Menuju konten utama

Mengapa Tesla dan Sejumlah Perusahaan Memilih Go Private?

Menjadi perusahaan publik memang memiliki prestise tersendiri. Namun, menjadi perusahaan tertutup juga tidak kalah menarik.

Mengapa Tesla dan Sejumlah Perusahaan Memilih Go Private?
Seorang pria mengamati layar elektronik pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (10/8)antarafoto-ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

tirto.id - Chief Executive Tesla Inc. Elon Musk tiba-tiba mengguncang pasar modal AS pada Selasa, 7 Agustus 2018. Melalui Twitter-nya, pengusaha muda berusia 47 tahun itu ingin Tesla Inc menjadi perusahaan tertutup dari sebelumnya perusahaan terbuka.

“Sedang mempertimbangkan Tesla menjadi privat pada US$420. Pendanaan dijamin,” kata Elon. Selang tiga jam, ia kembali berkomentar, “Para pemegang saham bisa memilih menjual sahamnya pada US$420 atau menahannya, dan menjadi privat.”

Sontak, pelaku pasar modal bertanya-tanya, dari mana Tesla mendapatkan pendanaan untuk membeli kembali (buyout) dari para pemegang saham. Pasalnya, biaya untuk membuat Tesla menjadi perusahaan tertutup mencapai sekitar US$70 miliar.

Keheranan pelaku pasar modal bukan tanpa alasan. Pasalnya, kondisi keuangan Tesla saat ini memprihatinkan. Sejak melantai di bursa pada 8 tahun yang lalu, produsen mobil listrik ini sama sekali belum sekalipun menghasilkan keuntungan. Pada tahun lalu, Tesla mencatat rugi sebesar US$2,24 miliar.

Namun belakangan, Elon mengungkapkan Arab Saudi menjadi aktor di belakang pendanaan Tesla untuk buyout tersebut. Kabar Elon ini pun mengerek harga saham Tesla dari US$344 per saham menjadi US$355 per saham dalam sepekan terakhir ini.

Lantas apa yang menjadi alasan perusahaan ketika memutuskan untuk menjadi privat atau tertutup ini? Emiten yang memutuskan untuk keluar dari anggota bursa efek memang hal yang biasa terjadi. Di Indonesia sendiri, cukup banyak perusahaan yang ingin keluar dari lantai bursa (delisting), atau menjadi perusahaan tertutup.

Sekadar informasi, menjadi perusahaan publik itu tidak mudah. Meski mendapatkan pendanaan di luar lembaga keuangan, perusahaan publik memiliki sejumlah kewajiban yang harus dapat dipenuhi sebagaimana diatur UU Pasar Modal.

Selain itu, hal yang paling sulit untuk dilakukan perusahaan adalah harus selalu membuka rahasia dirinya, mulai kinerja keuangan, tahapan ekspansi, kerja sama dengan pihak ketiga dan lain sebagainya. Tentunya ini tidak dirasakan apabila perusahaan masih tertutup.

Penyampaian laporan tahunan misalnya. Perusahaan wajib melaporkan pertanggungjawaban direksi dan dewan komisaris dalam melakukan pengurusan dan pengawasan terhadap emiten dalam kurun waktu 1 tahun kepada pemegang saham. Ketentuan tersebut tertuang di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 29/2016 tentang laporan tahunan emiten.

Sedikitnya, ada 10 hal yang harus dimuat di dalam laporan tahunan tersebut. Mulai dari, ikhtisar data keuangan penting; informasi saham; laporan direksi; laporan dewan komisaris; profil emiten; analisis dan pembahasan manajemen; tanggung jawab sosial dan lingkungan emiten.

Kemudian, tata kelola emiten; laporan keuangan tahunan yang telah diaudit. Terakhir, surat pernyataan anggota direksi dan anggota dewan komisaris tentang tanggung jawab atas laporan tahunan. Banyak hal yang membuat perusahaan memilih keluar dari bursa efek. Namun yang pasti, penyebab perusahaan keluar itu dilakukan dengan secara sukarela (voluntary delisting) atau secara paksa (forced delisting).

Delisting sukarela terjadi karena emiten bersangkutan mengajukan permohonan untuk keluar dari bursa dengan alasan-alasan internal perusahaan. Misal, alasan untuk menjadi perusahaan tertutup, karena akan diakuisisi, merger dan lainnya.

Contoh perusahaan yang memilih delisting secara sukarela yakni PT Aqua Golden Missisippi Tbk (AQUA) pada 1 April 2011. Mereka menginginkan untuk menjadi perusahaan tertutup karena sudah mampu mendanai operasional perusahaan secara mandiri.

Dalam upayanya menjadi perusahaan tertutup, Aqua menggelontorkan dana sekitar Rp358,13 miliar. Kala itu, harga saham yang dibeli Aqua untuk menjadi perusahaan tertutup mencapai Rp500.000 per saham.

Sementara itu, delisting yang dilakukan secara paksa adalah delisting yang terjadi karena perusahaan yang bersangkutan tidak mampu untuk memenuhi kriteria dan syarat pencatatan yang telah ditetapkan bursa efek. Contoh perusahaan yang terkena delisting secara paksa antara lain PT Inovisi Infracom Tbk (INVS) pada 23 Oktober 2017. Emiten infrastruktur telekomunikasi ini didepak otoritas bursa dikarenakan adanya indikasi negatif terhadap kelangsungan usaha INVS.

Jika menilik dari penyebab perusahaan delisting yang terjadi selama ini, ternyata delisting secara paksa lebih banyak ketimbang yang sukarela. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan Batti Husain, akademisi dari STIE YPUP Makassar.

Mulai dari 2009 sampai dengan 2015, sebanyak 28 perusahaan ‘angkat kaki’ dari Bursa Efek Indonesia. Pada saat yang sama, jumlah perusahaan yang melantai di BEI mencapai sebanyak 531 perusahaan. Dalam penelitiannya bertajuk “Harga Saham Dan Kinerja Keuangan Perusahaan Menjelang Keputusan Delisting BEI Tahun 2009-2016” (PDF), Batti menyebutkan mayoritas perusahaan yang delisting disebabkan sanksi dari BEI.

Dari 28 perusahaan yang delisting, hanya 8 perusahaan yang delisting secara sukarela. Alasan mereka antara lain 4 perusahaan karena ingin go private, 2 perusahaan karena ingin merger, dan 2 perusahaan karena akuisisi.

Secara umum, penelitian itu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perusahaan mampu mengelola keuangannya saat melantai di bursa, terutama ketika memperdagangkan sahamnya di pasar modal. Analisis kinerja keuangan tersebut dilakukan pada perusahaan yang delisting pada periode 2009—2016.

Infografik Perusahaan Go Private di Indonesia

Nasib Perusahaan dan Investor Setelah Delisting

Lantas bagaimana nasib perusahaan setelah delisting ?

Setelah delisting, perusahaan yang bersangkutan masih tetap menjalankan usahanya, bahkan bisa berkembang. Aqua misalnya, diketahui memiliki pangsa pasar hingga 35 persen pada 2015 dari total kebutuhan 24,7 miliar liter per tahun.

Sayangnya, tren kinerja keuangan perusahaan setelah keluar dari pasar modal tidak bisa terlihat. Hal itu dikarenakan perusahaan tertutup tidak berkewajiban untuk menyediakan informasi publik, khususnya laporan keuangan.

Selain Aqua, nasib yang bagus juga dialami Dell. Produsen perangkat keras komputer asal AS itu keluar dari pasar modal pada 2013. Kala itu, Dell merogoh kocek sebesar US$24,4 miliar sebagai biaya kompensasi perusahaan keluar dari pasar modal.

Keluar dari pasar modal, laju ekspansi Dell ternyata juga masih kencang. Prospeknya kian bersinar. Pada 2018, nilai perusahaan Dell sudah menembus US$70 miliar, atau tiga kali lipat dari biaya delisting 5 tahun yang lalu.

Meski begitu, ada juga perusahaan yang pailit setelah keluar dari pasar modal. Akan tetapi, dalam kebanyakan kasus, perusahaan sebenarnya sudah pailit atau di ambang pailit sebelum akhirnya delisting. Contohnya saja, PT Dwi Aneka Jaya Kemasindo. Produsen kemasan ini dinyatakan pailit pada November 2017. Setelah itu, Bursa Efek Indonesia memutuskan untuk menghapus nama perusahaan dari anggota bursa pada 18 Mei 2018.

Di lain pihak, keputusan perusahaan untuk go private sebenarnya agak disayangkan. Hal itu dikarenakan menjadi perusahaan terbuka adalah sebuah prestise yang tidak mudah diraih karena harus mampu menaati regulasi pasar modal.

“Namun, ketaatan regulasi pasar modal ini sebenarnya menjadikan perusahaan publik maju dan berkembang ke depannya, sehingga tidak tepat jika kembali menjadi tertutup,” kata Agus Riyanto, Dosen dari BINUS University dikutip dari laman resminya.

Baca juga artikel terkait PASAR MODAL atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Nuran Wibisono