih beroperasi, sedangkan surat edaran sebelumnya mengenai perusahaan terdampak pandemi, bikin perusahaan berlomba-lomba membayar upahnya 20 persen, 50 persen, bahkan ada sama sekali tidak dibayar. Padahal perusahaan tetap beroperasional, bahkan buruhnya lembur,” ujar Nining kepada Tirto, Kamis (15/4/2021).

Pemerintah mudah meminta pekerja melakukan perundingan dengan perusahaan, tapi menurut Nining, pekerja dan pengusaha relasinya tidak setara. Kondisi tersebut diperburuk oleh lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap korporasi. Lantas, idealnya THR ‘dikembalikan’ sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 6 Tahun 2016 ihwal Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan yakni pengusaha wajib memberikan THR.

THR 2021 Jangan Dicicil

Kasubag Pemberitaan Kementerian Ketenagakerjaan Dicky Risyana menekankan bahwa surat edaran tersebut tidak memperbolehkan perusahaan untuk mencicil pembayaran THR 2021. “[THR] tidak boleh [dicicil],” kata dia kepada Tirto, Kamis lalu.

Setiap perusahaan yang tidak membayar atau terlambat membayar THR keagamaan akan diberi sanksi lima persen denda dari total THR, serta sanksi administratif seperti teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara/sebagian atau seluruh alat produksi, dan pembekuan kegiatan usaha.

Sanksi administratif sesuai Pasal 61 dan Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan serta Pasal 10 dan Pasal 11 Permenaker Nomor 6 Tahun 2016. Meskipun sudah dihukum, perusahaan tetap mesti menunaikan kewajiban membayar THR kepada para pekerja alias pengenaan sanksi administratif tidak menggugurkan kewajiban pengusaha atas denda keterlambatan membayar THR keagamaan.

Dicky berharap setiap perselisihan industrial antara pekerja dan pengusaha diselesaikan dengan dialog yang mengedepankan asas keterbukaan. “Coba selesaikan dahulu, kami dorong bipartit,” imbuh dia.

Kemudian, Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, berkata tidak ada perbedaan signifikan dari surat edaran tersebut, baik tahun ini maupun tahun lalu. Penerapan dari surat edaran Menaker tersebut yang seharusnya disorot.

“Transparansi itu kunci, juga pengawasan, kalau memang surat edaran ini akan ditegakkan. Tentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tutur dia ketika dihubungi Tirto, Kamis. Pemantauan dan evaluasi dapat dilakukan oleh kementerian dan lembaga terkait.

Terlepas dari peraturan, korporasi dapat menerbitkan laporan dua tahun masa pagebluk ini. Bila kondisi keuangan tergolong bagus, maka dapat diusahakan tak perlu mengangsur THR. Sebaliknya, ruang bipartit menjadi upaya perusahaan dan pekerja untuk membahas kesepakatan jika saldo rekening kantor tergolong minim untuk memenuhi hak THR.

“Harus ada dokumen yang dilengkapi. Lebih di (ranah) pelaksanaan. Kita tidak bisa memaksa jika situasi tidak terlalu baik, tapi bisa membayar dengan mencicil. Itu juga perlu kesepakatan pekerja dan pemberi kerja,” tutur Adinda. Tak bisa getok rata kondisi finansial korporasi; tak bisa pula memaksakan H-7 hari raya, THR harus cair.

Dinas Tenaga Kerja juga mesti aktif menindaklanjuti sengketa hak tenaga kerja ini. Namun, diperlukan ekstensifikasi data perusahaan yang terbaru dan terintegrasi, agar memudahkan penyelesaian perkara.

Pola relasi pekerja dan pengusaha merupakan hubungan kepercayaan, akan tetapi sisi lainnya yakni menjadi hubungan bersifat publik. Maka negara tidak ikut campur ihwal syarat-syarat kerja, termasuk upah minimum. Pun dengan THR, selain bersifat kewajiban hukum bagi pengusaha, juga dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan, terutama saat pandemi COVID-19 ini.

“Oleh karena itu, terbuka kemungkinan cara pembayaran (THR) dicicil karena kemampuan perusahaan. Yang menjadi persoalan adalah sejauh mana kewajiban THR itu bisa disepakati,” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, ketika dihubungi Tirto, Kamis.

Jika pekerja menyadari kondisi perusahaan, maka pengangsuran THR itu bukan persoalan besar. Fickar melanjutkan, hubungan ketenagakerjaan tidak bisa dipidanakan, kecuali pengusaha tidak mau membayarnya.

Baca juga artikel terkait THR 2021 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika & Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika & Alfian Putra Abdi
Penulis: Adi Briantika & Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri