Menuju konten utama

Mengapa Sistem IT Sulit Membuat Hasil Pemilu Berubah?

Perhitungan suara masih manual. Sistem IT hanya untuk membantu sekaligus transparansi ke masyarakat.

Mengapa Sistem IT Sulit Membuat Hasil Pemilu Berubah?
Kendaraan melintas di dekat papan sosialisasi pemilu 2019 di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu (3/4/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.

tirto.id - Pada 3 April lalu beredar kabar di Facebook kalau Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merancang kemenangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam Pilpres 2019. Kabar itu disiarkan lewat potongan video dari pemilik akun dengan nama Aras Myta (kini videonya telah dihapus).

Isi teks yang tertempel dalam video itu menegaskan sebagai berikut: "WOW server KPU ternyata sudah di-setting 01 menang 57 persen, tapi jebol atas kebesaran Allah meskipun sudah dipasang [keamanan] tiga lapis."

Video dengan durasi lebih panjang juga diunggah di Youtube pada 3 April 2019 pukul 19.41 WIB. Video ini juga telah dihapus.

KPU sendiri sebetulnya telah membantah. "Pasti ngawur itu," kata Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi kepada reporter Tirto, Kamis (4/4/2019) lalu.

Apa yang dikatakan Pramono didasarkan pada argumen yang kuat. Bahwa kecurangan lewat sistem IT tak mungkin memengaruhi hasil pemilihan karena hingga sampai saat ini penghitungan suara masih dilakukan secara manual, berjenjang dari tingkat TPS hingga KPU pusat.

Itu pun akan selalu ada saksi yang mengawasi. Mereka berada di bawah pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Kalaupun ada pemanfaatan IT, itu hanya untuk memudahkan masyarakat tahu hasil pemilu secara cepat. Namanya Situng, akronim dari Sistem Informasi Penghitungan Suara. Ini sudah dipakai pada Pemilu 2014, Pilkada 2015, dan Pilkada 2017.

Jadi, hasil penghitungan manual akan dimasukkan dalam Situng. Di dalamnya akan ada hasil entri C1 dari tiap TPS yang bisa dilihat siapa saja. Pada hari pertama, ditargetkan data yang masuk ke Situng mencapai lima persen. Data lengkap diharapkan telah tersedia pada H+5 pemungutan suara.

Berhubung pemilu baru akan diselenggarakan pada 17 April, maka Situng masih kosong. Ia hanya terisi jika penghitungan manual telah dilakukan.

Seperti dikutip dari rumahpemilu.org, data pada Situng "bukan hasil resmi". Sekali lagi, yang resmi adalah hasil penghitungan manual.

"Hasil resmi perhitungan suara itu dilakukan secara manual. [Situng] itu tidak akan memengaruhi perhitungan suara masing-masing peserta pemilu secara resmi. Yang resmi itu yang direkap secara manual, secara berjenjang dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan tingkat nasional," jelas Pramono.

Meski Situng tak memengaruhi penghitungan suara secara resmi, namun ia tetap penting dijaga. Perkara ini pernah disorot Ketua Communication and Information System Security Research Center (CISSRec), Pratama Persadha.

Februari lalu, ia mengatakan kalau pada Pilkada 2018 yang paling sering diserang para peretas adalah perkembangan sementara hasil hitung riil. Angka hitung riil jadi tidak sesuai dengan formulir C1 hasil penghitungan di TPS.

Pratama bilang kalau perbedaan antara hasil penghitungan manual dan yang tertera secara digital dapat memicu tuntutan sejumlah pihak untuk melakukan otentifikasi ulang—yang tentu saja membutuhkan waktu berbulan-bulan. Padahal, keputusan pemenang pemilu harus segera disampaikan dalam 3-4 bulan.

Pratama membayangkan betapa akan kacaunya negara bila suksesi kepemimpinan nasional terganjal gara-gara perhitungan suara yang diragukan kesahihannya.

"Negara bisa berantakan kalau pemerintah gagal mengamankan sistem IT KPU," tambahnya.

Kecurangan Manual

Kemudian, bagaimana dengan potensi kecurangan yang juga dilakukan secara manual? Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan potensi itu ada dan lebih berpengaruh. Ia biasanya melibatkan petugas pemilu, pengawas, maupun petugas parpol.

Hal-hal yang membuka peluang terjadinya pelanggaran, menurut Titi, salah satunya adalah kualitas saksi yang rendah. Mereka, misalnya, tidak menguasai aturan, lengah, maupun gagal berkoordinasi. Bahkan saksi itu sendiri yang 'bermain'.

"Faktanya memang ada petugas yang diberhentikan karena curang. Dia berusaha membangun deal atau kesepakatan jahat dengan peserta pemilu. Di 2014 lalu bahkan ada yang nekat menerima tawaran untuk mengubah hasil suara," kata Titi saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (6/4/2019) kemarin.

Mengenai perkara ini, Komisioner Bawaslu Muhammad Afifuddin pernah bilang kalau mereka terus berupaya agar itu tak terjadi. Misalnya dengan melibatkan masyarakat. Ia juga pernah bilang kalau pengawas harus benar-benar bekerja dengan baik.

"Setiap pengawas harus dapat mengejar hasil penghitungan secara valid, maka dari itu Bawaslu mengeluarkan aplikasi Siwaslu," katanya, mengutip Antara.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Politik
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino